Sudah jatuh tertimpa tangga. Itulah ungkapan yang pas untuk korban perkosaan yang terancam penjara akibat aborsi yang terpaksa dilakukannya.
Sekitar 2 bulan lalu, tepatnya kamis 19 Juli 2018, publik dikejutkan dengan putusan Hakim Pengadilan Negeri Muara Bulian yang menjatuhkan hukuman enam bulan penjara kepada WA, seorang gadis usia 15 tahun asal Jambi lantaran menggugurkan kandungan hasil korban inses oleh kakak kandungnya sendiri.
Meski pada tanggal 31 Juli lalu, pada akhirnya korban AW mendapat penangguhan penahanan untuk sementara waktu. Tak terbayangkan goncangan jiwa yang dialami korban.
Mengerikan! Ternyata catatan yang diperoleh komnas perempuan, sebanyak 9.409 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang dilaporkan sepanjang 2017, di mana 1210 di antaranya merupakan kasus inses.
Dalam kasus-kasus inses, pelaku berdasarkan urutan terbanyak dilakukan ayah kandung (425 kasus), paman (322 kasus), ayah tiri (205 kasus), kakak kandung (89 kasus), dan kakek kandung (58 kasus).
Sementara jumlah terbanyak pelaku kekerasan seksual di ranah privat, paling banyak dilakukan oleh pacar (1.528 orang) dan suami (192).(www.bbc.com).
Bagai fenomena gunung es, sesungguhnya angka yang tertera hanya menunjukkan kenaikan data terlapor saja, sedangkan yang tidak melapor sangat banyak.
Mirisnya, keluarga sebagai benteng terakhir pelindung perempuan, justru tak lagi memberi keamanan. Bahkan dalam 15 tahun terakhir di Indonesia, menurut catatan komnas perempuan, setiap 2 jam terjadi kasus perkosaan.
 Akhirnya, sekitar 4 tahun yang lalu, pemerintah memberi ruang legalisasi aborsi yang tertuang pada Peraturan Pemerintah (PP) No 61 tahun 2014 yang ditandatangani Pak SBY tahun 21 Juli 2014.
Acuannya adalah UU No 36/2009 Pasal 75 ayat 1yang menyebutkan setiap orang dilarang melakukan aborsi terkecuali berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan yang dapat menimbulkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. (Republika.co.id, 09/08/2018).
Hingga hari ini, perdebatan tentang bagaimana mengatasi kasus aborsi akibat kehamilan tak diinginkan (AKTD) masih saja alot.