BMKG memprediksi Puncak musim kemarau yang dipicu oleh fenomena El Nino akan terjadi pada minggu terakhir Agustus 2023. BMKG menyatakan musim kemarau tahun 2023 menjadi lebih kering dan curah hujan sangat rendah dibanding 3 tahun sebelumnya. Hal ini terjadi karena adanya fenomena El Nino dan Indian ocean di pool yang terjadi di Samudra. Dalam kurun waktu bersamaan untuk menghadapi kondisi tersebut, masyarakat diminta hemat air dan tidak membakar sampah. Meski prediksi dari BMKG demikian nyatanya, di beberapa daerah sudah terjadi kekurangan air bersih, bahkan kekeringan air selama puluhan tahun.
 Warga Desa Binangun Kota Banjar, Jawa Barat kesulitan memperoleh air bersih selama 20 tahun. Air sumur milik warga tidak bisa digunakan untuk minum karena terasa asin. Sementara tidak ada pasokan air bersih dari Perusahaan Daerah Air Minum atau PDAM Tirta Anom. (https://www.tvonenews.com/daerah/jabar/7082023)
Kesulitan mendapat air bersih di tengah kemarau juga melanda warga Kabupaten Bogor. Akibatnya Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor mencatat trend penyakit diare mulai meningkat. Selain itu, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat juga mengalami kesulitan mendapatkan air bersih setelah mengalami penurunan curah hujan yang signifikan. (https://www.bbc.com/)
Kekeringan juga melanda wilayah Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah terus meluas. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Grobogan, mencatat hingga Rabu (16/8/2023), sebanyak 58 desa di 15 kecamatan mengalami krisis air bersih. Kepala Pelaksana BPBD Grobogan, Endang Sulistyoningsih mengatakan bantuan 924.000 liter air sudah disalurkan ke 48 desa. Dalam sehari, kata dia, rata-rata ada empat dusun yang menerima dropping air bersih. (https://regional.kompas.com/read/2023/08/16)
Kapitalisme Menyimpan Akar Masalah
Masalah kekeringan air bukanlah masalah baru. Juru bicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan pihaknya telah melakukan modifikasi cuaca sejak bulan Maret untuk memitigasi kekeringan. Mirisnya kepemimpinan saat ini hanya mampu memberikan solusi jangka pendek tanpa menyentuh akar masalah. Seperti yang dialami warga Kota Banjar Jawa Barat tersebut, memasuki musim kemarau warga semakin sulit memperoleh air bersih. Akhirnya selain mengandalkan air bersih bantuan dari BPBD atau Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Banjar, warga harus merogoh kantongnya lebih dalam untuk membeli air bersih.
Demikianlah pengurusan dalam sistem kapitalisme. Penguasa mengurus rakyat dengan setengah hati. Akan tetapi terhadap para pemilik modal mereka sangat sepenuh hati. Buktinya di tengah bencana kekeringan air, masih banyak air kemasan yang dijual di jalan-jalan. Tentu air kemasan ini merupakan produk dari kapitalisasi sumber-sumber air oleh industri air kemasan.
Perusahaan air minum kemasan mengeksploitasi air permukaan dan akuifer (lapisan kulit bumi berpori yang dapat menahan air) --- biasanya dengan biaya yang sangat rendah --- kemudian menjualnya dengan harga 150 hingga 1.000 kali lebih mahal daripada unit air keran di kota yang sama. Ekstraksi sumber daya untuk air minum kemasan dapat membuat wilayah yang kadar air tanahnya menurun semakin kekurangan air. Perkembangan bisnis air minum kemasan juga akan semakin berkontribusi terhadap polusi plastik di daratan dan lautan.
Dalam penelitian yang baru-baru ini terbit, kami mempelajari 109 negara dan menyimpulkan bahwa industri air minum kemasan yang sangat menguntungkan dan berkembang pesat justru berujung menutupi kegagalan sistem publik untuk memasok air minum yang aman bagi seluruh masyarakat.
Industri ini dapat menghalangi progres pembangunan proyek air bersih, terutama di negara berpenghasilan rendah dan menengah, dengan mengalihkan perhatian konsumen ke suatu pilihan yang kurang dapat diandalkan dan kurang terjangkau. (https://theconversation.com/bagaimana-industri-air-kemasan-menyembunyikan-krisis-air-global-203063)
Suparlan S.Sos.I selaku Executive Director Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Yogyakarta dalam Seminar Fikih Air (30/03/2013) bertajuk "Air dan Masa Depan Umat Manusia" mengungkapkan "Meningkatnya perusahaan air minum kemasan ini, lambat laut akan menjadi bumerang bagi ketersediaan air bersih di Indonesia. Masyarakat harus membeli air bersih untuk kehidupan sehari-harinya, dan hal ini akan merugikan masyarakat kelas menengah ke bawah," pungkasnya.
Senada dengan hal tersebut, Prof. Dr. Muhjidin Mawardi, M.Eng dari Majelis Lingkungan hidup PP Muhammadiyah menuturkan bahwa adanya pasal 40 ayat 4 yang menyebutkan bahwa Koperasi, badan usaha swasta dan masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan pengembangan sistem penyediaan air minum akan memberi peluang kepada swasta untuk menguasainya. "Hal ini akan menyebabkan swasta nasional dan asing memonopoli sumber-sumber air di Indonesia untuk keuntungan mereka. Kemudian hak masyarakat sekitar misalnya petani dan pengguna air lainnya akan terabaikan karena tidak mendapatkan akses untuk memanfaatkan air tersebut," tuturnya.( https://www.umy.ac.id/perusahaan-air-kemasan-penyebab-kelangkaan-air-bersih) Â Â Â Â Â
 Sesungguhnya banyak teknologi yang dapat mengolah air laut menjadi air bersih. Para  ilmuwan dan ahli di negeri ini pun sejatinya cukup banyak. Sayangnya alasan yang muncul biasanya terkendala dana besar yang tak mungkin dipenuhi karena kondisi keuangan negara yang terlilit hutang.  Ketersediaan air bersih pun masih menjadi masalah yang tak bisa dihindari. Sebab teknologi yang ada tidak dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat namun hanya untuk kepentingan industri. Alhasil bencana kekeringan air akan semakin membuat rakyat menderita.
Islam punya Solusi Cerdas
 Sangat berbeda dengan mekanisme pengelolaan air untuk warga dan pencegahan bencana kekeringan yang dilakukan oleh sistem islam. Rasulullah Saw bersabda: Imam atau khalifah itu laksana penggembala dan dia lah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits tersebut sangat jelas menunjukkan bahwa keberadaan negara adalah  pengurus kebutuhan rakyatnya. Negara dalam sistem islam harus benar-benar memastikan rakyatnya tercukupi semua kebutuhannya termasuk ketersediaan air bersih.  Islam tidak hanya mencukupkan memberi solusi jangka pendek. Seperti negara kapitalisme hari ini yang hanya sebatas dropping air bersih ke daerah yang kekeringan dan itu pun sering terkendala jarak. Ataupun bendungan yang juga tidak mampu mengatasi kesulitan air yang dirasakan masyarakat. Ada paradigma fundamental terkait pengelolaan air menurut sistem islam.
Syekh Taqiyuddin An Nabhani dan Syekh Abdul Qodim keduanya seorang mujtahid abad ini menjelaskan dalam kitabnya masing-masing yakni sistem ekonomi islam (nidzhomul iqtishodi) Â dan Al amwal menjelaskan bahwa sumber air yang jumlahnya melimpah ruah, seperti sumber-sumber mata air, sungai, laut, selat, teluk, danau merupakan milkiah Amah atau kepemilikan umum. Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Rasulullah saw : Muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu padang gembala, Air dan Api. (HR. Abu Daud)
 Ketersediaan air termasuk tipe yang secara alaminya mencegah individu untuk menguasainya. Ini berdasarkan hadis Rasulullah saw : Minah adalah tempat peristirahatan untuk siapa yang mencapainya terlebih dahulu (HR. Tirmidzi).
 Sehingga jelas sumber air menurut sistem islam tidak akan bisa dikomersialisasi oleh pihak swasta seperti di negara kapitalisme saat ini. Sumber air akan benar-benar bisa dimanfaatkan oleh rakyat secara langsung dengan pengawasan negara agar ketika dimanfaatkan tidak menimbulkan kemudaratan atau bahaya. Negara dalam sistem islam akan mempersilahkan rakyat untuk mengambil manfaat dari sumber-sumber air tersebut untuk minum, keperluan rumah tangga, pakan ternak, as-saffah hingga irigasi untuk pertanian dan untuk keperluan transportasi. Negara berkewajiban melakukan pemeliharaan terhadap sumber air agar tetap terjaga kelestariannya seperti merata tepian sungai dan membersihkan sungai atau bakteri.
 Alauddin Assamarqandi menuliskan dalam kitabnya yang berjudul tuhfatul fuqaha bahwa pemeliharaan sungai-sungai besar adalah kewajiban penguasa untuk melakukannya dengan dana dari Baitul Mal. Itu karena manfaatnya kembali kepada masyarakat luas maka pendanaannya diambil dari dana publik yakni Baitul Mal. Dari segi konsep pengelolaan jelas masyarakat akan terjamin kebutuhan air termasuk air bersih.
Namun islam juga tidak akan mengabaikan kekeringan akibat bencana hidrometerologi yang memang bagian dari fenomena alam. Untuk menghadapi kondisi ini, negara berkewajiban  mengerahkan semua ahli terhebat yang dimiliki oleh negara seperti ahli hidrologi, geologi, BMKG dan ahli terkait lainnya untuk menyusun strategi jangka pendek dan jangka panjang. Dari strategi merekalah, negara akan membuat kebijakan agar masyarakat terhindar dari bahaya kekurangan air sekalipun mereka tinggal di daerah yang kering.
 Salah satu contoh nyata adalah ketika masa Khilafah Abbasiyah, negara Khilafah memiliki teknologi bernama qonat atau sistem saluran air bawah tanah yang menyuplai persediaan air di daerah gurun. Di negeri yang gersang seperti Persia, air bukanlah hal yang mudah untuk didapatkan. Karenanya untuk memenuhi kebutuhan air, masyarakat Persia Kuno telah menemukan metode paling canggih pada zamannya. Mereka mengeksploitasi, melestarikan, dan menyimpan air dengan sistem yang disebut qanat. Istilah qanat berasal dari bahasa Arab yang berarti "saluran" dan sering kali dijadikan referensi umum yang mengacu pada sistem irigasi kuno. Dalam bahasa Persia, sistem ini dikenal dengan nama kariz, sementara di Aljazair disebut foggara, khettara di Maroko, aflaj di Oman, galeria di Spanyol, dan kanerjing di China. Secara fisik, qanat merupakan sistem pengairan untuk mengangkut air dari akuifer atau sumur air ke permukaan, melalui saluran air bawah tanah. Dengan memanfaatkan kemiringan medan bawah tanah, air dari sumur tertinggi mengalir secara gravitasi ke sumur terendah, sehingga dapat dengan mudah diambil.
(https://tirto.id/gK86)
Selain itu juga islam mewajibkan negara  bertindak tegas kepada pihak-pihak yang melakukan kerusakan lingkungan seperti deforestasi, kapitalisasi sumber air oleh perusahaan air minum kemasan dan sejenisnya. Dengan demikian, sejatinya potensi air bersih di Indonesia yang mencapai 2,83 triliun m3/ tahun sangat mampu memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat asalkan dikelola sesuai syariat. Walhasil, Sistem islam  merupakan satu-satunya solusi cerdas yang menyentuh akar masalah, termasuk masalah krisis air bersih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H