Mohon tunggu...
Herini Ridianah
Herini Ridianah Mohon Tunggu... Guru - write with flavour

pemerhati sosial dan pendidikan, guru les MIPA

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Standar Menyesatkan, Utang Indonesia Tembus 8000 T Masih Aman?

17 Januari 2024   19:43 Diperbarui: 17 Januari 2024   19:50 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengumumkan posisi utang Indonesia hingga akhir November 2023 sebesar Rp8.041,01 triliun. Naik tipis dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang sebesar Rp7.950,52 triliun. (https://www.cnbcindonesia.com/news ). 

Di akhir masa Presiden SBY menjabat tahun 2014 silam, utang Indonesia sudah mencapai 2.600 triliun. Alih-alih berkurang, justru utang Indonesia kini di 10 tahun terakhir pada masa pemerintahan Pak Jokowi, membengkak tak terbendung naik 5.441 triliun.

Tak hanya itu, utang negara-negara berkembang lainnya juga  menggelembung. Bank Dunia atau World Bank pun mengingatkan resiko utang yang semakin menggunung. Dikhawatirkan akan membuat negara tersebut mengalami krisis, khususnya negara yang perekonomiannya belum stabil.

Lebih mengkhawatirkan lagi, pemerintah akan menarik utang baru pada 2024 sebesar Rp 600 triliun. Penambahan utang ini dilakukan untuk menutupi defisit APBN 2024, sebesar 2,9%. (https://www.cnbcindonesia.com/news). Akibatnya, awal tahun 2024 ini Surat Utang Negara diburu para investor. Sungguh, PR besar bagi pemimpin negeri ini berikutnya adalah bagaimana mengeluarkan negeri ini dari gurita utang. Akankah ada yang sanggup?

Namun demikian, alih-alih mengindahkan peringatan bahaya utang, sejumlah tokoh justru menganggap utang negeri saat ini masih aman dan terkendali, sehingga tak mengapa untuk menambah rencana utang baru. 

Sebagai contoh, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listianto menilai, sejauh ini rasio utang Indonesia masih terbilang cukup aman. 

Rasio utang pemerintah saat ini terhadap Produk Domestik Bruto atau PDB mencapai 38,11%. Adapun jika mengacu pada undang-undang Nomor 1 Tahun 2003 tentang keuangan negara, batas maksimal rasio utang pemerintah terhadap PDB ditetapkan sebesar 60%. (www.nationalkontan.co.id)

 Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto sendiri menilai utang Indonesia yang mencapai 8.000 triliun masih terkendali. Bahkan Ekonom Universitas Brawijaya Malang HY Subandi memasukkan kategori utang Indonesia sebagai utang produktif, karena digunakan untuk pembangunan infrastruktur yang memberikan dampak positif jangka panjang. (www.republika.co.id)

Standar Menyesatkan Pembenaran Utang

 Statement utang terkendali dan berdampak positif sejatinya merupakan statement berbahaya. Sebab PDB tidak menggambarkan kemampuan pemerintah dalam membayar utang. Jadi alasan yang mengatakan bahwa rendahnya rasio terhadap PDB sehingga dikatakan utang itu aman adalah salah dan menyesatkan. Bahkan ekonom kapitalisme sendiri menyalahkan teori tersebut. Banyak juga yang beralasan bahwa utang tersebut masih jauh di bawah negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang dengan rasio utang terhadap PDB lebih dari 200%.

Hal ini menjadi justifikasi negara lain termasuk Indonesia yang rasio utangnya jauh di bawah negara-negara maju tersebut bahwa tidak ada masalah berutang selama posisinya masih aman. Padahal tentu saja kondisinya berbeda. Pasalnya, negara-negara maju selain memiliki utang juga memberikan utang kepada negara lain, yang itu terjadi pada Indonesia sebagai negara berkembang. 

Demikian juga yang mengatakan bahwa jika utang tersebut digunakan untuk biaya produktif cenderung aman terbantahkan. Pasalnya, Indonesia sudah masuk dalam jebakan utang atau debttrap, yang utang itu bukan untuk pembiayaan produktif tetapi utang itu didapatkan untuk membayar utang.

Mirisnya bukan lagi untuk membiayai pokoknya, tetapi bunga utang. Utang luar negeri sudah dilakukan negeri ini sejak masa kemerdekaan. Bahkan disinyalir kuat, kemerdekaan yang didapatkan bangsa ini berupa pengakuan kedaulatan dari negara penjajah hanya berupa bebasnya negeri ini dari penjajahan fisik. Sebab penjajah Belanda mensyaratkan kemerdekaan tersebut dengan kewajiban menanggung utang Belanda. Inilah utang pertama negeri ini. Padahal utang tersebut adalah utang Belanda yang digunakan untuk menjajah negeri ini.

Dari filosofis utang negeri ini saja nampak bahwa utang luar negeri sejatinya tidak aman karena hanya dijadikan sebagai alat penjajahan ekonomi atas negara pengutang. Memasuki orde baru, utang negeri ini semakin massif. Pasalnya mulai hadir investasi-investasi asing terhadap sumber daya alam Indonesia yang berbasis utang hingga memasuki era reformasi hari ini. Utang dalam sistem kapitalisme meniscayakan bunga utang. 

Hal ini pula yang menjadikan utang tidak akan pernah dalam posisi aman. Apalagi pembayaran utang dibebankan pada APBN, yang sumber APBN berasal dari pajak rakyat. Rakyat sendiri tidak menikmati utang tersebut. Hidup mereka semakin sulit sebab pemerintah semakin mengurangi subsidi pendidikan, kesehatan, pupuk dan lain-lain. 

Sementara utang yang semakin meroket pokok dan bunganya mutlak dibayarkan oleh APBN. Inilah gambaran sistem ekonomi kapitalisme yang hanya menjadikan negara miskin dan berkembang mengalami ketergantungan pada negara asing. Hal ini tentu membahayakan kedaulatan negara.

 Dunia akan terus memberikan penilaian positif terhadap utang suatu negara selama paradigma yang dipakai adalah kapitalisme. Sementara yang diuntungkan hanya negara pemberi utang. Seharusnya negara mandiri secara ekonomi. 

Namun hal tersebut hanyalah mimpi sepanjang sistem kapitalisme masih bercokol di negeri ini. Pasalnya, tata kelola sistem kapitalisme lah yang menyebabkan kekayaan sumber daya alam negeri ini justru dikuasai asing. Akibatnya pembiayaan negeri ini hanya mengandalkan dari pajak dan utang ribawi. Astaghfirullah! Sungguh miris, negeri mayoritas muslim namun berani melakukan keharaman utang ribawi sebagai penopang ekonomi negerinya.

Sekecil apapun utang, jika itu ribawi jelas tidak aman dalam pandangan syariat.   Tidak aman , karena perbuatan dosa tersebut bisa mengundang murka-Nya. Sudah seharusnya kaum muslimin kembali pada standar yang benar dalam membangun negeri ini, bukan standar menyesatkan yang membahayakan. Standar shahih tersebut adalah ridho Allah.   

Solusi Islam Membangun Negeri tanpa Utang Ribawi

Kemandirian  ekonomi suatu negeri  hanya bisa terwujud dengan penerapan Islam kaffah. Fakta ini  telah terbukti secara historis. Negara  yang dibangun oleh Rasulullah saw memiliki sistem keuangan  yang kokoh dan sistem politik yang kuat sehingga bisa menjadi negara  berdaulat yang bisa menyejahterakan rakyatnya.

 Karena kesejahteraan dalam islam dipandang kebutuhan per individu setiap rakyatnya. Kesejahteraan rakyatnya terealisasi melewati sistem keuangan Islam dalam Baitul Mal. Baitul Mal berfungsi mengatur harta yang diterima negara dan alokasi atau distribusi kepada yang berhak menerimanya. Ada tiga sumber pemasukan Baitul Mal. Pertama, pos fai, khoraj dan jizyah. Kedua, hasil pengelolaan aset kepemilikan umum seperti barang tambang, hutan dan lainnya. Ketiga, sumber pendapatan lain seperti zakat harta, zakat ternak, zakat pertanian, perniagaan, emas dan perak. Tiga pos ini akan mengalirkan harta ke Baitul Mal karena bertumpu pada sektor produktif.

Harta Baitul Mal juga selalu mengalir karena tidak terjerat pada utang ribawi. Rakyat juga tidak terbebani karena negara dalam islam tidak menetapkan sistem pungutan pajak di berbagai sektornya . Sistem ekonomi Islam juga membagi harta kekayaan menjadi tiga, yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Semuanya memberikan kontribusi terhadap Baitul Mall. Terbesar adalah harta milik umum yaitu sumber daya alam yang dikelola oleh negara dan harta milik negara yang dikelola oleh negara. Jika sistem islam kaffah diterapkan, maka anggaran pendapatan dan belanja nasional atau APBN bisa surplus.

Pada masa Khalifah Harun Al-rasyid (70-193 H) misalnya, terjadi surplus APBN di akhir kekuasaannya sebesar. 900.000.000 dinar yang jumlahnya setara dengan jumlah penerimaan APBN Indonesia . Pada Masa Khalifah Umar bin Khattab ra, pembangunan infrastruktur yang megah dan modern bisa dilakukan tanpa utang ribawi. Beliau membangun kanal dari teluk merah untuk memudahkan akses perdagangan, membangun kota dagang Basrah, yaitu jalur dagang ke Romawi. Lalu membangun kota Kuffah, yaitu jalur dagang ke Persia, dan memerintahkan gubernur Mesir membelanjakan sepertiga pengeluaran untuk keperluan infrastruktur. Bahkan Baitul Mall dalam sejarahnya selalu surplus. (https://harianjurnal.com/)

 Inilah bukti keadilan pengelolaan harta dalam sistem Islam sekaligus bukti kekokohan dan kemandirian sistem keuangan negara. Tidakkah kita menginginkannya?. Cukuplah janji Allah Swt sebagai jaminan bagi orang-orang yang beriman. Sebagaimana firman Allah Swt : "Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan." (TQS.Al-A'raf : 96)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun