Mohon tunggu...
Tarigan Sibero
Tarigan Sibero Mohon Tunggu... Pilot - Pensiunan yang masih gemar menulis

Lulusan AAU-64 | Pecinta Berat C130 Hercules | Penulis Buku 50Tahun Hercules | Pernah bekerja sebagai Quality Control and Assurance di sebuah Sekolah Penerbang

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengapa Pergolakan di Papua Tak Kunjung Padam?

5 Maret 2022   17:31 Diperbarui: 5 Maret 2022   17:43 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti kita ketahui Sekjen PBB Antonio Guterres telah menyatakan Status Final Papua di   dalam Indonesia berdasarkan “uti possideti luris”, New York Agreement 1962, Act of Free Choice 1969, dan Resolusi PBB Nomor 2504, dimana dinyatakan  :
a. PBB mendukung kedaulatan dan integritas wilayah Indonesia dan issu kedaulatan bukan suatu pertanyaan bagi PBB
b.  PBB memahami adanya kelompok separatis yang terus menerus membuat berita hoax dan demo anarkis dan tindak kekerasan.

Oleh sebab itu PBB tetap mendukung kedaulatan Indonesia atas Papua dan menutup peluang referendum para tokoh dan simpatisan Organisasi Papua Merdeka (OPM)


Dengan adanya pernyataan resmi dari PBB seperti di atas apakah Indonesia sudah bisa tidur nyenyak, dan akan tetap melanjutkan praktek-praktek politik, sosial budaya dan keamanan di Papua Barat seperti yang dilakukan pemerintah Indonesia selama ini?


Untuk itu, barangkali perlu terlebih dahulu kita cermati apa sebenarnya akar permasalahan yang menyebabkan timbulnya gejolak masyarakat Papua sampai lahirnya Organisasi Papua Merdeka. 

Di dalam buku “Kisah-kisah Heroik Seputar Perjuangan Indonesia Merebut Irian Barat”, secara umum penyebab timbulnya gejolak disebabkan oleh berbagai aspek.  

Pertama, dari aspek   Ideologi/Politik, telah sejak lama dikalangan Rakyat Papua tumbuh dan berkembang suatu kepercayaan spiritual tentang akan lahirnya seorang pemimpin besar sebagai Ratu Adil yang menjanjikan kehidupan masa depan yang lebih makmur bagi Rakyat Papua. Janji-janji Belanda untuk menghadiahkan kemerdekaan bagi Rakyat Papua, tinggal sebuah mimpi setelah Irian Barat pada akhirnya menjadi bagian dari NKRI  berdasarkan General Agreement New York bulan Agustua 1962  

Kedua, dari aspek Sosial/Psikologis, dapat dipahami karena pengaruh penjajahan ratusan tahun serta tingkat pendidikan yang belum memadai sehingga kurang tajam dalam menganalisis masalah, kurang tajam dalam berpikir kritis, dengan pandangan yang sempit sehingga mudah dipengaruhi oleh hasutan-hasutan emosional dari oknum-oknum anti pemerintah.  

Sementara pernyataan resmi dari pihak OPM sebagai motor penggerak pergolakan penyebab timbulnya pergolakan secara lebih rinci adalah :
a.  Rasa senasib sepenanggungan untuk mempejuangkan kemerdekaan dan Negara Papua
b.  Hendak meningkatkan dan mewujudkan janji Belanda yang tidak sempat direalisasikan akibat integrasi dengan Indonesia secara paksa dan tidak adil
c.  Persetujuan Politik antara Indonesia dengan Belanda yang melahirkan Perjanjian New York 1962 tanpa melibatkan bangsa Papua sebagai Bangsa dan Tanah Air yang dipersengketakan
d.  Latar belakang sejarah yang berbeda antara Rakyat Papua Barat dengan bangsa Indonesia
e.  Masih terdapat perbedaan sosial, ekonomi, politik antara bangsa Papua dengan bangsa Indonesia
f.  Eksploitasi hasil-hasil tanah Papua Barat yang dilakukan secara besar-besaran untuk bangsa Indonesia, sedangkan Rakyat Papua Barat tetap miskin dan terbelakang
g.  Tekanan yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap Rakyat Papua sejak awal integrasi
h.  Hendak mewujudkan cita-cita berdasarka keyakinan spiritual tentang akan lahirnya suatu Bangsa dan Negara Papua Barat yang makmur sampai akhir Zaman.
Sejak Kemerdekaan Indonesia diproklamirkan oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945, pihak Belanda yang tidak senang kalau Papua bergabung dengan Indonesia mulai melancarkan hasutan-hasutan kepada rakyat Papua, antara lain :

  • Membungkam kabar tentang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia agar rakyat Papua tidak mengetahuinya
  • Orang luar dilarang berhubungan dengan rakyat Papua
  • Bangsa Indonesia adalah ras yang berbeda dengan rakyat Papua
    Berbagai propaganda tentang kejelekan Indonesia
  • Membentuk satuan-satuan militer dari penduduk asli, untuk pada saatnya mengadakan perlawanan kepada Indonesia
  • Janji untuk memberikan kemerdekaan krpada rakyat Papua.

Dari sekian banyak faktor penyebab tersebut diatas, kita akan tinjau pada salah satu aspek yang sangat sederhana, yaitu aspek Soaial Budaya, lebih dipersempit pada aspek budaya lokal, yang kalau kita lebih kerucutkan lagi dalam hal  adat istiadat.  Bagi masyarakat tradisional seperti masyarakat Papua, kebiasaan, adat istiadat setempat masih dipegang kuat yang diyakini sebagai kekuatan spiritual dalam menjalin sistem kekerabatan dalam kehidupan bermasyarakat.

Suatu ketika pada saat semangat perjuangan TRIKORA Indonesia sedang berkobar untuk membebaskan wilayah Irian Barat dari belenggu Kolonial Belanda, Deputi KSAD Mayor Jenderal A. Yani mengirim Kapten Suwondo secara rahasia ke Irian Barat atas permintaan seorang anggota militer Belanda, Kolonel Van Housen, Komandan Camp Arfak di Manokwari.  Ketika itu pak Yani dengan rombongan sedang mampir di Hongkong dengan misi mencari peralatan militer di pasar bebas, secara kebetulan di sebuah restoran bertemu dan berkenalan dengan Kolonel Van Hpusen.  Dalam bincang-bincang dengan Kolonel Van Housen, pak Yani dapat memahami bahwa sesungguhnya pihak militer Belanda tidak berminat sama sekali untuk bercokol di Irian Barat, namun kelompok politisi Belanda lah yang bersikeras untuk mempertahankan wilayah Irian Barat. 

Untuk lebih meyakinkan pihak Indonesia akan pendapatnya tersebut, Kolonel Van Housen menawarkan kepada pak Yani untuk mengirimkan ke Manokwari, Irian Barat seorang perwira setidaknya berpangkat Kapten, paham bahasa Blanda, dan “tahan banting”.


Dengan perjalanan yang sangat rahasia, Kapten Suwondo akhirnya tiba Manokwari setelah beberapa kali berganti pesawat, melalui pulau-pulau kecil di lautan pasifik, Port Morsby, Sentani dan Biak.  

Di Manokwari Kapten Suwondo menjadi tamunya Kolonel Van Housen yang memang sudah menunggunya disana.  Selanjutnya Kolonel Suwondo dibawa ke Camp Arfak, Markas Satuan Angkatan Darat Belanda yang dipimpin oleh Kolonel Van Housen.  Selain menyaksikan satuan militer Belanda tersebut, Kapten Suwondo juga diperkenalkan kepada beberapa tokoh putra daerah yang berpangaruh, antara lain, Fritz Awom, Rumbiak, Sawiyah, dan Wambraw, termasuk beberapa tokoh suku Arfak, salah satu suku besar yang sangat berpengaruh di Irian Barat, seperti Lodewijk Mandatjan, dan Barrent Mandatjan.


Dalam pertemuan yang sangat akrab tersebut diadakan sebuah acara kesepakatan dengan mengikat sumpah sebagai saudara sedarah.  Melalui upacara adat suku Arfak masing-masing pergelangan tangan Kapten Suwondo dan Lodewijk Mandatjan disayat sampai mengeluarkan darah.  

Kemudian kedua luka sayatan ditempelkan satu dengan yang lain dengan erat yang melambangkan bersatunya darah keduanya sebagai saudara.  Kapten Suwondo juga minta agar kedua tubuh mereka dipersatukan dengan menyelimutkan kain merah putih sebagai perlambang disamping sebagai saudara sedarah juga sebangsa dan setanah air. 

Upacara ritual yang khidmat tersebut disaksikan juga oleh toloh-tokoh masyarakat lainnya seperti Fritz Awom dan Rumbiak.  Tampaknya semua itu memang telah dipersiapkan oleh Kolonel Van Housen, karena yakin pada saatnya Belanda akan menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia termasuk satuan-satuan pasukan putra daerah, dengan upacara tersebut Kapten Suwondo telah dikukuhkan sebagai Kepala Suku Ketiga yang dipersiapkan untuk nantinya memimpin pasukan-pasukan peninggalan Belanda, agar dengan demikian Kapten Suwondo akan mempunyai wibawa dihadapan anak buahnya.


Selama 6 (enam) hari berada di Manokwari sebagai tamu Kolonel Van Housen yang banyak bercerita kepada Kapten Suwondo betapa putra-putra daerah begitu kuatnya memegang  adat istiadat dan tradisi lokal sebagai suatu kekuatan ritual sistem kekerabatan hidup bermasyarakat Rakyat Papua.

Setibanya kembali di Indonesia, Kapten Suwondo melaporkan secara lengkap tentang perjalanan dan hasil kunjungannya di Camp Arfak, Markas Satuan Angkatan Darat Belanda di Manokwari kepada Mayor Jenderal A. Yani, kecuali skenario Kolonel Van Housen mempersiapkan dirinya untuk nantinya memimpin pasukan putra daerah peninggalan Belanda setelah Irian Barat diserahkan kepada pihak Indonesia karena perasaan iwuh pekiwuh tidak dicantumkan dalam laporannya.  

Kenyataan dikemudian hari, setelah Irian Barat resmi menjadi bagian dari NKRI pimpinan Camp Arfak ditunjuk orang lain, bukan Kapten Suwondo.  Seandainya pada waktu itu, pimpinan pasukan Camp Arfak peninggalan Kolonel Van Housen diserahkan kepada Kapten Suwondo, barangkali pemberontakan OPM pimpinan Lodewijk Mandatjan tak akan pernah ada, karena kedudukan Kapten Suwondo sebagai “Kepala Suku” akan dihormati, disegani dan mempunyai wibawa dihadapan anak buahnya  serta tokoh-tokoh masyarakat lainnya, terutama Lodewijk Mandatjan.


Seperti diketahui bahwa gerakan dibawah tanah OPM sudah ada ssejak tahun 1963, dan muncul pertama kali ke permukaan pada kerusuhan yang terjadi di Manokwari pada tahun 1965.  Meskipun ada kalanya berganti wajah dengan sebutan KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata), dalam bingkai NKRI dapat dikatakan bahwa gerakan-gerakan tersebut dikategorikan  sebagai gerakan  separatisme sehingga perlu diambil aksi penindakan termasuk dengan kekuatan militer. Namun puluhan tahun sudah berjalan belum juga menampakkan tanda-tanda pergolakan akan selesai. 

Penyelesaian dengan kekuatan militer selain mendorong terjadinya pelanggaran HAM, rakyat yang merasa tertekan karena tidak mampu mengadakan perlawanan, mereka bisa saja mencari suaka ke Negara lain yang akan menimbulkan masalah baru. Oleh sebab itu, tampaknya diperlukan suatu pendekatan yang lebih menyentuh sendi-sendi kemanusiaan misalnya  pendekatan kesejahteraan dan social budaya seperti yang telah disebut diatas. NKRI bukan hanya DKI, tetapi terdiri dari puluhan propinsi membentuk  sebuah rangkaian gerbong propinsi konvoi Bhineka Tunggal Ika yang tidak boleh terputus. 

Agar jalannya konvoi mulus, masing-masing gerbong tidak boleh melaju sendiri-sendiri, tetapi harus menyesuaikan kecepatannya dengan gerbong yang lain, dalam artian, kecepatan maksimum konvoi Bhineka Tunggal Ika adalah kecepatan yang mampu ditempuh oleh gerbong yang kecepatannya paling lambat, dalam hal ini gerbong propinsi Papua. 

Karenanya semua gerbong propinsi hendaknya berkontribusi guna meningkatkan laju kecepatan gerbong propinsi Papua sehingga dapat secara berlanjut meningkatkan kecepatannya dan laju kecepatan konvoi Bhineka Tunggal Ika dengan sendirinya akan terus meningkat.
 

Lombok, 21 Pebruari 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun