Bila mengingatmu, dik. Â Saat terakhir kita bersama dengan pakaian putih abu-abu. Saat hari terakhir aku mengenakannya sepulang sekolah di SMA dahulu. Saat kukatakan padamu bahwa aku harus meninggalkan kota kecil ini, untuk sebuah cita-cita dan masa depan seperti banyak orang impikan. Jakarta.
"Aku pergi untuk sementara dik Ayu, berat memang. Tapi kadang kita harus melakukan hal yang memberatkan hati kita, untuk sebuah cita-cita yang lebih besar. Bukan berarti cinta nggak lebih penting, bukan. Cinta biarlah berjalan meski dipisahkan oleh tempat dan waktu."
"Tapi mas.. bisakah kita bertahan sampai waktu itu tiba ? " jawabmu lirih, dengan nafas tertahan. Aku tak kuasa mengucapkan kalimat lebih banyak lagi.
"Semoga, kita akan berusaha, dik."Â jawabku mencoba membesarkan hatimu.
Saat bus malam yang kutumpangi melaju dari kota kecil kita dahulu. Lewat hembusan angin yang semakin menjauhkan aku dengan dirimu, kutitipkan pesan "Maafkan dik, aku harus meninggalkanmu. Kuharap ini tak kan lama, kita akan bersama lagi untuk kisah kasih yang sempat tertunda. Aku harus merengkuh cita-citaku di kota Jakarta". Aku yakin bibirmu pasti tersenyum getir sebab harus menanti beberapa tahun untuk kepastian berlabuhnya cinta kita di pelaminan.
Waktu demi waktu berlalu, bulan demi bulan, tahun demi tahun. Tak terasa kau telah tumbuh menjadi gadis dewasa, dan kota kecil kita yang tak memberi harapan untuk masa depan, membuatmu mengikuti jejakku mengadu nasib di kota pahlawan, Surabaya. Aku tak mengerti mengapa engkau harus terdampar di kota itu. Mengapa sebuah cinta yang dulu subur di hati kita, sulit untuk bertemu dan menyatu, menjadi impian setiap pasangan kaum adam dan hawa.
Masih kuingat saat hari raya kau telah siapkan kue-kue lebaran untuk menyambut kepulanganku, tapi semua itu tak sampai kita nikmati bersama. Kota Jakarta terlalu membelengguku dengan segala hiruk pikuknya. Bukan karena aku telah memiliki penggantimu, juga bukan karena telah memudarnya cintaku. Tapi karena ketakutanku saat kemendengar ibumu ingin aku segera melamarmu. Sementara cita-citaku masih tergantung tinggi di awang-awang. Aku belum siap untuk sebuah biduk rumah tangga. Hingga suatu saat kau berpamitan kepadaku. "Mas, rasanya kita tak harus sampai ke mimpi kita. Ibuku sudah ingin menimang cucu, setelah kupertimbangkan masak-masak, dengan berat hati kita harus menyudahi hubungan kita. Ibu sudah menjodohkan aku dengan pilihannya. Aku khawatir dengan kondisi ibu yang sudah mulai sakit-sakitan Aku ingin berbakti kepadanya, selagi aku bisa. Termasuk mengorbankan rasa cintaku pada mas."
Membaca sepucuk surat terakhirmu, Â seribu macam perasaan campur aduk menggemuruh di dadaku. Kecewa, getir, galau , resah, gundah, tapi tak kuasa untuk memberi jawaban yang bisa menjadi alasan untuk menyelamatkan sebuah cinta yang semakin lama kurasakan sulit untuk disatukan. Jarak, Â waktu, cita-cita dan kehidupan ibukota telah menjadikannya terpisah jauh.
Surat terakhirmu kulipat dan kusimpan. Kupandangi nyala lampu 5 watt pengantar tidur di kamarku, tempat yang indah saat-saat aku sering membaca surat-suratmu. Tapi kini kutak akan membacanya lagi, aku telah pasrahkan semuanya kepada Tuhan, bahwa sebuah cinta kadang seperti sebuah keinginan yang tak selalu harus menjadi satu. Cinta hanyalah perasaan alamiah saat kita mengalami hal-hal yang sama, dan suatu saat bisa saja menjadi tinggal kenangan. Sebuah proses alamiah dua makhluk berlainan jenis, yang nasibnya pun kita tak pernah bisa menduga. Seperti sering kudengar nasehat bijak, jodoh , rejeki dan ajal kita tak akan pernah tahu.
"Dik Ayu, jika itu pilihan terbaikmu, mas tak bisa dan tak punya alasan untuk mencegahmu. Aku memahami perasaan dan apa yang menjadi pilihan hidupmu. Begitu juga mas, rasanya tak mungkin kita mempertahankan jalinan cinta ini. Selamat menempuh lembaran hidupmu yang baru, aku bahagia jika kelak kau pun bahagia. Â Kenangan bersama di antara kita, semoga tak mengganggu jalan hidup kita masing-masing, cukuplah hanya menjadi bunga-bunga masa lalu. Meskipun Tuhan tak mewujudkan keinginan kita untuk bersama, tapi aku yakin kita akan diberi-Nya yang terbaik. "
Sebuah paragraf perpisahan kutuliskan di surat teakhirku. Kucoba tak membasahinya dengan  air mata, karena yakin bahwa tak ada yang harus disesali. Perjalanan hidup manusia tak selalu lapang dan mulus, tinggal keikhlasan menerima segala hal yang tak selalu sesuai dengan kehendak diri.
Kini 22 tahun sudah berlalu. Aku telah hidup berbahagia dengan pasanganku yang cantik dan baik hati. Yang telah memberiku dua jagoan kecil dan satu gadis remaja yang cantik pula, dan  kini sudah menginjak bangku SMP. Kehidupan yang sangat membahagiakan. Doaku semoga adik berbahagia pula, meski aku tak pernah ingin tahu keberadaanmu saat ini. Biarlah cerita masa lalu menguap bersama waktu, dan saat ini adalah cerita nyata dalam lembaran hidup masing-masing.
**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H