Mohon tunggu...
Herini Ridianah
Herini Ridianah Mohon Tunggu... Guru - write with flavour

pemerhati sosial dan pendidikan, guru les MIPA

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tingginya Angka Perceraian, Turunnya Angka Pernikahan, Ada Apa?

6 Oktober 2023   19:44 Diperbarui: 6 Oktober 2023   19:52 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.haibunda.com/moms-life

Kasus perceraian di Indonesia tahun lalu mencapai angka  tertinggi dalam 6 tahun terakhir. Menurut laporan statistik pada 2022, setidaknya ada 516.334 pasangan yang bercerai setiap tahun, sementara angka pernikahan semakin menurun dari 2 juta menjadi 1,8 juta peristiwa nikah setiap tahun. Hal itu disampaikan oleh Dirjen Dimas Islam Kementerian Agama, Profesor Doktor Kamarudin Amin dalam agenda kornas Badan Amir zakat nasional atau baznas 2023 di Jakarta, Kamis 21 September 2023. (https://www.republika.id/)

Berarti ada setengah juta pasangan yang bercerai. Ada makna dibalik tingginya perceraian. Kalau masing-masing pasangan itu memiliki dua anak saja, bisa dikatakan ada jutaan anak-anak yang kemudian memiliki keluarga yang tidak lagi harmonis atau broken home. 

Tingginya angka perceraian akhir akhir ini merata di semua kabupaten kota, mulai dari kota-kota besar sampai  kota-kota kecil. Pemenangnya adalah Jawa Barat. Sampai tahun 2022 itu ada 113.643 kasus perceraian di Jawa Barat dan angkanya terus meningkat. Sampai data bulan Juli 2023, semua kabupaten kota  sudah tembus di angka 1000. Kalau satu kabupaten kota itu tembus di angka 1000 dalam 6 bulan pertama di tahun 2023, bisa dibayangkan berarti nanti di akhir 2023  akan meningkat drastis di semua kabupaten kota.

Misalnya saja di Surabaya sampai dengan bulan Juli 2023 tercatat 2805 kasus dalam 6 bulan. Di Makassar, kawasan Timur Indonesia itu ada 2635 kasus dalam enam bulan. Bisa dibayangkan nanti di Desember 2023 bisa jadi angkanya akan naik dua kali lipat. Tentu kondisi yang memprihatinkan. (https://www.detik.com/jatim/berita/d-6821432)

Efek Domino Tingginya Perceraian Tak Bisa Dianggap Sepele

Ketika  perceraian ini tinggi di tengah-tengah masyarakat, ternyata efeknya tidak hanya berhenti kepada munculnya keluarga-keluarga yang tidak lagi utuh tetapi pada generasi di bawah mereka.  Generasi kedua dari mereka-mereka yang sudah bercerai tersebut, yaitu anak-anak mereka atau kemudian generasi muda yang belum menikah itu, ternyata memiliki trauma tersendiri untuk mau melangkah masuk ke jenjang pernikahan.

 Sehingga kemudian kita saksikan fenomena yang mulai menjangkiti generasi muda kita, termasuk generasi muda Islam adalah mereka ketakutan untuk menikah. Mereka lebih nyaman belajar dan bahkan menjalani hubungan tanpa ikatan pernikahan (kumpul kebo) yang jelas maksiat.

 Karena menurut mereka, itu adalah sesuatu yang lebih ringan tanpa konsekuensi dan lebih mudah dijalani. Bagi  mereka-mereka yang menikah juga ada satu lifestyle baru gitu yang kemudian juga mulai menjadi arus di tengah-tengah generasi muda kita, yaitu pilihan untuk menikah tanpa anak (freechild). Sehingga kalau kemudian kita gabungkan fenomena ini, turunnya pernikahan, tingginya angka perceraian, takutnya generasi muda untuk masuk ke dalam pernikahan dan enggannya mereka itu berketurunan, bisa mengantarkan generasi di Indonesia ini akan sampai pada situasi krisis sebagaimana yang sudah terjadi pada beberapa negara-negara lain seperti Amerika, Eropa, Jepang yang saat ini mengalami Loss Generation atau krisis generasi.

Berdasarkan data yang dihimpun dari kata data.co.id terdapat 1,7 juta pernikahan yang tercatat di Indonesia sepanjang 2022 menurut laporan statistik Indonesia jumlah ini menurun 2,1% dibandingkan 2021 sebanyak 1,7 4 juta pernikahan. Adapun angka pernikahan nasional pada 2022 terendah dalam satu dekade terakhir. Sementara itu, fenomena menunda pernikahanpun mulai menggejala. Dari data BPS di tahun 2021,  ada 64,9 juta pemuda yang 37,7% itu menikah di atas usia 30 tahun karena kegagalan  pernikahan kedua orangtuanya dan tuntutan finansial. Jika kondisi ini dibiarkan, masalah serius akan menimpa kita.

Harus menjadi kegelisahan di benak kita semua, sebenarnya apa yang sedang terjadi pada bangunan keluarga Muslim hari ini?. Bukankah kalau kita meyakini Islam adalah yang sudah sempurna, lalu pernikahan pun itu bagian dari ibadah yang sudah diatur oleh Islam, Mengapa kok kemudian keluarga-keluarga muslim juga mengalami fenomena kerapuhan keluarga ini?. Mengapa identitas keislaman mereka seolah tidak mampu mencegah kerapuhan bangunan keluarga muslim hari ini?. Bagaimana Islam akan mengurai, menjelaskan, menganalisa, apa akar masalah dari persoalan yang sedang dihadapi oleh para keluarga hari ini? dan bagaimana pula strategi dan solusi yang ditawarkan oleh Islam untuk menyelesaikan persoalan ini.

Virus Sekuler Biang Rapuhnya Rumah Tangga Muslim

Penyebab perceraian beragam, mulai dari alasan sepele hingga serius. Ada seorang istri yang dilarang suaminya pakai celana robek-robek lututnya dan ini ternyata berujung perceraian. Ada juga seorang istri yang ingin sekali candle light dinner, tapi nggak pernah dilakukan oleh suaminya jadi cerai. Dan yang khasnya lagi, yang  berbeda dengan tahun sebelum-sebelumnya adalah fenomena gugatan cerai yang dilakukan oleh pihak istri itu menempati posisi 75% dari total kasus perceraian yang ada. Kalau dulu menyandang gelar janda itu menjadi sesuatu yang tabu, tetapi sekarang tidak lagi. Itu terbukti dengan banyaknya kasus gugatan cerai istri. Sungguh miris!

Penyebab perceraian mulai dari ketidaksiapan pasangan suami istri tentang bagaimana tanggung jawab pernikahan, persoalan perekonomian, kemiskinan, kecanduan judi online, perselingkuhan sampai juga seperti di Aceh bahkan disebut ada karena persoalan orientasi seksual pasangan, masalah kesehatan reproduksi salah satu pihak, ternyata kemudian mengidap salah satu penyakit infeksi meroseksual dan seterusnya. Hingga Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang mencapai 6000 an kasus dan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Ketua umum Badan Penasehat Pembinaan dan Pelestarian Perwakilan (BP4), Profesor Kyai Haji Nazaruddin Umar mengatakan penyebab utama perceraian hingga 55% jumlahnya adalah karena percekcokan. Hal ini menunjukkan banyaknya pasutri di negeri ini yang tidak memahami tanggung jawab pernikahan

Banyaknya kasus perceraian adalah bukti nyata kegagalan kehidupan sekulerisme kapitalisme dalam mengatur masyarakat. Kehidupan yang jauh dari agama menciptakan masyarakat yang hanya mencari kesenangan, kenyamanan dan kebebasan. Akhirnya pernikahan pun dipandang sebagai sarana untuk melampiaskan hasrat jasadiyah atau fisik semata karena memperhatikan hukum-hukum turunan darinya.

Kehidupan sekulerisme kapitalisme juga tidak menjadikan generasi sadar harus mempersiapkan pernikahan dengan ilmu yang ada. Justru hanya dilihat dari tampang, kemapanan dan rasa cinta atau bahkan ada pernikahan yang didasari karena perintah orang tua atau hanya sekedar dorongan kecukupan umur. Sehingga ketika pernikahan itu dirasa sudah tidak ada manfaat, mereka mudah memutuskan untuk bercerai. Ketika terjadi perselingkuhan, mudah sekali melakukan kekerasan. Inilah penyebab keroposnya bangunan pernikahan saat ini.

Alasan paling menonjol yang dilaporkan dari beberapa pengadilan agama di beberapa kabupaten bahwa penyebab mayoritas dari perceraian karena masalah ekonomi. Kesulitan ekonomi dari pihak suami untuk bisa memberikan nafkah kepada keluarganya dengan cara yang ma'ruf sesuai dengan kelayakan.  Pada saat ini, lapangan pekerjaan bagi para suami sempit untuk mendapatkan penghasilan yang cukup. Bahkan tak jarang terdapat keluarga muslim yang sama sekali tidak ada penghasilan. sehingga kemudian menuntut para istri itu untuk bekerja.

Terlebih lagi dengan program-program pemberdayaan ekonomi perempuan yang semakin mendorong perempuan untuk bekerja bahkan sampai ke luar negeri. Tentu ini menambah persoalan ketika para perempuan teralihkan aktivitasnya untuk menghidupi keluarga. Peran keluarga tidak berjalan sebagaimana mestinya hingga menimbulkan ketimpangan yang berujung pada kerapuhan keluarga dan berujung pada perceraian.

Faktor pemicu lainnya adalah tanpa kita sadari, keluarga muslim sudah mulai terkontaminasi cara berpikir feminis, yaitu pemikiran laki-laki dan perempuan itu setara, sehingga pada aplikasinya siapa yang bisa memberikan kontribusi yang lebih maka dialah yang mengambil peran itu. Akhirnya tidak ada pembagian peran sebagaimana mestinya. Padahal kalau itu sudah tuntutan syariat Islam maka seharusnya ya sesuai tuntutan itu.

Allah telah menyampaikan di dalam surat ar-rum ayat 41: "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)".  Di dalam tafsir Imam al-qurthubi dikatakan bahwa makna karena perbuatan tangan manusia adalah kemaksiatan karena meninggalkan syariat Islam, baik meninggalkan secara parsial, apalagi secara keseluruhan. Realitasnya kerusakan sampai pada tataran keluarga. Berawal dari ada banyak keluarga yang tidak memahami tuntunan Islam atau ada yang memiliki pemahaman tapi masih terkontaminasi virus sekuler dan turunannya seperti ide feminis.

Sistem kapitalis ini telah menjadikan materi sebagai tolok ukur kebahagiaan. Sehingga bahagia itu kalau materi banyak, uang banyak. Akhirnya yang terjadi dalam sebuah keluarga muslim, istri  akan menuntut suami untuk beraneka ragam kebutuhan-kebutuhan yang sebenarnya itu bukan kebutuhan, tapi keinginan. Ingin makan malam tadi atau ingin apalah dan seterusnya. Sehingga ketika  keinginannya ini tidak terpenuhi, muncullah konflik konflik hingga memuncak berujung perceraian.  Termasuk anak-anak muda yang nggak mau nikah, atau anak-anak muda yang sudah menikah tapi nggak mau punya anak, karena menganggap  belum cukup secara finansial. Alasannya berkutat seputar materi.

Faktor berikutnya adalah sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan  saat ini telah membuat akses terhadap sumber daya alam  hanya bagi para pemilik modal saja. Kebutuhan pokok dan layanan publik berupa pendidikan, kesehatan dibisniskan hingga terasa mahal bagi rakyat. Tak jarang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tak mencukupi meski suami dan istri keduanya sudah bekerja. Kesenjangan  antara si kaya dan miskin makin lebar.  Kemiskinanpun menjadi salahsatu faktor pemicu perceraian pada saat iman keduanya goyah.

sistem kapitalisme yang  bernafaskan liberalisme (paham serba bebas) membuat banyak diantara keluarga muslim yang melakukan perbuatan-perbuatan serba bebas tanpa terikat dengan aturan syariat. Mudah sekali terjadi perselingkuhan,  seorang suami menempeleng istrinya, melakukan KDRT terhadap pasangan, hingga berujung perceraian.

Karena itu perceraian bukan hanya masalah individu yang bisa diselesaikan dengan penyuluhan pranikah di KUA namun sudah menjadi masalah sistemik. Sehingga penyelesaiannya pun harus sistemik.

Islam, Solusi Tuntas Wujudkan Ketahanan Keluarga 

Keluarga adalah lembaga terkecil di dalam masyarakat. Untuk mewujudkan kehidupan yang tentram, aman damai dan sejahtera dalam suasana cinta kasih diantara anggota keluarga (suami, istri, anak). Suami  menjalankan tanggung jawabnya untuk melindungi, memberikan nafkah, mendidik, dan seterusnya. Demikian juga istri memiliki tanggung jawab untuk menjalankan perannya sebagai istri, sebagai ibu,  pengatur rumah tangga. Sehingga masing-masing menjalankan kewajibannya, mendapatkan haknya.

Sehingga dari keluarga yang ideal tersebut akan lahir yang generasi-generasi muslim yang sholih- sholihah yang nanti akan bisa menjadi pemimpin-pemimpin pada masa yang akan datang. Namun gambaran keluarga yang ideal semacam itu untuk saat ini, tidak mudah untuk kita wujudkan.

Satu-satunya sistem yang mampu mencetak pasangan suami istri yang akan memuliakan peradaban hanyalah sistem Islam. Islam memiliki pandangan yang khas mengenai sebuah  pernikahan. Dalam Islam disebut sebagai mitsakon golidzho atau perjanjian agung. Allah Swt berfirman:  

"Bagaimana kamu akan mengambil kembali padahal kamu telah bergaul satu sama lain sebagai suami istri dan mereka istri-istrimu telah mengambil perjanjian yang kuat atau ikatan pernikahan dari kamu." (QS. An-nisa ayat 21).

Lafadz ini sejajar dengan mitsaqon golidzho atau perjanjian agung antara Allah dengan para rasul berpredikat Ulul Azmi yaitu Nabi Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa.

Dalilnya terdapat dalam Qur'an surah al-ahzab ayat 7 :  

  

"Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri) dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh."

Diceritakan bahwa dalam melakukan perjanjian ini sampai-sampai Allah mengangkat gunung Tursina di atas kepala Bani Israel. Dalilnya terdapat dalam Qur'an surah an-nisa ayat 154 :

  

"Dan Kami angkat gunung (Sinai) di atas mereka untuk (menguatkan) perjanjian mereka. Dan Kami perintahkan kepada mereka, "Masukilah pintu gerbang (Baitulmaqdis) itu sambil bersujud," dan Kami perintahkan (pula) kepada mereka, "Janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabat." Dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang kukuh."

Dengan menyebut pernikahan sebagai mitsaqan gholiidzho, artinya pernikahan bukanlah perjanjian yang bisa dipermainkan dan bisa diambil dengan sembarangan tanpa ada persiapan.

 Tak hanya itu, dalam Islam juga memiliki tujuan yang jelas lagi mulia terkait pernikahan yaitu sebagai sarana agar kehidupan masyarakat tetap dalam kesucian dan kemuliaan, mewujudkan jalinan cinta kasih dan tergapainya ketentraman hati atau Sakinah. Sesuai dengan QS ar-rum ayat 21: "Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang." Tujuan pernikahan bagi seorang muslim adalah untuk melanjutkan keturunan, menghindarkan dosa, mempererat tali silaturahim, sebagai sarana dakwah dan menggapai marodhotillah.

 Pun Islam juga memiliki tuntunan yang jelas ketika menjalani kehidupan suami istri kehidupan suami istri adalah kehidupan persahabatan seperti yang dijelaskan dalam QS. Ar-rum ayat 21 di atas. Ketika pasangan suami istri ini diamanahi keturunan, Islam juga memberikan tuntunan agar mereka saling bekerja sama untuk mendidik anak-anak mereka dengan benar sesuai dengan tuntunan Syariah.

 Anak laki-laki dipersiapkan untuk menjadi pemimpin sedangkan anak perempuan dipersiapkan untuk menjadi pencetak para pemimpin peradaban. Ketika individu memahami konsep-konsep pernikahan dalam Islam seperti ini maka Islam akan mendapat kemuliaan dari pernikahan ini.

Salah satu contohnya adalah pernikahan kedua orang tua Salahuddin al-ayyubi, sang pembebas Baitul Maqdis. Tujuan pernikahan mereka adalah mencetak generasi yang akan  menjadi pembebas Baitul Maqdis.

Hanya saja yang perlu dipahami konsep-konsep ini tidak akan bisa serta merta dijalankan individu dengan sempurna tanpa ada peran negara. Maka Islam memerintahkan agar negara juga turut mengambil peran untuk menciptakan generasi berkualitas.

 Untuk merealisasikannya, negara dalam sistem islam diwajibkan  menerapkan sistem pendidikan Islam. Hasil dari pendidikan Islam adalah generasi yang memiliki syahsiyah Islam/ kepribadian islam. Mereka memiliki pola pikir atau aqliyah dan pola sikap atau nafsiyah sesuai dengan tuntunan syariat. Tak hanya itu, pendidikan Islam juga akan membekali generasi dengan ilmu alat kehidupan. Sehingga mereka mampu memenuhi dan menyelesaikan permasalahan kehidupan. Lebih detail lagi, Syekh A'tha bin Kholil dalam kitabnya dasar-dasar pendidikan Khilafah menjelaskan bahwa khusus bagi siswa perempuan ada kurikulum ke rumah tanggaan.

 Dengan demikian, generasi yang terlahir adalah generasi yang paham konsekuensi dan siap mengemban amanah besar. Sehingga ketika mereka menikah, mereka akan paham konsekuensi dan amanah menjadi suami istri dan orang tua. Maka ketika terjadi ketidak selarasan, mereka akan mengembalikan semua perkara pada hukum syariah. Mereka akan berinteraksi dengan makruf kepada pasangan dan menjaga pernikahan dari hal-hal yang menyebabkan perceraian.

 Tak hanya itu, negara dalam sistem islam  juga berkewajiban menerapkan sistem ekonomi Islam yang menjamin setiap laki-laki mendapatkan pekerjaan. Dengannya mereka bisa memenuhi nafkah keluarga dengan Ma'ruf sesuai kelaziman di daerah tempat tinggalnya. Pun negara diwajibkan menerapkan sistem pergaulan Islam yang akan menjaga interaksi antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan publik sehingga masyarakat yang terbentuk adalah masyarakat yang suci lagi mulia, jauh dari perselingkuhan, kekerasan, perzinaan dan kemaksiatan lainnya.

Islam pun mewajibkan negara untuk  mengawal konten media terutama medsos agar mengajak taqwa, membangun mindset yang benar tentang solusi kehidupan sesuai ridho Allah. Bukan  konten-konten seperti hari ini yang malah ngajak orang untuk nggak bener, gaya hidup hedonis dan permisif yang justru memicu perceraian.

Inilah solusi hakiki yang sistem islam tawarkan agar perceraian bisa teratasi. Solusi komprehensif yang membutuhkan sinergitas ketakwaan individu, masyarakat yang saling peduli dengan dakwah, serta negara sebagai garda terdepan yang menegakkan aturan islam di seluruh aspek kehidupan. Tidakkah umat menginginkan menerapkannya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun