Segala sesuatu acara di Tana Toraja pada intinya harus memicu pada adat - istiadat setempat dengan maksud untuk menghormati dan meneruskan apa yang dilakukan oleh nenek moyang dari orang Toraja sebelumnya.
Dalam kehidupan di zaman technology yang serba modern saat ini, kehidupan orang Toraja yang sudah merantau di berbagai daerah dan luar negeri boleh dikatakan sudah mempunyai tingkat kemakmuran yang merata. Hampir seluruh orang Toraja yang merantau di luar Toraja, seperti di Papua, Kalimantan dan Jawa dapat dikategorikan sudah memiliki penghasilan yang baik dan layak, serta anak - anaknya sudah memperoleh pendidikan yang bagus.Â
Selain itu beberapa dari mereka juga sudah mempunyai kedudukan yang baik dalam pemerintahan, serta berhasil dalam menjalankan business. Para perantau inilah yang menjadi sumber dana yang besar untuk melaksakan suatu acara adat di kampung mereka sendiri, dan mereka rela mengeluarkan sejumlah uang yang cukup banyak untuk mendanai segala persiapan yang ada, termasuk dalam membeli beberapa kerbau dan babi.
Seluruh masyarakat berlomba untuk memperbaiki & meningkatkan social status, dan mempertahankan kedudukan & pangkat / gelar kebangsawaan dalam suatu komunitas keluarga dengan melaksanakan upacara kematian yang sangat ramai dan spectacular.
 Pada dasarnya, upacara pesta kematian dimaknai sebagai proses akhir dari pertemuan untuk anggota keluarga yang meninggal. Dengan melaksanakan rambu solo’ berarti kami orang Toraja sudah siap sepenuhnya berpisah dan mengantarkan mereka ke tempat peristirahan yang terakhir. Hewan yang sudah dikurbankan, dagingnya akan dikomsumsi secara bersama, serta dibagi - bagikan kepada seluruh keluarga dan para tamu undangan yang datang melayat.
Akan tetapi, seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman sekarang ini, pelaksanaan upacara adat dalam pesta kematian tidak lagi melihat dan berkaca kepada tingkatan status social dalam masyarakat.Â
Menurut saya pribadi, ini adalah adil dan beradab bagi seluruh masyarakat, apalagi kita semuanya sudah hidup dalam beragama yang semestinya membimbing kita untuk saling menghormati tanpa melihat social status. Ini disebabkan karena tingkat kesejahteraan yang sudah merata & anak cucu sudah mempunyai pendidikan dan pekerjaan yang mapan di luar Toraja, sehingga ada sebuah motivasi dari orangtua dan sanak family untuk melakukan suatu acara adat tanpa ada rasa segan dan malu lagi.Â
Dari segi social dan culture, saya melihat bahwa ada suatu perubahan terhadap sistem tatanan hidup dan adat - istiadat, dimana masyarakat ingin merasakan suatu hak dan derajat yang sama. Oleh karena itu, orang - orang merasa tertindas dan tersisih pada zaman dahulu ingin membalikkan keadaan dan memperlihatkan kemampuan mereka dalam melaksanakan suatu acara adat, sehingga ada suatu jalan atau cara untuk menunjukkan identitas dan kebanggaan mereka tersendiri.
Ada sebuah harga diri dan gengsi yang menjadikan patokan sekarang dalam menyelenggarakan suatu acara pesta kematian. Suatu pesta dikatakan hebat dan mendapat pujian dari masyarakat sekitar atau keluarga sendiri, apabila berhasil dalam mengurbankan puluhan kerbau dan ratusan babi.Â
Dahulunya, 24 - 25 ekor kerbau itu sudah dikategorikan sebagai jumlah kerbau yang cukup dalam melaksakan acara rambu solo’, dan jumlah ini sudah menjadi patokan standar untuk sebuah ritual adat dalam rambu solo’ sebagai yang tertinggi dan bergengsi. Akan tetapi, jumlahnya sudah dapat mencapai 100 ekor kerbau sekarang ini dalam proses tersebut, dan berbagai kerbau yang mahal akan dihadirkan pula.
Bagi yang ingin menaikkan dan mempertahankan harga dirinya, tentunya mereka berlomba untuk menghadirkan sejumlah kerbau yang mahal dalam acara rambu solo’ untuk memperoleh pengakuan dari masyarakat. Dan bagi yang merasa gengsi walaupun kekuatan finansial tidak mendukung akan memutar otak juga dalam memperoleh dana agar mampu membeli sebuah kerbau.Â