Setiap kejadian kecelakaan pesawat terbang selalu diramaikan para pengamat dunia penerbangan , baik pengamat professional maupun yang amatiran, pembahasan, diskusi dan analisis tentang penyebab kecelakaan di berbagai media elektronik dan media cetak.  Namun dari sekian banyak pembahasan dan tulisan tersebut ada satu kemungkinan lain yang menjadi penyebab terjdinya sebuah kecelakaan yaitu  kemungkinan pesawat masuk SPIN dan gagal  mengatasinya.
Kita tentu masih ingat peristiwa jatuhnya pesawat Adam Air/Boeing 737-400 dengan nomor penerbangan KI-574 di Selat Makassar dalam penerbangan dari Surabaya ke Menado pada tanggal 01 Januari 2007 dan menewaskan 96 penumpang dan 6 awak pesawat. Karena keadaan cuaca buruk pesawat minta izin merubah arah penerbangan dan diizinkan ATC Makassar, lalu kehilangan kontak beberapa saat kemudian.
Kejadian kedua menimpa pesawat Air Asia/Air Bus A-320-200 dengan nomor penerbangan QZ-501 jatuh di perairan Selat Karimata dalam penerbangan dari Surabaya ke Singapore pada tanggal 28 Desember 2014 dan menelan korban 155 penumpang termasuk awak pesawatnya. Â Karena cuaca buruk penerbang minta izin untuk merubah arah penerbangan dan diizinkan oleh pihak ATC, lalu kehilangan kontak beberapa saat kemudian.
Kejadian ketiga kecelakaan yang menimpa pesawat Sriwijaya Air/SJ-182 dengan rute penerbangan Jakarta-Pontianak pada tanggal 09 Januari 2021 jatuh di perairan kepulauan Seribu beberapa menit setelah lepas landas dari bandara Soekarno Hatta dan menewaskan 56 penumpang ditambah 6 awak pesawat. Â
Pesawat jenis Boeing 737 tersebut masih dalam posisi "climbing" melampaui ketinggian 10.000 feet, dan minta izin untuk menghindari cuaca buruk dengan merubah arah ke kiri dan diizinkan oleh pihak ATC, lalu kehilangan kontak beberapa saat  kenudian.
Dari ketiga peristiwa kecelakaan tersebut ada beberapa kesamaan fakta yang dapat dijadikan sebagai bahan analisis, antara lain :
a.   Ketiga peristiwa kecelakaan terjadi antara bulan Desember dan Januari pada saat mana hampir  diseluruh wilayah Indonesia mengalami keadaan cuaca buruk.  Biasanya menjelang bulan-bulan tersebut pejabat "Flight Safety Officer" perusahaan penerbangan akan menerbitkan internal NOTAM (Note To Air Missions) atau semacam Safety Warning kepada seluruh awak pesawat agar meningkatkan kewaspadaan dalam menghadapi keadaan cuaca buruk, terutama kepada para penerbang untuk meningkatkan kemahiran dalam terbang Instrument.
b.   Pada ketiga peristiwa tidak terjadi komunikasi dua arah antara penerbang dengan pihak ATC.  Ini merupakan tanda tanya besar, karena dalam situasi darurat penerbang setidaknya akan mengirimkan panggilan "MayDay, May Day, Mayday".  Barangkali karena penerbang tidak "familiar" dengan situasi yang terjadi, "performance" apa yang sedang terjadi dengan pesawat terbang sehingga hanya berada dalam keadaan bingung, tegang dan panic sehingga lupa  berbuat sesuatu termasuk mengadakan kontak dengan pihak ATC.
c. Â Â Pada ketiga peristiwa, terjadinya hilang kontak dengan pihak ATC beberapa saat penerbang minta izin merubah arah/ketinggian dalam keadaan cuaca buruk (IMC/Instrument Meteorolgy Condition) sehingga patut diduga pesawat stall dan masuk spin. Â
Posisi pesawat yang sedang berbelok (one wing lower than the other), goncangan cuaca buruk yang begitu hebat, bisa terjadi "unexpected stall dengan "one wing low" sehingga masuk dalam spin. Â
Membuat belokan dalam keadaan cuaca buruk, ada kalanya tanpa disadari pesawat sudah "over banking" yang mengakibatkan "lift" pada pesawat semakin kecil sementatra "drag" semakin besar dan kecepatan semakin kecil juga sehingga terjadi "stall".
Apa itu SPIN, bagaimana tejadinya, dan bagaimana "recover"nya?
Badan Otoritas Keselamatan Penerbangan Amerika Serikat (FAA) mendefinisikan " Spin as an aggravated stall  that result an airplane descending in a helical or corkscrew path".Jadi spin sebenarnya adalah peristiwa "basic stall" yang diperparah oleh gerakan berputar turun seperti spiral.  Spin akan terjadi apabila pesawat stall dengan konfigurasi salah satu wing lebih rendah  dari  lainnya.Â
Misalnya dalam posisi pesawat sedang berbelok kekiri, maka wing sebelah kiri lebih  rendah dari wing sebelah kanan, "angle of attack" nya lebih besar, karenanya akan mendapat "drag" yang lebih besar dan "lift" yang lebih kecil dari pada wing sebelah kanan, sehingga bila pesawat stall, akan diperparah dengan gerakan putar seperti  spiral kearah kiri. Demikian pula akan terjadi sebaliknya apabila pesawat "stall" pada saat berbelok kekanan, putaran spin akan kearah kanan. Â
Dari uraian beberapa fakta dan keterangan tersebut diatas, tentunya akan timbul beberapa pertanyaan, antara lain  :
a. Â Â Apakah para penerbang kita di Indonesia tidak cukup "familiar" dengan yang namanya "SPIN" dan bagaimana cara "recover"nya?
b. Â Â Apakah Sekolah Penerbang-Sekolah Penerbang yang ada di Indonesia termasuk STPI Curug dan BP3 Banyuwangi dalam kurikulum dan silabusnya tidak tercantum pelatihan tentang spin?
Di dalam "Advisory Circular"yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Perhubungan Udara AC-141-01 berupa saran dan anjuran Kurikulum dan Sillabus bagi Sekolah Penerbang-Sekolah Penerbang di Indonesia memang ada tercantum spin (di Lesson plan A-8) namun hanya "incipient spin entry & recovery". Â
Meskipun Advisory Circular tersebut sifatnya hanya sebagai saran tetapi ditekankan untuk digunakan sejalan dengan peraturan-peraturan berlaku dan terkait, namun hingga saat ini belum kelihatan iplementasinya secara nyata.
Kebijakan pimpinan Sekolah Penerbang untuk memberikan atau tidak pelatihan beberapa "critical maneuver" kepada para siswanya didasari atas pertimbangan yang banyak. Â
Misi penerbangan komersial yang pada dasarnya hanya penerbangan "point to point" yang hanya menuntut kemampuan "take off & landing, straight & level" serta kemampuan navigasi yang baik sehingga dirasa tidak mutlak diberikan pelatihan beberapa "critical maneuver" yang kurang diperlukan.
Disamping itu ada juga yang dipertimbangkan dari jenis pesawat latihnya yang tidak direkomendasikan untuk membuat gerakan spin oleh fabrikan pembuat pesawatnya.
Pertimbangan lain adalah ketersediaan flight instructor yang mempunyai kualifikasi untuk  mendemonstrasikan gerakan dan "recovery" spin kepada para siswanya.
Lain halnya dengan Sekolah Penerbang TNI-AU di Lanud Adisucipto Jogyakarta, pelatihan gerakan Spin dan cara "recover"nya adalah mutlak diberikan kepada setiap siswa , baik pada saat terbang "dual" maupun sewaktu terbang "solo".
Bagaimana cara "recover"?
Dari film United State Navy Training Film sebuah metode "recover" spin diperkenalkan dengan akronim "PARE" (Power, Aeleron, Rudder, Elevator), sebagai berikut :
P(ower), ditaruh pada posisi "idle" (throttle close) untuk mengurang kecepatan laju perputaran
A(eleron), ditaruh pada posisi "neutral" untuk menstabilkan putaran spin, Menggerakkan aileron kearah berlawanan akan memperparah putaran spin kearah sebaliknya
R(udder), injak "Right Rudder", bila putaran spin kearah kiri, sebaliknya injak "Left Rudder" kalau putaran spin kearah kanan. Â Aksi menginjak "Rudder" merupakan aksi yang paling vital dalam "spin recovery" untuk menghentikan putaran spin
E(levator), "push down" untuk memperlambat gerakan "stall", kemudian dalam posisi "wings level" pesawat "pull up" perlahan sambil "apply" power secukupnya untuk kembali ke "normal flight".
Sekarang terpulang kepada pihak regulator apakah akan membiarkan tragedy awal dan akhir tahun dunia penerbangan Indonesia tetap berulang dan berulang kembali atau secara tegas dinyatakan "critical maneuver seperti "stall dan spin" dicantumkan di dalam kurikulum dan silabus Sekolah Penerbang di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H