Dalam banyak tradisi filsafat dan spiritualitas, kemelekatan sering kali diidentifikasi sebagai akar dari penderitaan manusia. Kemelekatan, atau keterikatan yang berlebihan pada hal-hal duniawi, dapat menyebabkan ketidakpuasan, kecemasan, dan penderitaan yang mendalam. Pemahaman ini dapat ditelusuri dalam berbagai ajaran, mulai dari filsafat Timur hingga Barat.
Perspektif Buddhisme
Salah satu ajaran yang paling terkenal tentang kemelekatan berasal dari Buddhisme. Buddha mengajarkan bahwa keinginan (tanha) dan kemelekatan (upadana) adalah penyebab utama dari penderitaan (dukkha). Menurut Empat Kebenaran Mulia, penderitaan adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia, dan penyebab utamanya adalah keinginan yang tidak terpenuhi. Dengan melekat pada keinginan-keinginan ini, manusia terus-menerus berada dalam siklus ketidakpuasan dan penderitaan.
Buddha juga mengajarkan tentang Jalan Mulia Berunsur Delapan sebagai cara untuk mengatasi penderitaan ini. Dengan mengembangkan kebijaksanaan (panna), etika (sila), dan meditasi (samadhi), individu dapat belajar untuk melepaskan kemelekatan dan mencapai kedamaian batin.
Perspektif Stoikisme
Filsafat Stoikisme, yang berkembang di Yunani dan Roma Kuno, juga menawarkan pandangan yang serupa tentang kemelekatan. Stoik percaya bahwa penderitaan timbul ketika seseorang terlalu melekat pada hal-hal yang berada di luar kendalinya, seperti kekayaan, kekuasaan, atau bahkan hubungan personal. Sebagai gantinya, Stoik menekankan pentingnya mengembangkan kebajikan (virtue) dan hidup sesuai dengan alam (nature).
Salah satu filsuf Stoik terkenal, Epictetus, mengatakan bahwa manusia seharusnya hanya mengkhawatirkan hal-hal yang dapat mereka kendalikan dan menerima dengan tenang hal-hal yang tidak dapat mereka kendalikan. Dengan demikian, mereka dapat mencapai ketenangan pikiran dan kebebasan dari penderitaan yang disebabkan oleh kemelekatan.
Perspektif Eksistensialisme
Eksistensialisme, sebuah aliran filsafat yang menekankan kebebasan individu dan makna subjektif, juga menyoroti bahaya kemelekatan. Jean-Paul Sartre, salah satu tokoh utama eksistensialisme, berargumen bahwa manusia sering kali menciptakan penderitaan mereka sendiri dengan melekat pada identitas, status, atau pandangan hidup yang kaku. Kebebasan eksistensial menuntut individu untuk melepaskan kemelekatan ini dan menerima kenyataan bahwa makna hidup adalah sesuatu yang harus diciptakan sendiri.
Kemelekatan, dalam berbagai perspektif filsafat, dianggap sebagai sumber penderitaan yang signifikan. Dengan melepaskan kemelekatan ini, baik melalui praktik spiritual, pengembangan kebajikan, atau penerimaan kebebasan eksistensial, individu dapat mencapai kedamaian batin dan kebebasan dari penderitaan. Ini adalah perjalanan yang menuntut refleksi diri yang mendalam dan keberanian untuk menghadapi ketidakpastian hidup tanpa tergantung pada hal-hal duniawi yang sifatnya sementara.
" Kemelekatan sebagai Sumber Penderitaan: Perspektif Islam "
Dalam Islam, konsep kemelekatan pada hal-hal duniawi sebagai sumber penderitaan diakui dan diingatkan berulang kali dalam Al-Qur'an dan hadits. Islam mengajarkan bahwa kehidupan dunia ini hanya sementara dan manusia seharusnya tidak terlalu melekat pada hal-hal yang bersifat fana.
Al-Qur'an secara tegas mengingatkan umat manusia tentang bahaya kemelekatan pada dunia. Salah satu ayat yang relevan adalah:
Surah Al-Hadid (57:20):
"Ketahuilah bahwa kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu."
Ayat ini menekankan bahwa kesenangan duniawi hanya sementara dan bisa menipu. Kemelekatan pada hal-hal tersebut dapat menyebabkan seseorang melupakan tujuan akhirat dan menghadapi penderitaan yang lebih besar di masa depan.
Hadits juga memberikan panduan tentang kemelekatan dan bagaimana hal itu bisa menjadi sumber penderitaan. Salah satu hadits yang relevan adalah:
Hadits riwayat Bukhari dan Muslim:
"Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda: 'Hati-hatilah kalian terhadap dunia dan berhati-hatilah kalian terhadap wanita. Sesungguhnya fitnah yang pertama kali menimpa Bani Israil adalah pada masalah wanita.'"
Dalam hadits ini, Rasulullah SAW memperingatkan umatnya untuk tidak terlalu melekat pada kenikmatan duniawi, termasuk wanita, yang bisa menjadi ujian terbesar. Kemelekatan pada hal-hal duniawi ini dapat menjerumuskan seseorang ke dalam fitnah dan penderitaan.
Prinsip Zuhud dalam Islam
Konsep zuhud dalam Islam juga relevan dalam konteks ini. Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia sepenuhnya, tetapi mengendalikan diri dari kecintaan yang berlebihan terhadap dunia. Imam Al-Ghazali, seorang ulama dan filsuf terkenal, menjelaskan bahwa zuhud adalah sikap hati yang tidak bergantung pada dunia, meskipun seseorang masih beraktivitas dan bekerja di dalamnya.
Dalam Islam, kemelekatan pada dunia dianggap sebagai sumber utama penderitaan. Al-Qur'an dan hadits secara jelas mengingatkan umat Muslim untuk menjaga hati mereka dari kecintaan yang berlebihan terhadap dunia dan lebih fokus pada kehidupan akhirat. Dengan mempraktikkan zuhud dan mengikuti petunjuk-petunjuk ilahi, seorang Muslim dapat mencapai kedamaian batin dan terhindar dari penderitaan yang disebabkan oleh kemelekatan pada hal-hal duniawi yang bersifat sementara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H