Mohon tunggu...
Herliawan Setiabudi
Herliawan Setiabudi Mohon Tunggu... -

Just an ordinary Muslim who wants to be an extraordinary One!\r\n\r\nBerbagi ilmu.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Budaya Jepang Mengajari Kita

21 April 2013   19:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:50 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Jepang, hampir semua tenaga kerja dibayar mahal. Pak Endrianto mengatakan bahwa kalau mau saja, seseorang boleh bekerja part-time dan dibayar dengan upah yang bisa buat berlibur ke pulau Bali.

“Oh, jadi turis-turis Jepang yang rajin ke Bali itu, boleh jadi di Jepang cuma tukang sampah atau cleaning service, ya?”, tanya kami. “Benar sekali, apalagi Garuda punya harga yang sangat menarik, maka penerbangan Tokyo Denpasar cukup diminati”, jawab beliau. “Dan cukup dari upah kerja kasar saja”, tambahnya.

Yang menarik, perbedaan nilai gaji pegawai rendahan atau kuli bangunan dengan pejabat tinggi tidak terlalu terpaut jauh. Sehingga jarang terjadi demo buruh di negeri ini. Semua kebutuhan buruh terpenuhi dengan cukup.

Wah, berarti kalau bikin partai yang mengusung agenda membela wong cilik, bisa-bisa tidak laku nih di Jepang. Sebab boleh dibilang tidak ada wong cilik di Jepang. Yang ada hanyalah wong cilik tapi bergaji gede. Maka sudah tidak lagi disebut wong cilik.

Budaya Malu

Orang punya budaya malu yang tinggi. Dan positifnya, kalau ada pejabat yang gagal dalam memegang amanah, tidak segan-segan mereka mengundurkan diri. Rasa malu mereka itulah yang mendorong mereka mundur.

Bagaimana dengan Indonesia? Adakah budaya malu yang sampai membuat seorang pejabat mundur dari jabatannya?

Entahlah kalau kita buka-buka sejarah. Tapi sekarang ini nyaris tidak ada. Bagaimana mau mundur, lha wong jabatan itu didapat dengan susah payah ditambah susah tidur, kok mundur?

Nanti penyandang dana kecewa. Sebab rata-rata para pejabat di negeri kita ini didanai oleh para penyandang dana alias supporter, ketika pilkada atau pemilu. Kalau hanya karena kegagalan lalu mengundurkan diri, sementara uang jarahan belum memenuhi pundi-pundi, bisa-bisa para cukongnya marah.

Jadi budaya malu lalu mengundurkan diri tidak sesuai dengan prinsip ekonomi yang berakidah: mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya dengan pengeluaran yang sekecil-kecilnya. Dan jabatan adalah sumber penghasilan, tidak ada kamus malu. Yang ada hanya satu, maju terus menghadapi semua rintahan. Maju tak gentar membela yang bayar. Hehehe, sangat Indonesiawi.

Salam dan Sapaan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun