Hutan adat Papua telah menjadi sumber kehidupan masyarakat adat selama berabad-abad. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, tanah Papua yang kaya akan sumber daya alam kerap menjadi arena konflik antara kepentingan ekonomi dan hak-hak masyarakat adat. Dalam pusaran konflik ini, hutan adat Papua menghadapi ancaman besar akibat eksploitasi yang sering dilegitimasi oleh regulasi yang timpang dan kurangnya keberpihakan terhadap masyarakat adat.
Dari Harapan hingga Keputusasaan
Konflik ini tercermin dalam kasus masyarakat adat Awyu yang menolak pemberian izin konsesi lahan kepada perusahaan perkebunan sawit tanpa persetujuan mereka. Gugatan masyarakat adat Awyu terhadap izin tersebut telah melalui berbagai tingkatan pengadilan, mulai dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) hingga kasasi di Mahkamah Agung (MA). Namun, hasilnya tidak memihak kepada masyarakat adat. Putusan MA memperkuat legalitas izin konsesi yang diberikan, meskipun masyarakat adat mengklaim bahwa proses perizinan tersebut tidak melibatkan mereka secara utuh.
Kehilangan ini tidak hanya menyangkut lahan dan hutan adat yang telah menjadi bagian dari identitas budaya mereka, tetapi juga kepercayaan terhadap sistem hukum yang seharusnya melindungi hak-hak mereka. Hutan yang selama ini menjadi penopang kehidupan masyarakat adat kini diancam berubah menjadi perkebunan sawit, yang dampaknya tidak hanya merusak ekosistem lokal, tetapi juga menghapus keanekaragaman hayati.
Kapitalisme Ekstraktif dan Regulasi yang Timpang
Kapitalisme ekstraktif, yang berfokus pada eksploitasi sumber daya alam demi keuntungan ekonomi, adalah realitas pahit yang dihadapi tanah Papua. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU Cipta Kerja sering kali disebut sebagai regulasi yang mempercepat proses perizinan lahan tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan ekologis secara komprehensif. Prosedur ini kerap mengorbankan prinsip keberlanjutan yang seharusnya menjadi inti dari setiap kebijakan pembangunan.
Kritik juga diarahkan kepada pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR) yang sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dalam beberapa kasus, program CSR hanya memberikan kompensasi sementara yang tidak sebanding dengan kerusakan jangka panjang pada lingkungan dan kehidupan masyarakat adat. Berdasarkan laporan berbagai organisasi lingkungan, termasuk Greenpeace Indonesia, hutan adat di Papua terus mengalami alih fungsi menjadi perkebunan sawit dengan laju yang signifikan. Dalam satu dekade terakhir, ribuan hektare hutan telah hilang, mempertegas urgensi pengelolaan sumber daya alam yang lebih berkeadilan.
Pelanggaran Prinsip Hukum Lingkungan
Prinsip-prinsip hukum lingkungan seperti keberlanjutan, kehati-hatian, dan partisipasi masyarakat sering kali hanya menjadi retorika tanpa implementasi. Dalam kasus masyarakat adat Awyu, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang diwajibkan sebagai prasyarat perizinan konsesi lahan diduga disusun tanpa melibatkan masyarakat adat secara utuh. Ini adalah pelanggaran terhadap prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) yang diakui secara internasional.
FPIC menegaskan bahwa masyarakat adat memiliki hak untuk menyetujui atau menolak proyek yang berdampak langsung pada tanah dan kehidupan mereka setelah diberikan informasi yang lengkap dan jelas. Namun, dalam praktiknya, masyarakat adat sering kali menerima informasi yang minim atau terlambat, sehingga tidak dapat memberikan persetujuan yang benar-benar bebas dan terinformasi. Hal ini menunjukkan lemahnya implementasi prinsip hukum lingkungan di Indonesia.
Janji Pembangunan Berkelanjutan: Harapan atau Ilusi?
Pemerintah sering kali menyebut pembangunan infrastruktur dan program reboisasi sebagai solusi untuk mengatasi dampak eksploitasi hutan. Namun, jenis reboisasi yang dilakukan biasanya hanya melibatkan penanaman tanaman industri seperti akasia dan eukaliptus, yang tidak memiliki nilai ekologis setara dengan hutan alami. Infrastruktur yang dibangun di Papua, seperti jalan dan bandara, sering kali menjadi jalur baru untuk eksploitasi sumber daya alam, bukan solusi bagi masyarakat lokal.
Harapan dari Putusan MK 35/PUU-X/2012
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, yang mengakui hutan adat sebagai bagian dari hak ulayat masyarakat adat, menjadi secercah harapan di tengah situasi yang suram. Pengakuan ini dapat menjadi dasar untuk mengoreksi kebijakan yang merugikan masyarakat adat. Namun, implementasi putusan ini memerlukan komitmen nyata, termasuk revisi regulasi yang tidak berpihak dan peningkatan keterlibatan masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan.
Solusi dan Refleksi
Untuk mengatasi konflik hutan adat di Papua, pemerintah harus mengambil langkah konkret. Pertama, regulasi seperti UU Cipta Kerja dan UU Kehutanan perlu direvisi agar lebih sejalan dengan prinsip keberlanjutan. Kedua, proses penyusunan AMDAL harus melibatkan masyarakat adat secara aktif sebagai pihak yang paling terdampak. Ketiga, program pemberdayaan masyarakat adat perlu menjadi prioritas dalam alokasi anggaran negara.
Hutan adat Papua adalah warisan berharga yang tidak hanya penting bagi masyarakat adat, tetapi juga bagi keberlanjutan lingkungan hidup Indonesia secara keseluruhan. Melindungi hutan adat bukan hanya soal melindungi ekosistem, tetapi juga soal menjaga identitas budaya dan masa depan generasi mendatang. Jika kita terus membiarkan kapitalisme ekstraktif dan hukum yang timpang menguasai, kita bukan hanya kehilangan hutan, tetapi juga nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya kita junjung tinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H