"Yang kami mau adalah permintaan maaf dari pemerintah anda. Jika tidak, silahkan angkat kaki dan bawa koper ini. Anda tak akan bisa menghentikan kami dengan uang. " Sartini dengan tegas mengusir Akkiro.
"Tunggu, anda yakin dengan apa yang baru saja anda lakukan? Kami sangat berharap anda tak menolak mentah-mentah seperti ini. Aku masih bisa memberimu waktu untuk berfikir. Dan perlu anda ingat, kami tidak mungkin pulang tanpa membawa kabar baik. "
"Hei, dengar ya. Kami sudah memikirkan ini bertahun-tahun. Kami ingin memperjuangkan hidup seperti anak-anak yang dilahirkan secara normal lainnya. Bukan dipandang lahir dengan paksa seolah-olah tanpa dikehendaki. Selama pemerintah anda tak mengucapkan kata maaf, jangan harap kami bisa melupakan semua dosa masa lalu orang tua kalian. Jadi pergilah sekarang juga, dan jangan pernah datang lagi."
"Oh, oke-oke !" Dengan kesal Akkiro pun pergi bersama Alung setelah pintu rumah Sartini ditutup dengan bantingan cukup keras. Sartini tak kuat dilecehkan oleh keturunan serdadu Jepang itu.
Dari balik jendela kamar ia memandang keluar. Kaca jendelanya yang mulai buram tak menghalanginya menatap anak-anak yang sedang berlomba panjat pinang di ulang tahun kemerdekaan yang ke 71. Bendera merah putih berkibar-kibar di ujung pohon pinang yang ditancapkan di sebuah area kosong di belakang rumahnya yang menjadi langganan permainan perlombaan setiap 17 Agustus. Namun, Sartini merasa belum bisa membahagiakan arwah buyutnya dan buyut-buyut lainnya yang telah mengalami penderitaan juga trauma yang cukup dalam sebagai jugun lanfu. Dari balik jendela kamarnya yang buram itu, ia merasakan kemerdekaan masih setengah hati. Â Kemerdekaan masih menyisakan kepedihan hati sebagian anak bangsa yang luput dari perhatian pemerintah maupun pelaku kejahatan perang.
Ia berjanji dalam hatinya, tak akan berhenti sampai keadilan bisa didapatkan demi harkat dan martabat para wanita hingga anak cucu tak mengalami nasib yang sama di kemudian hari.
Namun, keesokan harinya Sartini tiba-tiba muncul di headline beberapa surat kabar. Perjuangannya berakhir puluhan luka tusuk di sekujur tubuhnya. Ia telah menjadi martir untuk sebuah kemerdekaan yang masih harus diperjuangkan oleh Sartini Sartini yang lain, entah untuk berapa ratus tahun lagi.Â
Jakarta, 18 Agustus 2016
Karya ini diikutsertakan dalam rangka mengikuti Event Bulan Kemerdekaan RTC