Mohon tunggu...
Herini Ridianah
Herini Ridianah Mohon Tunggu... Guru - write with flavour

pemerhati sosial dan pendidikan, guru les MIPA

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kelaparan Akut Menghantui Dunia

16 Mei 2024   06:43 Diperbarui: 16 Mei 2024   06:43 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seminggu lalu, tepatnya Sabtu, 4 Mei 2024 beredar video viral dari akun tiktok  @ ahmadsaugi31 dengan judul "Abang Cuma Minta Makan". Dalam video tersebut terlihat bocah bernama Gibran (6 tahun) di Kab. Bogor yang merengek nangis di luar rumah minta makan. Pilunya,  bukannya diberi makan ibunya, tapi justru disiram air. Ternyata masih ada dua adik Gibran yang juga kelaparan di dalam rumah. Ironinya, bagaikan aib, pejabat setempat pun mendesak Ahmad Saugi meminta maaf secara terbuka karena dianggap melanggar peraturan dan privasi.

Di wilayah lain, Bulan lalu, tepatnya 3 hari pasca lebaran, yaitu 15 April 2024, Suryati (35 tahun) tewas kelaparan. Ia merupakan warga desa Muratara, Sumsel, yang hidup serba kekurangan  hingga kedua anaknya pun diadopsi oleh panti asuhan dan kerabatnya. (https://sumateraekspres.bacakoran.co/)

Bagai tikus mati di lumbung padi. Kedua kasus miris di atas hanyalah secuil gambaran kasus kelaparan yang terjadi di negeri Indonesia yang kaya akan sumber daya alam ini. Faktanya bagai fenomena gunung es, jauh lebih banyak dari yang tampak di permukaan. Menurut Global Hunger Index (GHI), tingkat kelaparan di Indonesia tergolong tinggi di ASEAN menempati peringkat terburuk ke-2 setelah Timor Leste. Secara global, pada 2023 tingkat kelaparan Indonesia tertinggi (atau terburuk) ke-77 dari 125 negara.

GHI mengukur tingkat kelaparan di suatu negara berdasarkan 4 indikator, yaitu: Prevalensi kurang gizi (undernourishment), prevalensi anak dengan tinggi badan di bawah rata-rata/kerdil (child stunting), prevalensi anak dengan berat badan di bawah rata-rata/kurus (child wasting); dan angka kematian anak (child mortality). Berbagai indikator ini kemudian dirumuskan menjadi skor berskala 0---100. Makin tinggi skornya, kondisi kelaparan di suatu negara diasumsikan semakin buruk. (https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2024/01/12)

Ironinya, kasus kelaparan tak hanya terjadi lokal di Indonesia saja, namun juga mendunia.  Organisasi Pangan Dunia atau FAO yang berada di bawah naungan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengungkapkan masih banyaknya kelaparan akut di 59 negara atau wilayah, dengan jumlah 1 dari 5 orang di negara itu mengalami kelaparan akibat permasalahan pangan akut. Berdasarkan laporan mereka bertajuk Global Report on Food Crises 2024, tercatat sebanyak 282 juta orang di 59 negara mengalami tingkat kelaparan akut yang tinggi pada 2023. Jumlah orang kelaparan pada 2023 itu meningkat sebanyak 24 juta orang dari tahun sebelumnya. Situasi saat ini di Jalur Gaza menyumbang 80% masyarakat yang menghadapi kelaparan di dunia, bersama dengan Sudan Selatan, Burkina Faso, Somalia dan Mali. (https://www.cnbcindonesia.com/news/20240504)

Kapitalisme Sekuler : Penyebab Sistemik Kelaparan Global

Kelaparan akut dan ancaman kelaparan di dunia meningkat karena berbagai faktor seperti perang, fenomena iklim ekstrem, dan krisis ekonomi yang disertai "aksi yang tidak memadai." Secara khusus, konflik Israel-Hamas dan perang di Sudan diidentifikasi sebagai faktor penyebabnya. Penguasa yang sekaligus menjadi pengusaha sudah melupakan tugas utamanya untuk mengurusi rakyat. Mereka lebih mementingkan memperkaya diri sendiri. Akibatnya, terjadi kesenjangan kesejahteraan Namun jika ditelaah mendalam, maka akan ditemukan penyebab utamanya adalah penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang  tidak memiliki mekanisme menjamin kesejahteraan rakyat. Sedikitnya lapangan kerja dan rendahnya upah menjadi wajah sistem ini. Rakyat diminta berjuang sendiri untuk bisa sekedar makan. Akibatnya terjadi kesenjangan kesejahteraan.

Tidak ada konsep kepemilikan umum dalam sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme  meniscayakan penguasaan Sumber Daya Alam (SDA) di berbagai negara miskin dan berkembang melalui penjajahan gaya baru.  Kedok memperluas investasi menjadikan sumber kekayaan alam dikuasai oleh para investor baik asing, aseng, maupun swasta lokal. Kekayaan alam negeri seperti batu-bara, minyak bumi, barang tambang emas, dsb dikuasai oleh para pemilik modal. Hal ini menyebabkan kesenjangan sosial di masyarakat. Para pengusaha dan keluarganya hidup penuh kemewahan, di sisi lain rakyat berada di jurang kemiskinan hingga terjangkit kelaparan. Berdasarkan laporan organisasi nirlaba Oxfam, ketimpangan sosial masyarakat dunia makin mengkhawatirkan karena separuh (50%) kekayaan dunia dikuasai hanya oleh 1 % populasi.

Para pemilik modal pun menguasai dan mengendalikan pangan dari mulai produksi hingga distribusi, dari hulu hingga hilir dengan menggunakan paradigma mencari untung. Kedaulatan pangan pun tergadaikan dan sulit direalisasikan sepanjang sistem kapitalisme yang diterapkan.

Peran negara dalam sistem kapitalisme adalah sebagai regulator bukan sebagai pengurus rakyat yang menjamin pemenuhan kebutuhan rakyatnya. Seringkali kepentingan para pemilik modal lebih diutamakan daripada rakyatnya. Hubungan penguasa dan rakyat seperti penjual dan pembeli. Paradigma yang digunakan adalah dalam rangka mencari untung bukan paradigma melayani rakyat.  Tidak ada jaminan pemenuhan kebutuhan dasar. Dengan gaji yang pas-pasan, rakyat harus menanggung beban pendidikan, kesehatan, biaya sandang, pangan, papan.  Tak ada jaminan kesejahteraan. Jangankan pengangguran, yang bekerja saja masih terancam kelaparan karena biaya hidup yang semakin tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun