Dengkusku sengaja kukeraskan supaya mereka tidak jadi berduet untuk menyerangku.
      "Di sini nggak ada kereta api atau truk tronton lewat, tapi maaf kalau ngorokku sampai mengganggu kalian," kataku datar.
      Barisan depan tiba-tiba berhenti melangkah. Aku dan Hadi yang ada di belakang berakhir menabrak barisan di depan kami. Punggung Lina dan Kinan jadi sasaran, dan mereka bersungut-sungut saat berbalik badan lalu menatap kami dengan nyalang.
      "Jalan pakai mata, dong!"
      "Jalan pakai kaki, lah," ralat Hadi, yang sebenarnya tidak perlu diucapkannya.
      Hadi kemudian melongo usai meneguk ludahnya, saat mengarahkan tatapannya ke depan dan mendamprat dua orang di barisan paling ujung. Setelah menoleh ke arah Hadi, aku ikut menatap ke depan.
      Tampak beberapa batang bambu melengkung sampai menyentuh tanah. Ludahku merosot sampai ke tenggorokan cepat. Di depan kami, Kinan dan Lina juga membeku.
      Srek....
      Suara daun bambu menyentuh tanah, lalu tarikan batangnya sampai mengudara terdengar, berkali-kali. Batangnya seperti ditarik dan dilepaskan untuk permainan jungkat-jungkit.
      Kecuali Sakti, Budi menoleh ke belakang seolah menghitung dalam hati sampai tiga sebelum mengangguk memberi tanda.
      Kami berlari detik itu juga.