Konsep pengembalian secara diam-diam, bagaimanapun juga tetap harus memperhatikan efek jera. Sehingga konsep lex semper dabit remedium-hukum bukanlah sebagai penghambat, tapi juga harus memberi solusi, menjadi sebuah prinsip yang tidak boleh dikesampingkan.
Ketiga, akan tercatat dalam sejarah negeri ini, bila pemikiran dan keinginan Presiden Prabowo ini bisa terlaksana dengan hasil besarnya nanti, pengembalian hasil korupsi bagi kesejehateraan rakyat. Titik kritis yang harus diantisipasi adalah penguatan karakter dan nilai-nilai anti korupsi bagi anak negeri sejak dini, sehingga yang terkonsep dalam pikiran mereka, korupsi tetap sebagai perilaku menyimpang yang akan ada sanksinya. Jangan sampai yang terjadi, generasi mendatang tahunya bahwa bila korupsi, dikembalikan, selesai urusannya. Ini yang tidak menyelesaikan masalah, justru menanam bom waktu korupsi di masa mendatang.
Menutup artikel ini, saya kutipkan penyataan Menteri  Yusril Ihza Mahendra menyampaikan, ide Presiden Prabowo tadi, diklaimnya sejalan dengan Konvensi Antikorupsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nation Convention Against Corruption/UNCAC) yang telah Indonesia ratifikasi dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2006. "Sebenarnya setahun sejak ratifikasi, kita berkewajiban menyesuaikan UU Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) kita dengan konvensi itu, tetapi kita terlambat melakukan kewajiban itu dan baru sekarang ingin melakukannya. Sesuai konvensi, ia melanjutkan, pemberantasan korupsi ditekankan pada pencegahan, pemberantasan korupsi secara efektif, dan pemulihan kerugian negara, Kompas.id.
(Salam Anti Korupsi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H