Dalam sistem kapitalisme, tidak ada perlindungan dan jaminan nafkah bagi perempuan . Mereka yang seharusnya dilindungi dan dicukupi kebutuhan hidupnya, justru malah menjadi objek eksploitasi dan terjerembab dalam lembah prostitusi
 Padahal jaminan lapangan pekerjaan adalah tanggung jawab negara. Faktanya, negara justru abai dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya. Akibatnya rakyat yang didera kemiskinan mudah tergiur  iming-iming mendapatkan harta dengan cara yang  mudah dan tidak  menyadari bahayanya, sebagaimana tidak menyadari terjadinya pelanggaran hukum syara.
Akar masalah Human Traficking adalah Kapitalisme Sekuler
Jika himpitan ekonomi menjadi penyebab dominan pemicu terjadinya human trafficking, pertanyaannya kemudian mengapa negeri Indonesia khususnya yang kaya SDA tidak mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya? Jawabannya karena begitu kuatnya tatanan kapitalisme dalam mengatur kehidupan. Sebuah paham yang menyebabkan kekayaan hanya menumpuk di segelintir orang saja. SDA yang melimpah di negeri ini justru diserahkan pengelolaannya kepada asing dan swasta sebagai konsekuensi pinjaman hutang ke IMF dan pihak asing lainnya. Alih-alih untung, yang ada buntung. Akibatnya, Indonesia hanya mengandalkan utang dan pajak untuk bertahan hidup. Miris! .
Sistem saat ini, yakni kapitalisme memandang segala sesuatu selalu diukur dari materi. Trafficking dengan korban perempuan untuk eksploitasi seksual tidak bisa lepas dari persepsi bahwa perempuan adalah komoditas bernilai tinggi yang dapat dipertukarkan dan diperjualbelikan, dieksploitasi baik secara terpaksa maupun sukarela. Bukan saja dengan illegal human trafficking seperti kasus yang telah disebutkan sebelumnya, namun juga secara legal seperti pengiriman TKW ke luar negeri. TKW perempuan ternyata menyumbang devisa sangat besar bagi perekonomian bangsa ini. Demikianlah, di negeri ini perempuan ternyata justru dijadikan budak ekonomi. Alih-alih khawatir dengan nasib rakyatnya di warga orang, justru negara mendorong kaum wanita untuk ikut menjadi penghasil pundi-pundi uang, sekalipun mengorbankan keluarga dan melanggar hukum syara.
Termasuk jaminan nafkah untuk perempuan pun seolah menjadi hal yang sulit diraih. Bahkan dalam sistem ini, perempuan dituntut untuk berdikari, alias berdiri di kaki sendiri. Kalau ingin sejahtera, maka mereka wajib bekerja.
Sistem kapitalisme yang menjadi corak kepemimpinan saat ini, memposisiskan negara sebagai regulator. Lapangan pekerjaan memang tersedia, namun diberikan justru pada TKA terutama yang berasal dari China. Tak hanya itu, lapangan pekerjaan hanya terbuka bagi yang sesuai dengan pasar industri. Semua ini merupakan hasil kontrak penguasa dengan pengusaha yang memang legal dalam sistem kapitalisme. Alhasil, tidak ada jaminan sedikitpun bagi rakyat jelata.
Pun begitu ketika PMI menjadi korban. Negara kurang maksimal memberi perlindungan. Hasil studi SBMI atas dukungan Kurawal Foundation yang dilakukan selama Februari-Juni 2021, menunjukkan fakta bahwa respon pemerintah dalam melindungi PMI yang terdampak pandemic covid 19 belum maksimal. Bahkan kasus tindak pidana perdagangan orang (Human Trafficking) seringnya hanya diselesaikan dengan usaha pembebasan penyelamatan. Tentu saja ini bukan solusi yang solutif.
Kasus traficking terus berulang terjadi dan bertambah banyak korban karena sanksi hukum bagi pelaku yang tidak menimbulkan efek jera. Sistem sanksi yang diberikan pada pelaku kejahatan terdapat dalam pasal 2 UU 21/2007. Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang ("TPPO") dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 120 juta dan paling banyak Rp 600 ratus juta. Terlalu ringan untuk kejahatan yang keji.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi kejagatan TPPO ini. Misalnya saja, Indonesia telah meratifikasi Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Against Women, CEDAW (Konvensi P enghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan) tahun 1979 dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan CEDAW.
Di Jawa Barat sendiri, Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat berkomitmen memberikan pelindungan kepada Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Jabar. Komitmen itu terwujud dalam Peraturan Daerah (Perda) Jabar Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pelindungan PMI Asal Daerah Jabar.