Mengenai konflik yang muncul antara kulit hitam dan kulit putih akibat dari masalah Benjamin perlu ditelisik lebih dalam, sebab biasanya media hanya langsung memberitakan adanya kekerasan yang terjadi atau rasisme yang dilakukan oleh seseorang, tanpa pernah mencari alasannya kenapa kekerasan itu bisa terjadi, apa motif dari perilaku sebenarnya. Walaupun bisa dikatakan bahwa dari kedua perilaku tersebut yang sebenarnya berkolerasi tidak ada yang bisa dibenarkan salah satunya.
Menurut saya, jika saya adalah mahasiswa dan  ada di posisi sebagai Benjamin sebenarnya saya adalah termasuk orang yang cukup cuek dengan menghadapi kasus seperti itu jika terjadi di hidup saya, dalam tanda kutip jika efek pembullyan hanya berdampak ke diri saya sendiri. Namun sebenarnya perlu di garis bawahi, cukup cuek berarti tidak ingin hidup tanpa kasus seperti itu, karena seperti yang kita ketahui bahwa sudah hakikatnya seorang manusia untuk selalu mencari rasa keamanan dan kenyamanan dalam kehidupannya. Dan tidak ada yang bisa dibenarkan bagi perilaku bully.
Walaupun jika ternyata korban bully tidak merasa tertekan, pembullyan tetap salah dan pelaku berhak mendapatkan hukuman. Sebab mengapa, rasanya tidak ada orang yang akan cukup sabar untuk berlangganan setiap hari dengan sesuatu yang tidak mengenakkan.
Kasus bully yang masih sangat marak, harus menjadi perhatian besar karena bully bukan kasus biasa saja, perlu perhatian lebih. Korban bully tidak hanya mendapatkan kekerasan dalam hal fisik tapi yang pasti kata-kata yang keluar dari pelaku bisa menmbulkan trauma mendalam pada psikis korban. Dan yang menjadi harapan besar adalah seorang manusia yang tumbuh mulai dari anak-anak hingga ia kembali di panggil pulang bisa selalu merasakan kenyamanan tanpa harus merasakan apa itu pembullyan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H