Mohon tunggu...
Herlambang Fadlan Sejati
Herlambang Fadlan Sejati Mohon Tunggu... Penulis - Seng Mentes Sungkem Bumi, Seng Gabug Nantang Langit

Aku Sedulur Lanangmu

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Perlunya Adopsi Aspek Hukum Administrasi Negara dalam Pembatasan Sosial Berskala Besar

6 April 2020   08:30 Diperbarui: 6 April 2020   08:30 1481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Namanya peraturan perundang-undangan tertulis tentu memiliki kekurangan. Kedua peraturan perundang-undangan tersebut belum mempunyai hal berkenaan dengan Hukum Administrasi Negara, misalnya pengaturan daya paksa berupa sanksi administratif (denda administratif) kepada para pelanggar. 

Dalam PP Nomor 21 Tahun 2020 tidak ada satupun Pasal yang membahas mengenai ketentuan daya paksa, sedangkan dalam Permenkes Nomor 9 Tahun 2020 terdapat Pasal 18 yang menyatakan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar dilakukan dengan penegakan hukum sesuai ketentuan perundang-undangan. 

Pertanyaannya, ketentuan peraturan perundang-undangan manakah yang dimaksud? Menurut opini saya, perlu ditambahkan denda administratif sebagai salah satu daya paksa. 

Besarnya denda harus dibuat dalam skala, berdasarkan siapa yang melanggar dan bentuk pelanggarannya (melanggar peliburan sekolah/peliburan tempat kerja selain yang dikecualikan/pembatasan kegiatan keagamaan/pembatasan kegiatan di fasilitas umum/pembatasan kegiatan sosial budaya/pembatasan moda transportasi/dan lain-lain, baca Lampiran Permenkes Nomor 9 Tahun 2020).

Penjatuhan sanksi administratif harus memperhatikan asas keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan secara proporsional seimbang. 

Sebagaimana kita ketahui, bahwa pelanggar bisa saja merupakan tulang punggung keluarga yang harus bekerja atau orang yang semakin sulit kehidupannya atau orang mampu yang sengaja mengabaikan atau subyek hukum bukan orang pribadi (badan hukum/bukan badan hukum) yang mengabaikan. 

Besaran denda antara subyek hukum orang pribadi harus dibedakan dengan subyek hukum bukan orang pribadi.

Contoh pertama, skala denda adalah 0 (tidak bayar), apabila pelanggar adalah tulang punggung keluarga yang harus bekerja atau orang yang semakin sulit kehidupannya, sebelumnya sudah disampaikan teguran untuk menjaga kesehatan sekaligus diberikan alat pelindung diri, namun mengulang perbuatan yang membahayakan bagi kesehatannya, maka Pemerintah bisa menjatuhkan subsider (pengganti) dari denda dengan cara membatasi gerak orang tersebut melalui keharusan berdiam dalam rumahnya kurang dari 24 jam. 

Durasi waktu kurang dari 24 jam penting untuk membedakan dengan batas hukuman minimum menurut Hukum Pidana. Contoh kedua, ada sopir bus yang diminta oleh perusahaan bus membawa penumpang sebanyak-banyaknya untuk kejar setoran padahal berdasarkan Permenkes Nomor 9 Tahun 2020 jumlah penumpang harus dibatasi, maka perusahaan bus bisa dikenakan denda dengan skala yang lebih besar dan tentunya kategori berbeda daripada pelanggar orang pribadi. 

Contoh ketiga, ada orang mampu yang memborong sebanyak-banyaknya kebutuhan pokok di swalayan dapat dikenakan denda dengan skala yang telah ditentukan sesuai bentuk pelanggaran.  

Tentang siapa yang berwenang menjatuhkan sanksi, maka lembaga eksekutif (Kepala Daerah) seperti Gubernur/Bupati/Walikota dapat diberikan delegasi oleh Menteri Kesehatan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun