Mohon tunggu...
Herini Ridianah
Herini Ridianah Mohon Tunggu... Guru - write with flavour

pemerhati sosial dan pendidikan, guru les MIPA

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Polemik UKT, Tak Cukup Ditunda Kenaikannya

1 Juni 2024   11:21 Diperbarui: 1 Juni 2024   11:21 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menanggapi gelombang protes dari Mahasiswa dan masyarakat, akhirnya Tok! Kenaikan UKT (Uang Kuliah Tunggal) resmi dibatalkan tahun ini. Hal tersebut disampaikan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim usai menemui Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, pada Senin kemarin, 27 Mei 2024. "Kemendikbudristek telah mengambil keputusan untuk membatalkan kenaikan UKT pada tahun inhi dan kami akan merevaluasi semua permintaan peningkatan UKT dari PTN," kata Nadiem.

            Kementerian Pendidikan mengeluarkan surat imbauan yang ditujukan kepada rektor di kampus negeri. Dalam surat imbauan yang diterima Tempo, warkat dengan nomor 0511/E/PR.07.04/2024 itu diteken oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Abdul Haris. Surat itu berisi perihal pembatalan kenaikan UKT dan iuran pengembangan institusi (IPI) alias uang pangkal. Setidaknya, ada 75 kampus yang menaikan UKT pada tahun ini. Hal itu diketahui dari bagian lampiran surat yang berjudul "Daftar surat rekomendasi dan persetujuan UKT dan IPI yang dinyatakan batal dan dicabut". (https://nasional.tempo.co/read/)

Sementara itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut kenaikan UKT bukan tahun ini, tapi tahun depan. "Kemungkinan, ini masih kemungkinan, nanti ini kebijakan di Mendikbud akan dimulai kenaikannya tahun depan. Jadi ada jeda tidak langsung seperti sekarang ini," jelas Presiden Jokowi di Istora Senayan, Jakarta, Senin (27/5/2024).
(https://news.detik.com/berita/).

Jika UKT Naik, Rakyat Makin Tercekik

Sungguh ironi nasib pelajar miskin berprestasi. Calon mahasiswa baru (Camaba) di Universitas Riau (Unri) yang lolos Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) sekitar 50 orang memutuskan mundur dari Universitas Riau karena terbentur dengan biaya uang kuliah tunggal (UKT). Mereka merasa tidak sanggup membayar besaran uang yang ditentukan di Universitas tersebut. (Kompas.com)

Kisah pilu juga dialami anak yatim bernama Naffa Zahra (18) meski telah lulus jalur SNBP, namun terpaksa mundur dan mengubur mimpinya untuk kuliah di Universitas Sumatera Utara (USU) karena tidak sanggup membayar UKT sebesar 8,5 juta. Sebelumnya ia mengira uang kuliahnya hanya Rp2,4---3 juta. Diketahui, UKT 2024 di USU mengalami kenaikan 30---50% dibandingkan 2023. UKT tersebut terdiri dari delapan kelompok dengan kenaikan terjadi pada kelompok UKT 3---8. Naffa yang tinggal bersama Neneknya ini mengaku tak ingin menambah beban kakaknya yang membiayai dirinya. Karena kakaknya pun masih mahasiswa sambil bekerja. (https://medan.inews.id/read/)

Polemik kenaikan UKT yang makin mahal beberapa waktu lalu jelas memberatkan masyarakat menengah ke bawah. Bagai pepatah "Sudah jauh tertimpa tangga". Rakyat yang sedang menanggung kesulitan ekonomi, justru malah ditambah beban hidupnya dengan menaikkan UKT. Mahalnya UKT akan tetap menjadi beban rakyat baik ditunda tahun ini maupun diberlakukan di tahun depan dan seterusnya.

Hal ini jelas bertentangan dengan konsep bahwa pendidikan adalah hak setiap individu rakyat. Mirisnya lagi, sekolah yang peserta didiknya lolos penerimaan melalui jalur prestasi, tetapi tidak mengambilnya, sekolah tersebut bisa masuk daftar hitam (blacklist) dan ke depannya berpotensi tidak diberi kuota jalur prestasi oleh PTN yang bersangkutan. Dilema siswa miskin berprestasi.

Sementara itu, berempati dengan kondisi ekonomi mahasiswa nya, Universitas Muhammadiyah  di Maumere membolehkan mahasiswanya membayar biaya kuliah dengan hasil bumi maupun komoditas lainnya seperti kemiri, kelapa, ikan, pisang, dan sebagainya. Pembayaran UKT menggunakan hasil panen tersebut sudah dilakukan pihak kampus sebelum pandemi Covid-19, yaitu sejak 2018. (https://www.kompas.com/).

Di sisi lain, Institut Teknologi Bandung (ITB) justru bekerja sama dengan lembaga keuangan penyedia pinjaman online (pinjol) Dana Cita. Mahasiswa yang kesulitan membayar UKT ditawarkan opsi pengajuan keringanan UKT dan cicilan UKT dengan pinjol. Setidaknya ada 43 kampus yang sudah bekerjasa sama dengan Pinjol Dana Cita. Mirisnya, sudahlah dosa di mata agama, banyak mahasiswa yang justru stress karena tak mampu melunasi utang pinjol.  Sungguh nestapanya mahasiswa di negeri ini. (https://www.detik.com/edu/perguruan-tinggi/)

Kendati demikian, cukupkah penundaan kenaikan UKT jadi solusi?

Penundaan tidak menyelesaikan Akar Masalah

Pengamat Pendidikan dari Universitas Negeri Semarang (UNNES) Edi Subkhan mengatakan, pembatalan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) tahun ini hanya bersifat sementara. Menurutnya, kemungkinan tahun depan UKT kembali naik, karena pembatalan ini tidak menyelesaikan masalah mendasar.

Masalah mendasar kenaikan UKT, kata, Edy, karena pemerintah menetapkan kebijakan Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH). Kampus yang berstatus PTN-BH dikurangi porsi pendanaan dari pemerintah. (https://nasional.tempo.co/). Kenaikan biaya UKT ini dikarenakan status PTN (Perguruan Tinggi Negeri) yang berubah
menjadi PTN BH (Badan Hukum) sejak tahun 2000. Berdasarkan UU No 12/2012 dimana  perguruan tinggi tidak lagi mendapatkan biaya pendidikan secara penuh dari pemerintah. Sehingga mereka harus mencari pembiayaan sendiri untuk operasional kampus. Salah satu cara yang dilakukan kampus adalah membebankan biaya tersebut kepada mahasiswa.

Maka, sepanjang  Ini terlihat dari pemerintah masih belum mencabut status PTN BH, sepanjang itu pula polemik kenaikan biaya kuliah akan berulang di kemudian hari. Artinya, keputusan pemerintah membatalkan kenaikan UKT tahun ini belum sepenuhnya melegakan dunia pendidikan.

Liberalisasi Dunia Pendidikan : Akar Masalah

Ini adalah potret liberalisasi dunia pendidikan dalam bangunan negara kapitalis dan abainya negara atas hak pendidikan atas rakyat miskin. Pemerintah makin lepas tangan dalam membiayai pendidikan warganya. Ini terlihat dari kecilnya anggaran pendidikan yang hanya 20 % dari APBN. Dana itu masih harus didistribusikan ke banyak pos pendidikan. Salah satunya adalah Direktorat Penndidikan Tinggi Kemendikud. Jauh dari cukup untuk membiayai 85 PTN di seluruh Indonesia.

Paradigma keliru tampak dari pernyataan bahwa pendidikan tinggi merupakan kebutuhan tersier, yang tidak masuk dalam wajib belajar 12 tahun. Pendidikan wajib di Indonesia saat ini hanya 12 tahun, yakni SD,SMP, hingga SMA. Padahal sejatinya, mengenyam pendidikan berkualitas dan terjangkau setinggi mungkin adalah hak bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa terkecuali. Namun faktanya, ada diskriminasi di dunia pendidikan dengan membeda-bedakan status ekonomi.

Kebijakan ini tentu saja bisa mengancam kualitas SDM rakyat dan sulit bersaing di dunia Internasional.  Data Badan Pusat Statistik (BPS)  Agustus tahun 2023 memperlihatkan ada 452.713 lulusan S1, S2, dan S3 rentang usia 15 sampai 24 tahun yang tidak bekerja, sekolah, atau mendapat pelatihan (not in employment, education, and training/NEET). Sedangkan lulusan diploma ada 108.464 orang. ( Kompas.com, Minggu,19/5/2024).

Di tanah air, berdasarkan tingkat pendidikannya, penduduk bekerja didominasi lulusan SD ke bawah. Jumalahnya mencapai 51,49 juta orang atau menyumbang 36,82 % dari total penduduk bekerja di tanah air. Jika demikian, cita-cita menuju Indonesia emas sepertinya jadi bikin cemas.

Solusi Islam dalam Masalah Pendidikan

Islam menjadikan pendidikan sebagai salah satu kebutuhan pokok rakyat, yang disediakan negara  dan diberikan dengan biaya murah bahkan bisa jadi gratis.  Selain itu, semua warga negara mendapat kesempatan yang sama. Negara dalam sistem Islam mampu menyediakan pendidikan gratis karena memiliki sumber pendapatan negara yang cukup banyak.

Islam adalah satu-satunya sistem kehidupan yang begitu kuat mendorong umatnya untuk meraih ilmu. Frasa ulul albab, yakni orang-orang yang mengerahkan akalnya untuk berpikir cemerlang sehingga tertuntun pada keimanan, diulang sampai 16 kali di dalam Al-Qur'an.

Allah SWT memuji orang-orang yang beriman dan berilmu melalui firman Allah SWT : "Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, 'Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis', maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, 'Berdirilah kamu', maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Teliti dengan apa yang kamu kerjakan." (QS Al-Mujadalah [58]: 11).

Cara pandang kapitalistik sungguh berbeda nyata dengan pandangan dan pengaturan syariat Islam terhadap penyelenggaraan dan pembiayaan pendidikan. Hal ini berawal dari sabda Rasulullah saw., "Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim." (HR Ibnu Majah).

Berdasarkan hal tersebut, negara dalam sistem islam berkewajiban memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya dengan kualitas terbaik dan terjangkau. Kebutuhan dasar tersebut meliputi sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, keamanan. Islam menjadikan pendidikan sebagai salah satu kebutuhan pokok (primer) rakyat yang disediakan oleh negara dan diberikan kepada rakyat dengan biaya murah, bahkan sangat mungkin gratis. Selain itu, semua individu rakyat mendapatkan kesempatan yang sama untuk bisa menikmati pendidikan pada berbagai jenjang, mulai dari prasekolah, dasar, menengah, hingga pendidikan tinggi. Nabi saw bersabda : "Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya." (HR Muslim dan Ahmad).

Islam menetapkan dua tujuan pendidikan, yaitu mendidik setiap muslim supaya menguasai ilmu-ilmu agama yang wajib bagi dirinya (akidah, fiqih, ibadah, bahasa arab), dan mencetak para pakar dalam berbagai bidang ilmu agama juga sains dan teknologi, kedokteran, hingga nuklir, dsb yang dibutuhkan umat dan negara. Hukumnya fardhu kifayah sbg kebutuhan vital yang harus dipenuhi negara, bukan kebutuhan tersier atau kepentingan orang-orang kaya saja yang bisa diabaikan.

Cara  Islam Membiayai Pendidikan Berkualitas

            Pendidikan berkualitas memang membutuhkan biaya yang besar. Karenanya, pembiayaan pendidikan ini tidak boleh dibebankan kepada rakyat. Islam telah menetapkan sumber pembiayaan pendidikan sesuai dengan syariah, yaitu bisa berasal dari sejumlah pihak, yakni dari individu warga secara mandiri, infak/donasi/wakaf dari umat untuk keperluan pendidikan, serta pembiayaan dari negara. Negara lah yang memiliki porsi kewajiban terbesar untuk membiayai pendidikan berkualitas.

Islam juga menetapkan sejumlah pos pemasukan negara di baitulmal untuk memenuhi anggaran pendidikan. Di antaranya dari pendapatan kepemilikan umum seperti tambang minerba dan migas, juga fai, kharaj, jizyah, dan dharibah (pajak). Khusus untuk pajak, hanya diambil dari rakyat pada saat kas Baitulmal kosong dan dikenakan hanya pada orang kaya laki-laki saja.

Sementara itu, jaminan dan realisasi pembiayaan pendidikan oleh negara, yakni berupa pembangunan infrastruktur, sarana dan prasarana pendidikan, anggaran yang menyejahterakan untuk gaji pegawai dan tenaga pengajar, serta asrama dan kebutuhan hidup para pelajar termasuk uang saku mereka.

Sejarah kekhilafahan islam telah membuktikan kegemilangan pendidikan islam dari berbagai aspeknya. Islam berhasil mencetak para ulama dan  ilmuwan yang karyanya dikagumi dan menginspirasi dunia barat hingga sekarang. Bahkan islam pernah menggratiskan biaya pendidikan hingga ke tingkat perguruan tinggi, seperti Universitas Cordoba di masa Kekhalifahan Bani Umayyah. Cordoba dikenal sebagai the greatest centre of learning di Eropa ketika kota-kota lain mengalami kegelapan. Dahulu, peradaban Islam menjadi kiblat intelektual berbagai peradaban dunia, termasuk Barat. Pemuda-pemudi Barat berbondong-bondong menimba ilmu di lembaga-lembaga keilmuan yang didirikan kekhalifahan Islam. Tak terkecuali putri Raja Inggris. (https://langit7.id/read). Tidakkah itu menjadi bukti bahwa hanya dengan islam lah, kunci pendidikan generasi gemilang? . Sudah saatnya kita tersadar akan dampak buruk penerapan kapitalisme dan liberalisme pendidikan berasaskan sekuler. Saatnya kita kembali pada sistem islam jika ingin mewujudkan generasi berkualitas untuk Indonesia emas.

Wallahualam bissawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun