Dampaknya: pemberlakukan pasar tenaga kerja yang fleksibel, pemberlakuan sistim kontrak dan outsourcing, dan lain-lain.
- Perundang-undangan yang mengesahkan agenda perdagangan bebas: UU No 38 Tahun 2008 tentang pengesahan piagam ASEAN, UU perdagangan, UU kawasan ekonomi khusus (KEK), dan lain-lain.
Sebagian besar UU itu jelas bertentangan dengan kepentingan nasional; juga bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Akan tetapi, semua Produk UU itu berhasil diundangkan karena adanya keterlibatan pihak-pihak di dalam negeri sebagai penyokongnya: pemerintahan komprador, sebagian kekuatan politik di parlemen, sebagian intelektual, dan LSM tertentu.
Ketua DPR Marzuki Ali mengatakan, perlu pembuktian untuk memastikan apa memang ada 72 UU yang dianggap membawa kepentingan asing. Jika tidak ada bukti, maka sulit menuduh bahwa UU itu merupakan pesanan asing. “Harus ada pembuktian untuk menyatakan itu. Jangan hanya asumsi dan katanya,” kata Marzuki . Ia mengaku, belum mendapat laporan mengenai hal tersebut. Dia juga tidak mau berkomentar lebih jauh jika belum ada pembuktian sebagai titipan asing. Sebuah lembaga swadaya masyarakat asing diketahui berkantor di Gedung DPR RI, Jakarta. United Nations Development Programme (UNDP) itulah LSM yang berkantor gedung parlemen Indonesia.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengungkap telah terjadi praktik jual beli pasal di DPR. Pemerintah menyatakan tidak terlibat dalam kasus itu. "Tidak ada ya. Kita tidak tahu ada jual beli pasal," kata Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kemenkumham Wicipto Setiadi saat dihubungi. Wicipto mengatakan, ia sudah sering terlibat dalam pembuatan undang-undang. Pasalnya, ia pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Perundang-Undangan hingga saat ini menjabat sebagai BPHN. Namun, tidak pernah ia mendengar ada praktik jual beli pasal di DPR. Menurut dia, dalam merancang undang-undang, DPR memang membutuhkan waktu lama. DPR harus melakukan kajian akademis. Namun, dalam perancangan itu, tidak pernah sekalipun ada indikasi jual beli pasal yang melibatkan pemerintah. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengungkapkan ada 406 kali pengujian undang-undang ke MK sejak 2003 hingga 9 November 2011 di mana 97 di antaranya dikabulkan karena inkonstitusional. Mahfud menilai buruknya legislasi ini terjadi karena ada praktik jual beli kepentingan dalam pembuatan UU.
LSM Asing berkantor di gedung Sekretariat Jenderal DPR, lantai 7 dan di lantai 3 gedung DPD RI. Namun, untuk di gedung Sekjen logo UNDP berwarna biru sudah hilang, sementara di DPD masih terpampang dengan jelas. Menurut Ketua DPP Partai Golkar, Firman Subagyo dirinya mengaku kaget atas keberadaan kantor UNDP tersebut. "Saya kaget kalau ada NGO asing, ini kan gedung negara kita menyimpan dokumen negara yang sangat penting. Kalau ada NGO asing di gedung wakil rakyat, waduh ini luar biasa,"Firman juga curiga NGO tersebut merupakan bagian dari CIA. Padahal ketika dirinya masuk gedung parlemen di luar negeri diperiksa secara detil oleh pihak keamanan disana, bahkan dilarang memotret.Karena itu, ia mempertanyakan siapa yang mengizinkan NGO tersebut. Untuk diketahui, UNDP sendiri merupakan salah satu NGO asing yang berada di bawah PBB.60 UU Indonesia Dipengaruhi Perusahaan dan LSM Asing. Setidaknya ada 60 produk perundangan Indonesia yang dipengaruhi kepentingan perusahaan asing dan sangat merugikan kepentingan nasional.Begitu disampaikan anggota Komisi IV DPR RI Siswono Yudhohusodo di Gedung DPR Senayan,. Dia mencontohkan, UU sumber daya air dan sejumlah perundangan yang mengatur praktik perbankan.Karenanya, dia meminta agar Seluruh Eleman Rakyat mewaspadai segala kepentingan tertentu yang ditargetkan oleh lembaga asing, baik perusahaan maupun LSM asing seperti Greenpeace.Dia juga mengatakan, data yang disampaikan Greenpeace mengenai kerusakan hutan Indonesia, misalnya, harus diwaspadai karena bisa jadi merupakan bagian dari skenario asing menyudutkan perekonomian nasional Indonesia. "Data tersebut jelas-jelas berorientasi kepada kepentingan perusahaan luar negeri. Pemerintah jangan mudah percaya info-info itu,” katanya. Dia juga mengatakan, bukan baru kali ini LSM asing itu memiliki agenda terselubung. Dari pengalaman yang lalu, demikian Siswono, LSM asing bahkan sudah berhasil mempengaruhi sampai tingkat perundang-undangan tadi.
72 UU Diintervensi Asing Pengamat dari Universitas Airlangga Surabaya, Jawa Timur, Bambang Budiono menyebutkan 72 undang-undang di Indonesia diintervensi asing. "Hal itu membuat Pancasila dikepung dua ideologi fundamentalisme yakni fundamentalisme pasar dan fundamentalisme agama," kata dosen Fisip Unair ini di Surabaya,. Ia mengemukakan hal tersebut dalam seminar tentang Pancasila bertajuk "Indonesia Menuju Negara Paripurna" yang diselenggarakan Universitas Narotama (Unnar) Surabaya untuk memperingati wafatnya penggali Pancasila, Soekarno. Menurut antropolog itu, kepungan tersebut terlihat dari adanya 75 persen pertambangan, 50,6 persen perbankan, 70 persen jaringan telekomunikasi, dan 65 persen agroindustri di Indonesia yang sudah dikuasai asing. "Kepemilikan asing itu antara lain 70 persen jaringan telekomunikasi yang dimiliki Kuwait, sedangkan agroindustri antara lain 65 persen kecap dikuasai AS, delapan persen sawit dikuasai Singapura, dan 12 persen sawit dikuasai Malaysia," katanya. Selain itu, 100 persen teh dan makanan ringan merek tertentu juga dimiliki Inggris, kemudian 74 persen minuman ringan dikuasai Prancis."Hal tersebut terjadi, karena kepemilikan asing itu masuk dalam 72 UU dengan kompensasi utang dan bantuan teknis kepada Indonesia, di antaranya UU minyak dan gas, UU telekomunikasi, UU listrik, UU sumberdaya air, dan sebagainya," katanya. Bahkan, kata dia, ada badan asing yang berkantor di DPR untuk mengawali UU tersebut. "Tidak hanya itu, pendidikan dan kesehatan juga dimasuki. Sekarang 49 persen pemain asing sudah diizinkan masuk pendidikan, dan juga swastanisasi rumah sakit," katanya. Oleh karena itu, kata mantan Direktur Pusham Unair ini, pertumbuhan ekonomi hanya diwaspadai, karena keuntungan dari pertumbuhan tersebut bukan menjadi milik Indonesia, melainkan milik kalangan asing.
"Kalau mau selamat, solusinya adalah kembali kepada Pancasila yang digali Bung Karno, tetapi solusi itu tidak mudah, sebab fundamentalisme sudah mengepung kita," katanya. Sementara itu, Presiden The Soekarno Center Dr Shri I Gusti Ngurah Arya Weda, pembicara lain dalam seminar ini mengatakan Pancasila dalam pandangan Soekarno adalah berdaulat secara politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam seni budaya."Bung Karno mengatakan revolusi belum selesai, tetapi maksudnya adalah revolusi karakter terkait kemandirian politik, ekonomi, dan seni budaya, tetapi revolusi itu pula yang membuat Bung Karno jatuh, karena negara lain ingin menjajah Indonesia secara politik, ekonomi, dan budaya," kata Rektor Universitas Mahendradatta, Bali itu (http://gustafalattas.blogspot.com/2012/07/lembaga-asing-intervensi-produk-uu-dpr.html)
***
Apa boleh buat, sesungguhnyalah kita sedang terjebak pada parodi demokrasi keterwakilan. Rakyat harus manut yang mewakilinya (DPR & Birokrasi Negara). Tak soal bila para wakil yang ada lebih berperilaku sebagai predator penghianat rakyat ketimbang pembela rakyat dan keadaan bangsa sudah terjepit bermacam jerat global APEC, AFTA, GATT & sekarang MEA. Bangsa ini sekarang hidup bak bakul-bakul pasar tradisional yang hidup dari “ilusi kemudahan” yang diberikan oleh rentenir. Ini karena mereka tak tersentuh jasa Bank yang lebih berperilaku sebagai pemburu jaminan daripada entrepreneur yang berani ambil resiko demi tugas nya sebagai agent of change bangsa.
NKRI sekarang ini, dapat dikatakan sedang menghadapi dua “arus besar” yang harus kita siasati. seperti terlihat pada diagram berikut, ini adalah mata rantai terbentuknya kekejian globalisasi sebagaimana sudah kita bahas dalam bab-bab sebelumnya.
Pertama, dari yang paling dasar bahwa globalisasi ini sudah dimulai dari hal yang GIVEN (tak bisa diubah) namun demikian sepenuhnya bisa “disiasati” atau dilawan, inilah sebuah sublimasi kisah dendam bangsa Yahudi (illuminati) untuk mengubah dunia sebagaimana kita bahas dalam bab III.