Mohon tunggu...
Tarigan Sibero
Tarigan Sibero Mohon Tunggu... Pilot - Pensiunan yang masih gemar menulis

Lulusan AAU-64 | Pecinta Berat C130 Hercules | Penulis Buku 50Tahun Hercules | Pernah bekerja sebagai Quality Control and Assurance di sebuah Sekolah Penerbang

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengapa Pergolakan di Papua Tak Kunjung Padam?

5 Maret 2022   17:31 Diperbarui: 5 Maret 2022   17:43 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk lebih meyakinkan pihak Indonesia akan pendapatnya tersebut, Kolonel Van Housen menawarkan kepada pak Yani untuk mengirimkan ke Manokwari, Irian Barat seorang perwira setidaknya berpangkat Kapten, paham bahasa Blanda, dan “tahan banting”.


Dengan perjalanan yang sangat rahasia, Kapten Suwondo akhirnya tiba Manokwari setelah beberapa kali berganti pesawat, melalui pulau-pulau kecil di lautan pasifik, Port Morsby, Sentani dan Biak.  

Di Manokwari Kapten Suwondo menjadi tamunya Kolonel Van Housen yang memang sudah menunggunya disana.  Selanjutnya Kolonel Suwondo dibawa ke Camp Arfak, Markas Satuan Angkatan Darat Belanda yang dipimpin oleh Kolonel Van Housen.  Selain menyaksikan satuan militer Belanda tersebut, Kapten Suwondo juga diperkenalkan kepada beberapa tokoh putra daerah yang berpangaruh, antara lain, Fritz Awom, Rumbiak, Sawiyah, dan Wambraw, termasuk beberapa tokoh suku Arfak, salah satu suku besar yang sangat berpengaruh di Irian Barat, seperti Lodewijk Mandatjan, dan Barrent Mandatjan.


Dalam pertemuan yang sangat akrab tersebut diadakan sebuah acara kesepakatan dengan mengikat sumpah sebagai saudara sedarah.  Melalui upacara adat suku Arfak masing-masing pergelangan tangan Kapten Suwondo dan Lodewijk Mandatjan disayat sampai mengeluarkan darah.  

Kemudian kedua luka sayatan ditempelkan satu dengan yang lain dengan erat yang melambangkan bersatunya darah keduanya sebagai saudara.  Kapten Suwondo juga minta agar kedua tubuh mereka dipersatukan dengan menyelimutkan kain merah putih sebagai perlambang disamping sebagai saudara sedarah juga sebangsa dan setanah air. 

Upacara ritual yang khidmat tersebut disaksikan juga oleh toloh-tokoh masyarakat lainnya seperti Fritz Awom dan Rumbiak.  Tampaknya semua itu memang telah dipersiapkan oleh Kolonel Van Housen, karena yakin pada saatnya Belanda akan menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia termasuk satuan-satuan pasukan putra daerah, dengan upacara tersebut Kapten Suwondo telah dikukuhkan sebagai Kepala Suku Ketiga yang dipersiapkan untuk nantinya memimpin pasukan-pasukan peninggalan Belanda, agar dengan demikian Kapten Suwondo akan mempunyai wibawa dihadapan anak buahnya.


Selama 6 (enam) hari berada di Manokwari sebagai tamu Kolonel Van Housen yang banyak bercerita kepada Kapten Suwondo betapa putra-putra daerah begitu kuatnya memegang  adat istiadat dan tradisi lokal sebagai suatu kekuatan ritual sistem kekerabatan hidup bermasyarakat Rakyat Papua.

Setibanya kembali di Indonesia, Kapten Suwondo melaporkan secara lengkap tentang perjalanan dan hasil kunjungannya di Camp Arfak, Markas Satuan Angkatan Darat Belanda di Manokwari kepada Mayor Jenderal A. Yani, kecuali skenario Kolonel Van Housen mempersiapkan dirinya untuk nantinya memimpin pasukan putra daerah peninggalan Belanda setelah Irian Barat diserahkan kepada pihak Indonesia karena perasaan iwuh pekiwuh tidak dicantumkan dalam laporannya.  

Kenyataan dikemudian hari, setelah Irian Barat resmi menjadi bagian dari NKRI pimpinan Camp Arfak ditunjuk orang lain, bukan Kapten Suwondo.  Seandainya pada waktu itu, pimpinan pasukan Camp Arfak peninggalan Kolonel Van Housen diserahkan kepada Kapten Suwondo, barangkali pemberontakan OPM pimpinan Lodewijk Mandatjan tak akan pernah ada, karena kedudukan Kapten Suwondo sebagai “Kepala Suku” akan dihormati, disegani dan mempunyai wibawa dihadapan anak buahnya  serta tokoh-tokoh masyarakat lainnya, terutama Lodewijk Mandatjan.


Seperti diketahui bahwa gerakan dibawah tanah OPM sudah ada ssejak tahun 1963, dan muncul pertama kali ke permukaan pada kerusuhan yang terjadi di Manokwari pada tahun 1965.  Meskipun ada kalanya berganti wajah dengan sebutan KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata), dalam bingkai NKRI dapat dikatakan bahwa gerakan-gerakan tersebut dikategorikan  sebagai gerakan  separatisme sehingga perlu diambil aksi penindakan termasuk dengan kekuatan militer. Namun puluhan tahun sudah berjalan belum juga menampakkan tanda-tanda pergolakan akan selesai. 

Penyelesaian dengan kekuatan militer selain mendorong terjadinya pelanggaran HAM, rakyat yang merasa tertekan karena tidak mampu mengadakan perlawanan, mereka bisa saja mencari suaka ke Negara lain yang akan menimbulkan masalah baru. Oleh sebab itu, tampaknya diperlukan suatu pendekatan yang lebih menyentuh sendi-sendi kemanusiaan misalnya  pendekatan kesejahteraan dan social budaya seperti yang telah disebut diatas. NKRI bukan hanya DKI, tetapi terdiri dari puluhan propinsi membentuk  sebuah rangkaian gerbong propinsi konvoi Bhineka Tunggal Ika yang tidak boleh terputus. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun