Komitmen pemberantasan korupsi di negeri ini seolah ilusi dan terkesan basa-basi. Bagaimana tidak, alih-alih selektif memilih Bakal Calon Legislatif (Bacaleg), yang terjadi justru aturan semakin longgar. Indonesian corruption watch atau ICW menemukan setidaknya 24 eks terpidana kasus korupsi diusung oleh sejumlah partai politik menjadi bacaleg DPRD provinsi dan kabupaten/kota pada pemilu 2024 mendatang. (https://news.republika.co.id/berita/s03w4f430)
Menurut peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, hal itu membuktikan bahwa partai politik masih memberi karpet merah kepada mantan terpidana korupsi. ICW menyayangkan sikap KPU yang terkesan menutupi karena tidak kunjung mengumumkan status hukum mereka. Kurnia mengatakan ketiadaan pengumuman status terpidana korupsi dalam DCS tentu akan menyulitkan masyarakat untuk memberikan masukan terhadap DCS secara maksimal. Terlebih informasi mengenai daftar riwayat hidup para bakal caleg juga tidak disampaikan dalam laman KPU. (https://www.cnnindonesia.com/nasional)
Warganet pun ramai-ramai merespon kabar soal diperbolehkannya mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg) DPR, DPD, dan DPRD pada Pemilu 2024 mendatang. Mereka mempertanyakan guna SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian). (https://www.cnnindonesia.com/teknologi)
Seperti diketahui izin soal narapidana menjadi Caleg tertuang dalam undang-undang nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum terutama di pasal 240 ayat 1 huruf g. Dalam pasal tersebut tidak ada larangan khusus bagi mantan narapidana kasus korupsi untuk mendaftar sebagai Caleg DPR dan DPRD. Namun menjelang Pemilu 2019 lalu, KPU sebetulnya pernah membuat peraturan yang secara gamblang melarang mantan napi korupsi mendaftar sebagai calon anggota DPR, DPRD serta DPD. Akan tetapi syarat yang dibuat KPU itu digugat sejumlah mantan napi koruptor ke Mahkamah Agung atau MA. Pembatasan hak politik bagi mantan napi korupsi yang digagas KPU lalu sirna karena MA membatalkan aturan tersebut dengan alasan hak asasi manusia. Walhasil, Pemilu 2019 lalu setidaknya ada 49 calon anggota legislatif yang merupakan mantan napi kasus korupsi. Dari jumlah itu, sebanyak 40 menjadi calon anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota, sementara 9 lainnya sebagai calon anggota dewan perwakilan daerah (DPD).(https://app.cnnindonesia.com/). Tak ayal hari ini ditemukan sejumlah caleg berstatus mantan koruptor.
Bahaya dibalik Kebolehan
 Kebolehan mantan napikorupsi mendaftarkan diri menjadi Caleg di satu sisi seolah menunjukkan tidak ada lagi rakyat yang layak mengemban amanah. Di sisi lain menunjukkan adanya kekuatan modal yang dimiliki oleh bacaleg tersebut. Mengingat untuk menjadi calon membutuhkan modal yang sangat besar.
Kriteria pemimpin dalam sistem demokrasi hanya bertumpu pada popularitas dan kekayaan. Karakter amanah dan berkepribadian Islam tidak menjadi perhatian. Alhasil orang baik tanpa dukungan modal tidak mungkin dapat mencalonkan diri. Inilah realitas sistem politik demokrasi yang diterapkan di negeri ini. Namun kondisi ini sesuatu yang wajar terjadi dalam negara yang menerapkan sistem sekuler demokrasi. Pasalnya penerapan sistem sekuler yang memisahkan antara agama dan kehidupan telah menjadikan politik kering dari nilai-nilai agama. Orientasi pejabat bukan lagi amanah Allah dan ibadah, melainkan untuk meraih keuntungan materi sebanyak-banyaknya melalui kedudukan dan kekuasaannya.
Selain itu, kebolehan ini juga memunculkan kekhawatiran akan resiko terjadinya korupsi secara berulang. Mengingat sistem hukum yang diberlakukan di Indonesia tidak memberikan efek jera pada pelaku korupsi. Hukuman yang didapatkan hanya berupa penjara dan masih sangat memungkinkan mendapat remisi hari raya Tahun Baru atau hari kemerdekaan. Tak heran muncul istilah hukum bisa dibeli. Inilah gambaran sistem sanksi dalam sistem kapitalisme demokrasi. Hal ini juga semakin menegaskan bahwa sistem demokrasi kapitalis sangat ramah terhadap koruptor.
Pandangan Islam tentang Jabatan
 Berbeda dengan sistem islam yang menjadikan aturan-aturan Allah sebagai satu-satunya sumber hukum dan kebijakan negara. Syariat Islam Kaffah akan mencegah munculnya individu-individu di tengah masyarakat yang gemar melakukan kemaksiatan. Islam akan banyak mencetak sumber daya manusia yang berkualitas melalui penerapan sistem pendidikan yang bertujuan membentuk generasi berkepribadian Islam. Sebab merekalah yang akan melanjutkan kepemimpinan islam dan membangun peradaban unggul dan gemilang.
Islam telah menunjukkan sejumlah cara/ mekanisme untuk mencegah hingga mengatasi munculnya kasus korupsi. Mulai dari sistem penggajian yang layak, larangan menerima suap dan hadiah, perhitungan kekayaan, pengawasan masyarakat hingga sanksi yang tegas.
Sebagaimana diketahui bahwa sistem hukum dalam Islam sangat tegas dan mencerahkan sehingga membuat pelaku kejahatan dapat benar-benar bertobat. Apalagi dalam Islam sanksi berfungsi sebagai zawajir atau pencegah dan jawabir atau penebus dosa.
Terkait kriteria pemimpin, dalam banyak kitab fiqih siyasah atau politik termasuk kitab Al ahkamus sulthoniyah karya Imam Al Mawardi yang amat terkenal, telah banyak dibahas sejumlah kriteria yang wajib ada pada diri calon pemimpin. Kriteria umum pemimpin atau kepala negara dalam Islam yang dimaksud adalah pertama muslim, kedua laki-laki, ketiga Baligh, keempat berakal, kelima merdeka bukan budak atau berada dalam kekuasaan pihak lain, keenam adil bukan orang fasik atau ahli maksiat, ketujuh mampu punya kapasitas untuk memimpin.
Salah satu syarat kepala negara yang ditetapkan Islam adalah muslim. Maknanya adalah mereka adalah orang yang beriman dan bertakwa sehingga mereka akan amanah menjalankan perannya sebagai penyambung lidah rakyat. Ketujuh kriteria tadi disebut dengan syarat-syarat iniqad (pengangkatan). Tujuh syarat ini tentu didasarkan pada dalil Alquran dan as-sunnah. Oleh karena itu, jelas diantara kriteria calon pemimpin atau kepala negara adalah harus orang yang adil. Sebagaimana dalam poin enam artinya ia bukan orang yang fasik atau ahli maksiat atau orang yang zalim. Kepala negara yang terpilih melalui mekanisme yang ditetapkan negara nantinya akan diberi wewenang menunjuk kepala daerah baik Wali maupun Amil. Khalifah yang terpilih dengan syarat ketat tadi tentu hanya akan memilih figur yang bertakwa, amanah, dan capable.
Adapun wakil rakyat dalam sistem islam direpresentasikan oleh majelis umat. Namun majelis umat bukanlah lembaga legislatif sebagaimana dalam sistem politik demokrasi. Maka mereka merupakan wakil rakyat dalam konteks syuro atau memberi masukan kepada pemerintahan, melakukan muhasabah atau complain. Karena itu anggota majelis umat ini terdiri dari pria, wanita, muslim dan non muslim. Artinya siapa saja yang mengemban kewarganegaraan dalam sistem islam berhak dipilih menjadi anggota majelis umat. Dasar pertama pemilihan anggota majelis umat adalah harus mewakili masyarakat secara representatif dan yang kedua adalah mewakili kelompok secara representatif.
Setidaknya ada empat kriteria sifat yang harus dimiliki wakil umat. Â Pertama; najdat atau memiliki cukup kekuatan dan berwibawa, kedua; kifayah atau mampu menyelesaikan segala persoalan, ketiga; wara' atau sikap hidupnya apik, keempat; berilmu yang bermakna memiliki ilmu pengetahuan. Hadist Rasulullah menjelaskan agar kita berhati-hati dalam perkara memilih pemimpin tidak boleh memilih orang-orang yang lemah, Rasulullah SAW bersabda;
Artinya: "Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah (untuk memegang jabatan) padahal jabatan merupakan amanah. Pada hari kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan benar dan melaksanakan tugas dengan baik." (HR Muslim).
Sekaliber Abu Dzar Al Ghifari saja yang terkenal sholeh masih Rasulullah cegah untuk jadi pemimpin karena  khawatir dengan sifatnya yang lemah, lalu bagaimana dengan eks napi koruptor yang sudah jelas track reccordnya lemah hingga pernah tidak amanah terhadap uang rakyat? Tidakkah takut terhadap nasibnya kelak di akhirat? Masalahnya sadar tidak sadar, sistem demokrasi lah yang justru memicu tumbuh suburnya para pelaku korupsi. Karena sejak awal, setiap calon yang berkompetisi harus ditopang modal kampanye yang besar. Maka wajar setelah menjabat cenderung berpikir bagaimana agar balik modal hingga terjebak korupsi. Maka sungguh pemimpin ideal dambaan umat hanya lahir dari sistem baik yang mampu melahirkan sosok tersebut yakni sistem islam. Wallahu a'lam bish showab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H