Mohon tunggu...
Herini Ridianah
Herini Ridianah Mohon Tunggu... Guru - write with flavour

pemerhati sosial dan pendidikan, guru les MIPA

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Waspada, Miras Makin Mengganas

22 Februari 2018   20:50 Diperbarui: 22 Februari 2018   21:11 1086
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Tribunnews.com

Ketua MPR, Zulkifli Hasan kembali membuat geger publik dengan pernyataannya. Setelah sebelumnya beliau pernah menyebutkan ada 5 fraksi di DPR yang menyetujui LGBT, kali ini, beliau menyatakan ada 8 fraksi  yang menyetujui peredaran miras di warung-warung (Republika.co.id). Astagh firullah! Alih-alih diberantas total, sesuatu yang jelas membahayakan kualitas generasi justru dipelihara dan berpotensi makin tersebar luas lewat pintu UU.

Seharusnya RUU Minol ini selesai tahun lalu. Namun, hingga kini pembahasannya semakin alot, karena tarik menarik kepentingan. Ini menunjukkan bahwa memang tidak ada komitmen dari pemerintah maupun DPR untuk melarang  total minuman beralkohol atau miras. Ketua Pansus RUU Minol, Arwani Thomafi mengatakan RUU Minol tidak akan menutup pabrik-pabrik yang memproduksi minuman keras. 

RUU ini hanya mengatur distribusi dan konsumsi minol agar tidak dijual di sembarang tempat, yang bisa membahayakan anak-anak. Pak Arwani mengungkapkan bahwa dalam RUU ini, ada pengecualian untuk industri, farmasi, dan pariwisata, atau mungkin di hotel tertentu.

Dalam Perpres No 74/2013 pasal 3 ayat 1, disebutkan bahwa miras/minuman beralkohol (minol), dikategorikan menjadi 3: minol golongan A (kadar etanol 1-5%), B (5-20 %), dan C (20-55%). Pemerintah memberikan izin penjualan miras di tempat-tempat tertentu, sesuai golongan minolnya. Teruntuk golongan A, misalnya, pemerintah mengizinkan penjualan miras di minimarket, supermarket, dan hypermarket sesuai ketentuan yang berlaku. 

Tahun 2015 lalu, Kementerian Perdagangan  di bawah Menteri Rachmat Globel telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang perubahan kedua atas Permendag No. 20/M-DAG/4/2014 tentang pengendalian dan pengawasan terhadap pengadaan, peredaran dan penjualan minuman beralkohol. Akibat aturan itu, miras hilang dari minimarket. 

Tapi saat itu, pengusaha besar berteriak keberatan. Konsekuensinya saat itu, Pak Rachmat Globel justru menjadi salahsatu menteri yang direshufle.

Maka, jika saat ini apa yang dikatakan Pak Zulkifli Hasan benar adanya, itu berarti sebuah kemunduran. Soal nama UU saja, kabarnya masih menjadi perdebatan. Ketika awal bernama 'RUU Larangan Minuman Beralkohol', namun pemerintah mengubah judulnya menjadi 'RUU Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol'. Jalan tengahnya, sementara menjadi RUU Minuman Beralkohol, tanpa ada kata 'larangan'. 

Akibatnya, hampir seluruh pasal-pasal dalam draft awal RUU yang melarang setiap orang untuk mengedarkan, menjual, dan mengkonsumsi minol menjadi diperbolehkandengan syarat tertentu.

Bahkan, dalam Daftar Isian Masalah (DIM) tersebut, pemerintah juga memperbolehkan penjualan minuman beralkohol golongan A, dapat diperdagangkan di toko grosir dan pengecer lainnya dalam bentuk kemasan. Rencana melarang minol malah bergeser menjadi upaya memperluas peredarannya, (www.mediaumat.com). 

Belum lagi ditambah maraknya miras tradisional dan miras racikan/campuran yang peredarannya tak terkendalikan hingga makan korban. Bagaimana masyarakat tidak khawatir jika ini benar terjadi?. Harus sehancur apakah negeri ini, agar para pemegang kebijakan terbuka mata dan hatinya untuk berpihak pada keselamatan negeri?

Miras; Biang Kejahatan dan Biang Penyakit

Menurut WHO, setiap tahunnya di dunia lebih banyak orang yang tewas akibat miras dibandingkan AIDS, TBC, dan kejahatan dengan kekerasan. Sekitar 3,3 juta jiwa tewas di tahun 2012 sehubungan dengan konsumsi alkohol yang berlebihan. Ini berarti setiap 10 menit, satu orang  tewas karena mengkonsumsi alkohol alias miras. Konsumsi miras juga meningkatkan risiko timbulnya lebih dari 200 penyakit, termasuk siroris hati, tuberkolosis, dan beberapa jenis kanker.(www.dw.com)

Dampak merusak luar biasa miras, karena miras menjadi biang dari berbagai kejahatan dan tindakan kriminal mulai dari pembunuhan, perkosaan, hingga pencurian. Belum lagi kecelakaan di jalan raya, akibat pengendara yang mabuk. Masih ingat 14 remaja ingusan di Bengkulu, 2 tahun lalu yang melampiaskan nafsu bejatnya kepada seorang siswi SMP dan kemudian membunuhnya? Dan banyak lagi kasus-kasus kejahatan berseliweran di media setiap hari akibat miras yang makin bebas.

Benarlah sabda Nabi SAW yang diriwayatkan Ibnu Abbas: "Khamr adalah induk dari kekejian dan dosa yang paling besar, barangsiapa yang meminumnya, ia bisa berzina dengan ibunya, saudari ibunya, dan saudari ayahnya."(HR.ath Thabari)

Ironis

Meski dampak buruk miras begitu besar, ironinya pemerintah dan wakil rakyat justru masih berat melarangnya. Faktor keuangan dan investasi adalah alasannya. Tanpa takut dosa, pemerintah masih menjadikan miras sebagai bagian dari pendapatan nasional. 

Meskipun sumbangannya hanya 0,4 % pendapatan, yaitu sekitar Rp 6,4 triliun, tidak boleh dihilangkan dari pundi-pundi pemasukan negara. Terlebih, saat ini pemerintah mengalami kesulitan mencari sumber pendapatan. Inilah mengapa, pemerintah tidak setuju dengan kata 'larangan' dalam judul RUU yang sedang dibahas.

Selain itu, peredaran miras pun tidak dilarang karena demi kepentingan  wisatawan. Bahkan, banyak yang mengkhawatirkan jika RUU Miras disahkan, maka akan bentrok dengan target pemerintah mendatangkan 20 juta wisman di tahun 2020. Karena, bagaimanapun industri pariwisata tak dapat dipisahkan dengan industri miras (tirto.id) . Padahal, banyak negara justru kini menawarkan wisata halal dan berhasil menggaet wisatawan. Negara yang bukan mayoritas muslim saja berani mengambil kebijakan wisata tanpa miras. Kenapa justru Indonesia malah sebaliknya?

Dilihat dari sisi pekerja, data 2010, jumlah karyawan perusahaan minuman mengandung etil alcohol (MMEA) ada sekitar 5000 orang yang ada di 90 pabrik di Indonesia. Belum lagi, di pabrik miras illegal. Kekhawatiran akan terjadinya pengangguran yang besar jika ditutup pabrik miras, maka merelakan waganya bekerja di tempat haram menjadi bukan masalah bagi negeri yang mayoritas muslim ini. Ironis!

Dampak buruk secara sosial dari kecanduan miras telah sangat dirasakan oleh masyarakat Papua. Menurut Gubernur Papua, miras merupakan penyebab utama kematian orang asli Papua. Tak heran, jika tahun 2016 lalu, Gubernur Papua bersama seluruh unsur Forkompimda se-Provinsi Papua menandatangani Pakta Integritas Pelarangan Miras di Papua. 

Beliau menegaskan, sangat tidak tepat jika dalih menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari pajak miras, sebab nyawa manusia Papua akibat meneguk miras tidak bisa dibayar dengan PAD. Ironinya, mengapa pemerintah pusat tidak berpikir hal sama untuk menyelamatkan negeri?

Kacamata Islam

Indonesia dengan mayoritas penduduknya islam, jelas akan sangat kecewa, marah, sedih dengan banyaknya aturan islam yang dilanggar, terlebih dosa-dosa besar yang justru ditumbuhsuburkan, seperti adanya upaya legalisasi LGBT, legalisasi zina, legalisasi riba, serta legalisasi miras. Diakui atau tidak, saat ini, sulit bagi seorang muslim yang beriman untuk bisa menjalankan ajaran islam secara total. 

Alih-alih menjadi masyarakat islam yang taqwa, justru negara menjadi pembuka pintu gerbang berbagai kemaksiatan yang menggoda masyarakatnya untuk mencicipi sedikit demi sedikit dosa hingga umat islam merasa tidak bersalah lagi ketika melakukan dosa besar sekalipun. Mengerikan!

Hal itu wajar terjadi, mengingat meskipun Indonesia negeri mayoritas muslim, namun sistem yang diterapkannya adalah sistem yang tidak islami, yang bernama sistem kapitalisme sekuler. Sistem ini senantiasa menjadikan kebijakan berpihak pada para pemegang modal ( kapital) bukan pada rakyat. Seraya memisahkan agama dari pengaturan urusan kehidupan (aqidah sekuler). 

Maka, sampai kapanpun, negara tidak akan menjadikan halal-haram sebagai acuan menetapkan kebijakan. Asas Kepentingan dan uang akan selalu mengalahkan nalar sehat menyelamatkan negeri. Jika demikian, layakkah umat islam berharap pada sistem seperti ini?

Islam sesungguhnya memiliki aturan yang lengkap tentang seluruh aspek kehidupan, mulai dari urusan minuman hingga pemerintahan. Minuman keras, jelas haram dalam pandangan islam. 

Semua yang terlibat (memproduksi, mengedarkan, menyajikan, mengkonsumsi) akan terkena dosa yang akan mengundang adzabNya. Para pelakunya layak mendapat sanksi berat dari negara yang membuat jera. 

Negara pun haram hukumnya memperoleh pendapatan dari berbagai hal haram, seperti pajak miras, pajak prostitusi dan riba. Melakukannya akan mengundang murka Allah SWT di dunia dan akhirat.

Dalam pandangan islam, negara adalah penjaga rakyat dari segala macam tindakan maksiat. Negara tidak boleh membiarkan ruang sedikit pun kepada rakyat untuk melakukan perbuatan dosa. Karenanya negara menutup semua pintu kemaksiatan dengan jalan menerapkan islam secara menyeluruh di semua aspek kehidupan. Semua aturan islam tersebut memang hanya bisa diterapkan  dalam sistem pemerintahan yang berlandaskan aqidah islam, yaitu Khilafah. 

Ironinya, Khilafah saat ini justru dikriminalisasikan, bahkan untuk menyebut namanya saja, umat islam dibuat tabu dan takut. Padahal, khilafah adalah ajaran islam yang tak bisa dipisahkan dari penjagaan ajaran islam lainnya, seperti shalat, puasa, zakat, termasuk juga mencegah dan mengatasi miras.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun