"Dab, kae sopo yo kok ketoke dudu wong ndeso kene, mrawaske ati, gek-gek kae nggowo Virus Corona. (Mas, itu siapa ya kok sepertinya bukan orang desa sini, mencurigakan, jangan-jangan dia membawa Virus Corona).
Percakapan singkat diliputi perasaan negatif muncul diantara anak-anak muda yang berjaga di Posko Lockdown Anti mbakRona (Virus Corona). Padahal yang dicurigai itu adalah Paklek yang baru pulang bekerja dari proyek bangunan di Kecamatan sebelah.
Dari kejauhan (Posko), beliau terlihat mengendarai sepeda motor menggunakan masker, jaket, helm SNI kaca hitam, dan menenteng tas berisi perlengkapan tukang. Sampai depan Posko, Paklek lalu membuka masker sehingga anak-anak baru mengenali dan mempersilakan masuk Desa.
Munculnya perasaan negatif pada setiap orang yang dianggap "asing" (mengedepankan subyektifitas), apalagi kepada pemudik yang terpaksa pulang karena penghasilannya di Kota sudah jauh berkurang menambah suasana "mencekam".Â
Semakin apes dan tertekan, karena di depan Posko ada orang yang habis memperoleh kuliah SKSÂ (Super Kilat Sakmenit) dari WhatsApp dan media sosial berani mendalilkan peraturan perundang-undangan berbau pidana terhadap pemudik.
Ngono yo ngono, nanging ojo ngono banget (Seperti itu boleh saja, tapi jangan keterlaluan). Maksud pembentukan Posko Lockdown Anti mbakRona adalah baik, namun kekhawatiran berlebihan yang menjadi satu dengan kurangnya pengetahuan telah mengikis rasionalitas berfikir.
Pada bagian akhir artikel kedua saya (Judul: Menyikapi Impor mbakRona (Virus Corona) dari Kota Besar ke Daerah), membahas mengenai perlunya kombinasi disiplin ilmu (kesehatan dan sosial) yang harus dikerahkan terlebih dahulu dalam rangka menyikapi fenomena mudik lebih awal karena mbakRona. Adapun penegakan hukum pidana harus dikesampingkan mengingat ketentuan pidana adalah ultimum remedium (upaya terakhir).
Mayoritas masyarakat mengetahui hukum itu hanyalah pidana dan perdata, padahal dalam kondisi mbakRona seperti ini, ada hukum yang lebih bijak untuk ditampilkan, yaitu Hukum Administrasi Negara.Â
Mengapa lebih bijak?! Karena peristiwa mudik, lalu-lalang, berkerumun, dan/atau kegiatan apapun yang menjadi obyek pembatasan sosial berskala besar sejatinya bukan merupakan perbuatan kejahatan. Dalam Hukum Administrasi Negara, kategori kegiatan-kegiatan tersebut saat wabah mbakRona adalah perbuatan tidak tepat (onjuist).
Terbaru, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai penegasan pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar, dalam hal pembatasan arus barang, orang, dan/atau kegiatan-kegiatan lain serta menjaga keselerasan penanganan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah terkait pencegahan dan penanggulangan mbakRona.
Tampilnya Aspek Hukum Administrasi Negara