Mohon tunggu...
Herini Ridianah
Herini Ridianah Mohon Tunggu... Guru - write with flavour

pemerhati sosial dan pendidikan, guru les MIPA

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kasus Kekerasan Seksual Makin Masif, Butuh Solusi Komprehensif

15 September 2023   22:00 Diperbarui: 15 September 2023   22:49 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.idntimes.com/news/indonesia

Biadab! Mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan perilaku jahat bapak kandung yang tega menodai putrinya sendiri hingga berkali-kali. Alih-alih menjadi pelindung sang anak, justru berubah menjadi monster penghancur masa depan anaknya. Beberapa kasus yang mencuat dalam empat bulan terakhir diantaranya ; Mahasiswi di Ciamis diperkosa ayah kandung DK (44 th) sebanyak 6 kali hingga melahirkan. Kasus itu diungkap aparat kepolisian pada 2 Juni 2023. (https://news.republika.co.id/berita)

 Di Tangerang, seorang pria berinisial SH (54) ditangkap atas kasus pemerkosaan. SH tega memperkosa anak kandungnya hingga 100 kali sejak tahun 2014. (detik.com, 30/8/2023). Seminggu kemudian, di Sulawesi Barat, Kabupaten Mamasa, Pria berinisial M (55) tega memperkosa anak kandungnya yang berusia 22 tahun hingga hamil 6 bulan. Pelaku memperkosa korban yang merupakan penyandang disabilitas sebanyak 10 kali. (detik.com, 7/9/2023). 

Masih di  Sulawesi Barat, Polewali Mandar, seorang pria berinisial SN (45), ditangkap karena memperkosa anak kandungnya yang berusia 14 tahun. Pelaku 4 kali memperkosa korban saat merantau di Kalimantan Timur (Kaltim). (detik.com, 7/9/2023). Tak kalah sadisnya, kasus terbaru  terjadi di Kabupaten Langkat, Sumatra Utara. Kakak Beradik Berusia 7 dan 4 Tahun Diduga Diperkosa Kakek dan Pamannya. (https://news.republika.co.id/berita, 15/9/2023).

Mengerikan! Bagai fenomena gunung es. Kasus kekerasan seksual pada anak yang terungkap hanyalah bagian kecil dari fakta sesunggguhnya. Artinya negeri ini dalam keadaan darurat kejahatan seksual. Bagaimana tidak, alih-alih selesai, justru dari waktu ke waktu kasus serupa semakin menjamur di berbagai daerah. Masalah ini tidak bisa dianggap sepele. Jangan sampai, saking seringnya bersliweran berita serupa di berbagai daerah, hingga membuat empati terhadap korban menjadi berkurang. Tuntutan terhadap pelaku pun terbilang ringan jika dibandingkan dampak psikologis korban yang harus ditanggung seumur hidupnya.

Cegah Kekerasan Seksual dimulai dari  Keluarga

Staf ahli menteri bidang pembangunan keluarga Kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak atau Kemen PPPA Indra Gunawan mengungkapkan keluarga dan masyarakat dapat berkontribusi mencegah tindak pidana kekerasan seksual atau tpks. 

Indra menyoroti fenomena anak yang menjadi korban TPKS namun enggan menceritakannya. Indra menyebut anak tak mau melaporkan kasus TPKS karena takut menjadi aib dan mencoreng nama keluarga. Padahal orang tua perlu menciptakan ruang yang aman dalam keluarga. Indra juga menyebut peran keluarga dalam pencegahan dapat dimulai dari memberikan edukasi kepada seluruh anggota keluarga kemudian dibangun komunikasi yang. berkualitas bagi anggota keluarga.

 Sementara itu anggota himpunan psikologi Indonesia atau HIMSI dan Asosiasi Psikologi Forensik (APSIFOR), Ratri Kartikaningtyas mengatakan kekerasan seksual bisa terjadi dan dilakukan oleh orang terdekat korban karena adanya relasi kuasa yang merugikan pihak korban. Padahal seharusnya membentuk keluarga yang sehat jasmani dan rohani dapat dimulai dari orang tua. Begitupun dengan pencegahan kekerasan seksual terhadap anak juga dapat dimulai dari keluarga. Memang benar keluarga memiliki andil dalam masalah ini.

Kekerasan Seksual Mewabah, Sekulerisme Akar Masalah 

Kasus kekerasan seksual sejatinya bukan disebabkan rapuhnya keimanan seseorang semata atau minim literasi terkait hal itu. Kekerasan seksual yang merajalela adalah buah dari penerapan sistem sekulerisme kapitalisme. Sistem ini menjauhkan manusia dari agama sehingga orientasi kehidupan hanya digunakan untuk meraih kesenangan dan kepuasan duniawi saja. Buktinya lemahnya pendidikan agama dari orang tua kepada anak-anaknya disebabkan mereka bekerja demi kebutuhan ekonomi.

Pemikiran masyarakat juga diracuni dengan tayangan-tayangan porno. Pergaulan di masyarakat juga menganut pergaulan bebas dan permisif yang menormalisasi perzinaan. Sistem sanksi pun tidak tegas bahkan tidak jarang membuat korban kekerasan seksual tidak mendapat keadilan yang sesuai. Para pelaku rata-rata dijatuhi hukuman penjara 5-15 tahun. Hukuman yang tidak membuat jera bagi pelaku atau pencegah orang lain melakukannya.

Jadi akar masalah kasus ini bukan terletak dari minimnya peran orang tua namun karena penerapan sistem sekularisme kapitalisme.

Islam, Satu-satunya Solusi Komprehensif

Sangat berbeda dengan cara penyelesaian kasus kekerasan seksual dalam sistem Islam. Sebagai ideologi, Islam memiliki seperangkat aturan baku yang sangat terperinci dan sempurna mencakup seluruh aspek kehidupan. Untuk menyelesaikan kasus kekerasan seksual, Islam mampu menyelesaikannya dengan penerapan beberapa sistem, seperti sistem pergaulan, ekonomi, permediaan dan sanksi.

Tak hanya itu, Islam juga mewajibkan agar tiga pilar yakni orang tua, masyarakat dan negara menjalankan perannya masing-masing untuk mencegah kekerasan seksual. Adapun peran orang tua adalah mendidik anak-anak mereka dengan syariat Islam. 

Orang tua wajib menanamkan akidah kepada anaknya hingga terbentuk kesadaran di dalam diri anak bahwa dia adalah hamba Allah yang wajib menaati perintahnya dan menjauhi larangannya. Orang tua juga harus mengajari syariat Islam kepada anak-anaknya, seperti memisahkan tempat tidur anak sejak usia 7 tahun, membiasakan menutup aurat dan tidak mengumbar aurat, tidak berkhalwat, mengetahui siapa mahramnya dan sebagainya. Aturan ini akan membentengi anak-anak dari kemaksiatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun