Hukum Pidana juga mengenal adanya delik formil dan delik materiil. Dalam delik formil kerugian yang dimaksudkan oleh tindak pidana belum dapat dilihat sedangkan dalam delik materiil kerugian yang dialami sudah dapat terlihat. Pada delik formil suatu tindak pidana tidak memerlukan akibat (tidak perlu menunggu adanya kerugian) sedangkan dalam delik materiil memerlukan akibat dari perbuatan pidana tersebut (voltooid).
C. Ranah Hukum Administrasi Negara dan Tata Negara
Lahirnya Undang-Undang Administrasi Pemerintahan Nomor 30 Tahun 2014, telah memberikan paradigma baru terhadap kerugian tidak langsung. Pada pasal 87 huruf e Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 menyebutkan suatu Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara yang berpotensi memiliki akibat hukum maka dapat diajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam kaitannya dengan Potensi, tentu belum ada kerugian langsung di dalamnya melainkan hanya kerugian tidak langsung. Terhadap konsepsi ini, bukan hanya warga negara yang memiliki akibat langsung dari terbitnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang dapat menggungat, melainkan Warga Negara yang tidak memiliki akibat langsung pun dapat ikut mengguat.
Undang-Undang Administrasi secara tegas ingin menyatakan Negara Wajib Hadir ketika setiap Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, melanggar Hak Asasi Manusia, dan bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Negara tidak boleh Absen ketika ada kondisi tidak satupun Personal Warga Negara yang dirugikan langsung akibat Keputusan Tata Usaha Negara melainkan kepentingan tidak langsung dalam arti luas (universal) yang dirugikan. Makanya di dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan yang diterbitkan Itulah esensi penting dari sebuah negara hukum yang dianut Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Didalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan sudah tidak dikenal lagi sifat Individual dalam setiap Keputusan, hal ini ingin menunjukkan bahwa dari terbitnya Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara bukan hanya berakibat pada individu melainkan berakibat pada kepentingan publik. Jadi bukan hanya kerugian lansung dari nama individu yang disebut dalam Keputusan melainkan kerugian tidak langsung dari masyarakat lain juga bisa terjadi akibat terbitnya keputusan tata usaha negara tersebut.
Sebut saja dalam konteks gugatan ICW, YLBHI, dan NGO terhadap Keppres No. 87/P Tahun 2013 terkait Pengangkatan Hakim MK, Penggugat tidak memiliki kerugian langsung. Atas nama kepentingan publik, maka sudah lumrah dalam praktik peradilan diberikan legal standing walaupun tidak dirugikan langsung.
Di dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009 dalam pengujian formil Perubahan Kedua Undang-Undang Mahkamah Agung (halaman 59), yang menyebutkan sebagai berikut:
“Dari praktik Mahkamah (2003-2009), perorangan WNI, terutama pembayar pajak (tax payer; vide Putusan Nomor 003/PUU-I/2003) berbagai asosiasi dan NGO/LSM yang concern terhadap suatu Undang-Undang demi kepentingan publik, badan hukum, Pemerintah daerah, lembaga negara, dan lain-lain, oleh Mahkamah dianggap memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian, baik formil maupun materiil, Undang-Undang terhadap UUD 1945 (lihat juga Lee Bridges, dkk. Dalam “Judicial Review in Perspective, 1995)”.
Sehingga Mahkamah Konstitusi termasuk pranata peradilan yang mengawali memberikan legal standing kepada pemohon pengujian Undang-Undang walaupun tidak secara langsung dirugikan.
Selain membahas praktik hukum tata usaha negara umum, penulis juga mau membahas hukum tata usaha negara dan tata negara pemilu
D. Ranah Hukum Administrasi Negara dan Tata Negara Pemilu...