"Lana cukup!!" hardik Bu Darmi dengan masih tersedu. "Sudah! Terpenting sekarang kita berkumpul sebagai keluarga lagi."
"Menurutmu demikian??" balas Rizqita lagi. "Sisha hanya hitungan bulan menikah. Setelah itu suaminya menceraikan dia tanpa alasan. Kau tahu??" lanjut Rizqita sambil menunjuk Sisha. " Adikmu itu lontang lantung di Banjarmasin kayak orang hilang. Hampir ia jadi sasaran lelaki hidung belang. Kau tahu...Dia ingin pulang lekas. Tapi kau selalu diam hingga tumbuh suatu kebenaran di hatinya."
    "Kebenaran bahwa dia memang pelacur? Bukan begitu Sisha." Mata Lana menatap tajam adiknya.
Sisha tak menjawab. Memang di awal kepulangannya ia telah serahkan segala keterangan dan alasan kepada sahabatnya. Sisha tak mau bicara dengan kakaknya. Percuma.
Perdebatan terus bergulir. Beragam bukti dan alasan telah Rizqita uraikan dengan detail. Sahabatnya itu mengungkapkan bahwa Sisha memang bersalah, tapi sekarang sangat tulus untuk hijrah. Sayangnya Lana tetap jengkel dan kokoh pada prinsipnya.
    "Sudah Lana. Cukup kataku" Bu Darmi menengahi debat itu. "Kau bukan wanita yang melahirkannya. Kau tak bakal paham perasaan ini. Sekarang kita sudah bersatu. Lupakan masa lalu. Besok idul fitri dan mari saling memaafkan."
Kata kata ibunya tak bisa Lana ganggu gugat. Ia meredam emosinya. Dengan diam, dia keluar rumah untuk mencari udara segar.
*
Pagi usai salat ied, sang ibu sangat gembira melaksanakan ibadah tahun ini bersama putrinya. Raut wajah Bu Darmi juga berangsur angsur cerah.Â
Di dapur, ketiga perempuan itu menyiapkan segala cemilan dan makanan untuk menyambut tamu saat datang berkunjung. Di luar Lana terlihat tengah sibuk menyapu karpet.
Rencananya saat hidangan sudah selesai tersaji di beranda depan, sebelum pintu dibuka terlebih dahulu semua keluarga akan bermaaf-maafan di sana. Hal ini sudah bagian dari tradisi.