"Mengurai Semiotik Anies dan Paloh"
Banyak yang berspekulasi bahwa pertemuan Anies Baswedan dan Surya Paloh beberapa pekan yang lalu tengah membicarakan kemungkinan tentang bargaining politik untuk periode mendatang. Pertemuan tersebut banyak mendapat tanggapan sumbang dari beberapa kelompok partai, termasuk civil society.Â
Mungkin bagi para simpatisan atau kelompok masyarakat yang terlalu loyal terhadap kubu Megawati CS ataupun Prabawo CS ini adalah suatu hal yang terbilang aneh, utamanya oleh mereka yang suka nyinyir dan ribut di media sosial. Namun bagi para analis politik, ini adalah perihal yang biasa saja. Entah anehnya di mana jika tokoh politik bertemu dengan kepala daerah yang juga diusung oleh partai politik. Yang aneh itu adalah jika Luna Maya mengajak saya ketemuan di Saliper, lalu dia mengajak untuk menikah dengan mahar satu karung gabah.
Tidak ada satuan baku, khususnya di Indonesia bahwa jika hari ini seorang ketua partai mendukung si A, lantas seumur hidup dia akan selalu mendukung siapapun yang ada di kubu si A tersebut. Jika besok lusa orang-orang yang ada di kubu si A sudah tidak punya harga tawar, lantas masa iya dia mau bertahan untuk mendukung sesuatu yang akan merugikan eksistensi partainya.Â
Sebagai tokoh yang sangat memahami konten politik, tentu dia akan mencari potensi lain yang dia anggap memiliki peluang besar untuk menang, maka dia harus hadir disitu, sebab ada kekuasaan yang akan lahir di jalan ini, begitulah alur pikir politik praktis bekerja.
Menurut penulis, Paloh itu adalah tokoh politik yang paling cerdas dalam 5 tahun sebelumnya dan 5 tahun akan datang. Jika hari ini para tokoh politik lain masih begitu sibuk dan ribut membicarakan jatah kursi dan jabatan strategis lainnya, Paloh justru sudah jauh berpikir kedepan untuk peluang dan kebaikan partainya, sebab saat ini dia tahu diri bahwa Nasdem pasti memiliki jatah kursi sesuai dengan porsinya, lalu buat apa hari ini dia ribut dengan jatah yang sudah pasti, maka berpikir lah dia kedepan sebelum pihak lain mendahului partainya di kemudian hari.
Penulis bisa mendeskripsikan dengan narasi lain bahwa Nasdem adalah partai tercerdas di tahun 2019. Dia adalah pemenang dari setiap tokoh yang diusungnya pada level nasional. Dia sangat mengetahui momen, dan dia tidak mau kehilangan momen terbaiknya. Politik itu sudah tidak lagi berbicara dalam domain "gengsi", tapi politik pasti akan berbicara dalam domain "oportunistik".Â
Dengan kemenangan Jokowi di periode keduanya ini, maka tamatlah pertarungan politik secara prinsip antara cebong dan kampret dalam ranah terminologi. Dengan demikian, berarti partai-partai kelas menengah sudah mulai memikirkan bargaining politik untuk proses selanjutnya.Â
Mungkin saja PDIP dan kolega mulai memikirkan pengganti Jokowi di masa mendatang, artinya tren positif memenangkan presiden itu harus terus dipertahankan. Namun disisi lain harus diakui bahwa trend positif itu tidak mudah untuk dipertahankan, mengingat berbagai tokoh progresif sudah mulai banyak bermunculan. Pada posisi ini, Anies yang merupakan tokoh oposisi memiliki peluang paling besar untuk menghentikan trend positif dari PDIP tersebut.
Menyadari fenomena tersebut, Nasdem secara cerdik mengambil peluang tersebut karena "trust publik" memberikan public discourse pada eksistensi Anies Baswedan sebagai tokoh paling berpeluang untuk 2024 mendatang. Cerdas bukan? Seraya Paloh mengatakan "hari ini saya boleh mendukung Jokowi, karena potensi Jokowi untuk menang itu besar, tahun 2024 mendatang, sekiranya Anies adalah tokoh yang paling berpotensi untuk menang, maka saya harus mengambil bagian yang pertama untuk itu, meskipun cacian itu datang dari teman sejawat, yakinlah dalam politik itu akan redah dengan sendirinya, yang terpenting oportuniti untuk berkuasa ada pada keputusan yang saya ambil".
Fenomena ini memberikan deskripsi singkat bahwa Paloh tak mau partainya kehilangan bagian dari setiap kekuasaan yang ada, Â karena dia menyadari betul bahwa politik itu hanya tentang kekuasaan semata. Cacian dan bulian itu hanya tentang remeh temeh, apalagi cacian itu datang dari orang atau partai yang tidak terlalu penting dianggapnya.Â