Hello....adik-adik? Aku harus memikirkan ketiga adik tiriku dan dua adik kandungku? Sedangkan emakku sendiri tak pernah memikirkanku sedari kecil hingga aku dewasa?
Kalau boleh aku balik,"Pernahkah emak memikirkanku sedari kecil hingga dewasa begini?"
Kalau bukan simbah yang pontang-panting di RS, mungkin aku sudah bahagia di taman Tuhan sekarang.
Cukup lama kekecewaan ini kupendam. Berbelas tahun, bahkan berpuluh tahun. Pertanyaan yang seringkali hinggap, mengapa harus mengakui emak kandung yang tak pernah memikirkan, merawat dan membesarkanku?
Pun ketika aku memutuskan merantau, tak pernah emak menanyakan bagaimana kehidupanku di perantauan. Seolah tak peduli aku sehat atau tidak, sengsara atau tidak. Bahkan hingga kini emak tak pernah tahu jika di perantauan aku pernah ngamen di bus kota, tidur beralas koran beratap langit bersama para pengamen dan berpindah tidur di lapak pemulung. Kepahitan inipun kututup rapat, dan belum pernah kuceritakan juga pada simbah dan bulikku. Hingga 3 tahun silam, simbahku dipanggil Tuhan.
Setahun lalu, tepat di bulan Ramadhan, berhari-hari aku berpikir keras perihal emak. Entah dorongan energi darimana, lantas aku bulatkan niat untuk menelpon emak dan minta maaf. Meski aku tak tahu siapa yang salah. Atau mungkin memang tidak ada yang salah. Di tengah pembicaraan udara kita berdua, emak seolah menyalahkan simbah. Dan aku sempat tidak terima.
Ku bilang,"Emak gak oleh nyalahno simbah. Ngene-ngene, simbah sing nguripi aku. Emak ga eling ta biyen tau nawani aku busana muslim. Tak pikir emak kate ngekei aku, tibae aku sampeyan kongkon tuku. Kredit ping enem. Gelo rasane mak. Kok ono wong tuwo ngedol klambi nang anake dhewe."
Cukup panjang kita berdebat di udara, sekitar 2 jam. Hingga akhirnya isak tangisku dan emak mensenyapkan perdebatan itu. Apapun kondisinya, sepertinya hatiku terdorong untuk mengalah. Berkali-kali kuucapkan kata maaf dan mohon doa pada emakku. Setelah itu, hubunganku dan emak mulai membaik. Dan emak sesekali telpon bertanya kabar padaku. Meski sepeserpun dari kecil hingga dewasa aku tak pernah mendapatkannya dari emak, namun naluri didikan bulikku menuntunku untuk peduli pada emak.
Bulik pernah bertutu padaku,"Wis ta nduk, masio emakmu koyok ngono modele, ga usah dipikir nemen. Iku ben dadi urusane emakmu marang Gusti Allah. Saiki awakmu lek pas ono rejeki, sisihno pisan gawe emakmu. Anggep ae ngewangi gawe tuku beras. Itung-itung nabung gawe akherat."
Pitutur bulikku kujalankan. Setiap bulan, jika ada rejeki pasti kukirim juga buat emak. Tapi sayangnya, kenapa hal itu seolah jadi kewajiban ya? Sementara emakku tak pernah bertanya aku kerja apa, cukupkah rejekiku untuk biaya hidupku sendiri tiap bulan dan apakah aku selalu dapat rejeki lebih setiap bulannya. Tak pernah.
Ketika aku tak bisa mengirim padanya, emak lantas telpon dan meminta dengan alasan, "Adikmu sejak nikah, malah wis gak ngreken emak meneh. Wis jarang ngekei emak."