UN (Ujian Nasional) resmi ditiadakan oleh pemerintah sejak tahun 2021. Sejak saat itu, tidak ada lagi patokan kelulusan peserta didik berdasarkan nilai UN di semua tingkat pendidikan mulai dari SD, SMP, hingga SMA.
Seiring berjalannya waktu, ketidakhadiran UN dinilai banyak pihak telah menurunkan kualitas dan motivasi belajar siswa. Hingga akhirnya, wacana pengembalian UN pun mencuat dan kembali banyak dibicarakan dalam beberapa hari terakhir.
Wacana pengembalian UN kembali mencuat setelah Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti dilantik oleh Presiden Prabowo. Pro kontra pun bermunculan bak jamur di musim penghujan.Â
Adapun salah satu yang setuju agar UN diadakan kembali adalah Kepala Pusat Riset Pendidikan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Trina Fizzanty, mendukung pengembalian Ujian nasional (UN). Dia mengatakan UN diperlukan untuk mengetahui capaian pembelajaran serta memacu siswa lebih giat belajar. "Ini langkah yang baik. Kesadaran belajar siswa di Indonesia relatif rendah, terbukti dari nilai PISA (Programme for International Student Assessment) dan TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study).(sumber)
Disisi lain, Direktur Eksekutif Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK), Nisa Felicia, menilai akan terjadi kemunduran apabila Ujian Nasional diberlakukan kembali. Sebab, menurut dia, Ujian Nasional memiliki risiko tinggi karena mempengaruhi kelulusan anak dan reputasi sekolah.
Akibatnya, kata Nisa, banyak terjadi kecurangan dalam penyelenggaraan UN. "Kita sudah melihat dampak buruknya ada nyontek-nyontekan, bahkan itu dilegalisasi demi memastikan 100 persen itu lulus.(sumber)
Ketika UN kembali dilaksanakan, bisa jadi kita akan melihat kembali siswa-siswa yang giat belajar dalam mempersiapkan UN. Anak yang tidak punya kemampuan serta minat belajar tinggi dipaksa seperti itu, akhirnya yang timbul adalah tekanan. Sedangkan bagi anak yang mempunyai kemampuan bagus dalam berpikir, maka mereka akan senang. Para siswa giat karena ada kekhawatiran serta kecemasan dalam menghadapi UN. Kekhawatiran serta kecemasan yang menjadikan para siswa tidak menikmati proses belajar yang dilakukan. Kekhawatiran, kecemasan pun melanda orang tua, ketika sang buah hati tidak dapat melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi disebabkan tidak lulus UN.
Selain itu dengan wacana diadakan UN kembali, tentu akan menyuburkan kembali bisnis bimbingan belajar (bimbel). Mulai dari bimbel perorangan, lembaga hingga sekolah. Sementara dari sisi lain orang tua, mereka khawatir jika anaknya tidak dapat apa-apa. Pada akhirnya, anak dimasukkan ke bimbel. Dari sana, muncul pembiayaan tambahan yang harus dikeluarkan. Baik bimbel maupun tambahan belajar di sekolah tentunya akan menjadi beban tambahan pembayaran orang tua murid. Padahal tidak semua orang tua mampu dan sanggup untuk membayar.
Guru kian tambah "pusing" dengan  mencuatnya kembali gagasan UN. Pusing karena bagaimana caranya mengajari siswa trik dan tips (mengakali) soal UN. Bahkan waktunya akan habis dari tryout satu ke tryout lainnya, mulai dari tingkat kecamatan, kota, provinsi hingga nasional.Â
Di kelas pun akan sibuk dengan drilling-drilling latihan soal UN. Bahkan sekolah pun menambah jam pelajaran khusus UN. Â Kelas bukan lagi tempat membangun kreativitas dan nalar kritis siswa. Kini kelas bertransformasi menjadi ruang-ruang pembahasan soal UN yang menghempaskan pembelajaran diferensiasi, inkuiri, dan pembelajaran berpusat pada murid.Â
Selanjutnya, rasa pusing guru naik level menjadi "migrain bahkan vertigo", ketika ada "tuntutan" dari pimpinan, sekolah, yayasan agar para siswa lulus 100%. Ketika ara siswa lulus 100%, dengan nilai tinggi tentunya akan menjadi prestasi serta reputasi sekolah. Sebaliknya, apabila ada siswa yang tidak lulus UN, tentunya akan menjadi "musibah" bagi sekolah tersebut.