Mohon tunggu...
Heriyanto Hermansyah
Heriyanto Hermansyah Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Profil Heriyanto Hermansyah

Heriyanto,S.H.,M.H. Menyelesaikan pendidikan Pascasarjana (S2) Program Hukum Kenegaraan Fak.Hukum Universitas Indonesia pada tahun 2011, Program Sarjana (S1)kekhususan Hubungan Negara dan Masyarakat Fak.Hukum Universitas Indonesia pada tahun 2008. Peminatan pada Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Pemilu, Demokrasi, Konstitusi, dan Ilmu Hukum. Aktifitas sehari-hari : 1) Pengamat Hukum Tata Negara Lulusan Universitas Indonesia. 2) beberapa Undang-Undang yang dikabulkan Mahkamah Konstitusi. 3) Penulis buku ketatanegaraan. 4) Peneliti Ketatanegaraan Saat ini bekerja sebagai Advokat pada Kantor Hukum Widjojanto, Sonhadji, and Associates

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menakar Esensialitas Kerugian Dalam Suatu Perkara

1 November 2016   15:12 Diperbarui: 1 November 2016   15:59 1308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita mungkin sering mendengar hal mengenai harus adanya kerugian langsung dalam pengajuan gugatan ke lembaga peradilan. Namun yang kita belum ketahui adalah seberapa penting suatu gugatan mensyaratkan kerugian langsung dalam diri penggugat.

A. Ranah Hukum Perdata

Melihat ranah hukum perdata, gugatan dapat diajukan atas suatu perbuatan melawan hukum atau wanprestasi akibat gagalnya suatu perjanjian. 

Kerugian dalam hukum perdata yang disebabkan wanprestasi terjadi akibat kegagalan salah satu pihak dalam melakukan prestasi atas hal yang diperjanjikan. Dalam KUHPerdata disebutkan bahwa perjanjian menjadi Undang-Undang yang membuatnya. Ketika suatu pihak wanprestasi pastilah menimbulkan kerugian bagi pihak yang lainnya. PIhak lain mengalami kerugian langsung atas kegagalan prestasi pihak lain. Sehingga dalam gugatan Wanprestasi membutuhkan adanya kerugian langsung dari penggugat. Sedangkan di dalam Perbuatan Melawan Hukum bukan hanya mensyaratkan adanya kerugian langsung melainkan dapat juga berupa kerugian tidak langsung (Lihat Buku Prof.Rosa Agustina berjudul Perbuatan Melawan Hukum).

Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) bisa disebabkan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dan pelanggaran terhadap asas kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian. Dalam konteks gugatan PMH, semua warga negara  bisa mengalami kerugian langsung maupun tidak dirugikan secara langsung sebab akibat atas suatu konsekuensi. Sehingga Kerugian langsung sering dikenal dengan sebutab kerugian materil dan sedangkan kerugian tidak langsung sering dikenal dengan kerugian immateriil atau ada juga yang menyebut kerugian konsekuensial. Dalam kerugian tidak langsung  yang disebabkan Perbuatan Melawan Hukum, Penggugat selain meminta ganti kerugian yang dapat diukur secara materil dapat juga  meminta penjatuhan sanksi (Punitive). Tuntutan terhadap ganti rugi immateriil yang dapat diukur secara materil maupun penjatuhan sanksi (Punitive) sangat bergantung kepada Hakim yang memutus. 

Kerugian langsung atau kerugian tidak langsung dalam hukum perdata dapat terjadi dikarenakan kondisi sebagai berikut:

1) Perbuatan yang dilakukan tergugat merupakan Perbuatan Melawan Hukum (PMH);

2) Adanya kerugian yang diderita; dan

3) Hubungan sebab akibat antara Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dengan Kerugian yang diderita.

B. Ranah Hukum Pidana

Di dalam hukum pidana dikenal adanya delik pelaporan atau delik pengaduan. Delik pelaporan merupakan delik dimana setiap warga negara dapat melaporkan suatu tindak pidana yang diketahui. Delik ini tidak memerlukan adanya kerugian langsung dari si pelapor misalkan delik-delik narkotika. Dalam delik pelaporan dapat berasal dari laporan masyarakat atau temuan kepolisian. Sedangkan delik pengaduan merupakan delik yang tidak setiap warga negara, melainkan hanya warga negara yang mengalami kerugian langsung (korban) yang dapat melaporkan seperti delik penggelapan (lihat dalam Mr.Uthrect, Buku Hukum Pidana II).

Hukum Pidana juga mengenal adanya delik formil dan delik materiil. Dalam delik formil kerugian yang dimaksudkan oleh tindak pidana belum dapat dilihat sedangkan dalam delik materiil kerugian yang dialami sudah dapat terlihat. Pada delik formil suatu tindak pidana tidak memerlukan akibat (tidak perlu menunggu adanya kerugian) sedangkan dalam delik materiil memerlukan akibat dari perbuatan pidana tersebut (voltooid).

C. Ranah Hukum Administrasi Negara dan Tata Negara

Lahirnya Undang-Undang Administrasi Pemerintahan Nomor 30 Tahun 2014, telah memberikan paradigma baru terhadap kerugian tidak langsung. Pada pasal 87 huruf e Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 menyebutkan suatu Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara yang berpotensi memiliki akibat hukum maka dapat diajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam kaitannya dengan Potensi, tentu belum ada kerugian langsung di dalamnya melainkan hanya kerugian tidak langsung. Terhadap konsepsi ini, bukan hanya warga negara yang memiliki akibat langsung dari terbitnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang dapat menggungat, melainkan Warga Negara yang tidak memiliki akibat langsung pun dapat ikut mengguat. 

Undang-Undang Administrasi secara tegas ingin menyatakan Negara Wajib Hadir ketika setiap Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, melanggar Hak Asasi Manusia, dan bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Negara tidak boleh Absen ketika ada kondisi tidak satupun Personal Warga Negara yang dirugikan langsung akibat Keputusan Tata Usaha Negara melainkan kepentingan tidak langsung dalam arti luas (universal) yang dirugikan.  Makanya di dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan yang diterbitkan Itulah esensi penting dari sebuah negara hukum yang dianut Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.

Didalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan sudah tidak dikenal lagi sifat Individual dalam setiap Keputusan, hal ini ingin menunjukkan bahwa dari terbitnya Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara bukan hanya berakibat pada individu melainkan berakibat pada kepentingan publik. Jadi bukan hanya kerugian lansung dari nama individu yang disebut dalam Keputusan melainkan kerugian tidak langsung dari masyarakat lain juga bisa terjadi akibat terbitnya keputusan tata usaha negara tersebut.

Sebut saja dalam konteks gugatan ICW, YLBHI, dan NGO terhadap Keppres No. 87/P Tahun 2013 terkait Pengangkatan Hakim MK, Penggugat tidak memiliki kerugian langsung. Atas nama kepentingan publik, maka sudah lumrah dalam praktik peradilan diberikan legal standing walaupun tidak dirugikan langsung. 

Di dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009 dalam pengujian formil  Perubahan Kedua Undang-Undang Mahkamah Agung (halaman 59), yang  menyebutkan sebagai berikut:

“Dari praktik Mahkamah (2003-2009), perorangan WNI, terutama pembayar  pajak (tax payer; vide Putusan Nomor 003/PUU-I/2003) berbagai asosiasi dan  NGO/LSM yang concern terhadap suatu Undang-Undang demi kepentingan  publik, badan hukum, Pemerintah daerah, lembaga negara, dan lain-lain, oleh  Mahkamah dianggap memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian, baik formil maupun materiil, Undang-Undang terhadap UUD 1945  (lihat juga Lee Bridges, dkk. Dalam “Judicial Review in Perspective, 1995)”.

Sehingga Mahkamah Konstitusi termasuk pranata peradilan yang mengawali memberikan legal standing kepada pemohon pengujian Undang-Undang walaupun tidak secara langsung dirugikan.

Selain membahas praktik hukum tata usaha negara umum, penulis juga mau membahas hukum tata usaha negara dan tata negara pemilu

D. Ranah Hukum Administrasi Negara dan Tata Negara Pemilu...

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, khususnya Pasal 153 dan Pasal 154 sudah menyebutkan secara tegas yang dapat mengajukan sengketa tata usaha negara adalah pasangan calon yang ditetapkan oleh KPU Provinsi atau KPU Kab/Kota sebagai Peserta Pemilihan. Hal ini juga diperkuat dengan ketentuan pasal 142 dan pasal 143 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 yang dapat mengajukan adalah peserta pemilihan

sengketa yang dapat diajukan oleh peserta pemiihan adalah :

  1. sengketa antara peserta pemilihan dengan penyelenggara pemilihan akibat dikeluarkannya Keputusan KPU Provinsi atau Keputusan KPU Kab/Kota
  2. sengketa antar peserta pemilihan

Sangat jelas dan tegas bahwa yang dapat mengajukan sengketa pemilihan maupun sengketa tata usaha negara adalah Pasangan Calon yang ditetapkan oleh KPU Provinsi atau KPU Kab/Kota

Peraturan Bawaslu No.8 Tahun 2015 tentang Penyelesaian Sengketa, membuat terobosan hukum dengan memberikan legal standing bukan hanya kepada peserta pemilihan, melainkan pasangan calon yang mendaftarkan diri namun tidak ditetapkan oleh KPU Provinsi atau KPU Kab/Kota. Hal tersebut juga diamini oleh Pendapat Mahkamah Agung melalui Pendapat Hukum Mahkamah Agung 115/K.TUN/2015. Kalau hanya dibatasi pada peserta pemilihan, pasangan calon yang tidak ditetapkan akan tertutup peluang mencari keadilan melalui jalur hukum.

Peserta Pemilihan menggugat Keputusan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota biasanya atas Keputusan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota yang menetapkan pasangan calon lain yang sebenarnya tidak memenuhi syarat. Di dalam Asas Hukum "nullus/nemo commedum copere potest de injuria sua propria", menuntut "Tidak boleh seorang pun diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak seorang pun boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan orang lain". Yang artinya terhadap tindakan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota yang menetapkan pasangan calon yang tidak memenuhi syarat maka pasangan calon lainnya yang ditetapkan oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota tidak boleh membiarkan hal tersebut terjadi.

Contoh kasus yang pernah terjadi dalam Pilkada Kabupaten Mojokerto tahun 2015, Pada saat pendaftaran pasangan calon tanggal 26-29 Juli 2015, Pasangan Calon Mustafa Kamal Pasha tidak pernah memasukkan PPP sebagai daftar partai politik pengusung. Partai Persatuan Pembangunan hanya mengajukan pasangan calon Choirun Nisa pada saat pendaftaran pasangan calon pemilhan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Mojokerto tanggal 26-29 Juli 2015. Pada saat proses verifikasi, Ketua Umum PPP Djan Faridz menyatakan tidak pernah memberikan dukungan kepada pasangan calon Choirun Nisa. 

KPU Kabupaten Mojokerto menetapkan Pasangan Calon Mustafa Kamal Pasha dan Pasangan Calon Choirun Nisa sebagai Pasangan calon Peserta Pemilihan. Pasangan Calon Mustafa Kamal Pasha mengajukan sengketa ke Panwas Kabupaten Mojokerto, dan Panwas Kabupaten Mojokerto menolak permohonan yang diajukan dikarenakan Pasangan Calon Mustafa Kamal Pasha tidak memiliki kerugian langsung atas penetapan pasangan calon Choiru Nisa karena tidak pernah mendaftarkan PPP sebagai Partai Politik Pengusung. Gugatan pun bergulir ke PT TUN dan Mahkamah Agung, yang pada akhirnya Mahkamah Agung pada akhirnya mengabulkan gugatan Pasangan Calon Mustafa Kamal Pasha.  

Asas Hukum "nullus/nemo commedum copere potest de injuria sua propria" sering digunakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa perselisihan hasil pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota ketika di dalamnya terjadi kejahatan yang bersifat Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM). Pemohon walaupun tidak dirugikan langsung atas kejahatan TSM pasangan calon lainnya, namun ketika kejahatan TSM merusak sendi-sendi demokrasi maka pemohon dapat menggugat hal tersebut ke Mahkamah Konstitusi.  Ketika kejahatan TSM sudah tidak ada satupun pranata penegak hukum mampu mengatasi hal tersebut, Mahkamah Konstitusi bisa bergerak ke arah keadilan substansial atas dasar kejahatan tersebut tidak boleh dibiarkan. 

Pemilu merupakan sebuah kompetisi antara pasangan calon yang satu dengan pasangan calon lainnya. Ketika dalam berkompetensi tersebut. ada kecurangan yang dilakukan penyelenggara kompetisi untuk menguntungkan pasangan calon lainnya, maka pasangan calon atas nama keadilan dapat menggugat pasangan calon yang diuntungkan atas kecurangan tersebut. Pasangan Calon yang mendapatkan perlakukan tidak setara dan diskriminatif maka pasangan calon tersebut memiliki hak menggugat pasangan calon lainnya. Misalkan saja syarat menjadi Pasangan Calon adalah berpendidikan minimal SLTA/Sederajat. 

Ketika ada tindakan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota yang menetapkan pasangan calon tidak berpendidikan minimal SLTA/Sederajat, maka Pasangan Calon yang memenuhi syarat dapat menggugat Pasangan Calon lain yang ditetapkan namun sebenarnya tidak memenuhi syarat. Hal ini sejalan dengan asas hukum "Setiap orang dapat menggugat orang lain tanpa memperdulikan apakah orang yang bersangkutan menderita kerugian langsung maupun tidak langsung (Asas Actio Popularis)".

Salah satu pendapat Prof.Jimly Ashidiqie yang pernah disampaikan ketika zaman kuliah menyatakan : "Salah satu alasan Legal standing dibuat semata-mata sebagai rekayasa supaya membuat lembaga peradilan tidak banyak tumpukan perkara". Legal standing tidak penting sekali dalam suatu perkara selain alasan membatasi jumlah Perkara, melainkan keadilan substantif lebih penting. Lembaga peradilan yang akan memberikan legal standing kepada penggugat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun