Hal ini menjadi justifikasi negara lain termasuk Indonesia yang rasio utangnya jauh di bawah negara-negara maju tersebut bahwa tidak ada masalah berutang selama posisinya masih aman. Padahal tentu saja kondisinya berbeda. Pasalnya, negara-negara maju selain memiliki utang juga memberikan utang kepada negara lain, yang itu terjadi pada Indonesia sebagai negara berkembang.Â
Demikian juga yang mengatakan bahwa jika utang tersebut digunakan untuk biaya produktif cenderung aman terbantahkan. Pasalnya, Indonesia sudah masuk dalam jebakan utang atau debttrap, yang utang itu bukan untuk pembiayaan produktif tetapi utang itu didapatkan untuk membayar utang.
Mirisnya bukan lagi untuk membiayai pokoknya, tetapi bunga utang. Utang luar negeri sudah dilakukan negeri ini sejak masa kemerdekaan. Bahkan disinyalir kuat, kemerdekaan yang didapatkan bangsa ini berupa pengakuan kedaulatan dari negara penjajah hanya berupa bebasnya negeri ini dari penjajahan fisik. Sebab penjajah Belanda mensyaratkan kemerdekaan tersebut dengan kewajiban menanggung utang Belanda. Inilah utang pertama negeri ini. Padahal utang tersebut adalah utang Belanda yang digunakan untuk menjajah negeri ini.
Dari filosofis utang negeri ini saja nampak bahwa utang luar negeri sejatinya tidak aman karena hanya dijadikan sebagai alat penjajahan ekonomi atas negara pengutang. Memasuki orde baru, utang negeri ini semakin massif. Pasalnya mulai hadir investasi-investasi asing terhadap sumber daya alam Indonesia yang berbasis utang hingga memasuki era reformasi hari ini. Utang dalam sistem kapitalisme meniscayakan bunga utang.Â
Hal ini pula yang menjadikan utang tidak akan pernah dalam posisi aman. Apalagi pembayaran utang dibebankan pada APBN, yang sumber APBN berasal dari pajak rakyat. Rakyat sendiri tidak menikmati utang tersebut. Hidup mereka semakin sulit sebab pemerintah semakin mengurangi subsidi pendidikan, kesehatan, pupuk dan lain-lain.Â
Sementara utang yang semakin meroket pokok dan bunganya mutlak dibayarkan oleh APBN. Inilah gambaran sistem ekonomi kapitalisme yang hanya menjadikan negara miskin dan berkembang mengalami ketergantungan pada negara asing. Hal ini tentu membahayakan kedaulatan negara.
 Dunia akan terus memberikan penilaian positif terhadap utang suatu negara selama paradigma yang dipakai adalah kapitalisme. Sementara yang diuntungkan hanya negara pemberi utang. Seharusnya negara mandiri secara ekonomi.Â
Namun hal tersebut hanyalah mimpi sepanjang sistem kapitalisme masih bercokol di negeri ini. Pasalnya, tata kelola sistem kapitalisme lah yang menyebabkan kekayaan sumber daya alam negeri ini justru dikuasai asing. Akibatnya pembiayaan negeri ini hanya mengandalkan dari pajak dan utang ribawi. Astaghfirullah! Sungguh miris, negeri mayoritas muslim namun berani melakukan keharaman utang ribawi sebagai penopang ekonomi negerinya.
Sekecil apapun utang, jika itu ribawi jelas tidak aman dalam pandangan syariat. Â Tidak aman , karena perbuatan dosa tersebut bisa mengundang murka-Nya. Sudah seharusnya kaum muslimin kembali pada standar yang benar dalam membangun negeri ini, bukan standar menyesatkan yang membahayakan. Standar shahih tersebut adalah ridho Allah. Â Â
Solusi Islam Membangun Negeri tanpa Utang Ribawi
Kemandirian  ekonomi suatu negeri  hanya bisa terwujud dengan penerapan Islam kaffah. Fakta ini  telah terbukti secara historis. Negara  yang dibangun oleh Rasulullah saw memiliki sistem keuangan  yang kokoh dan sistem politik yang kuat sehingga bisa menjadi negara  berdaulat yang bisa menyejahterakan rakyatnya.