KPK) menyita uang sebesar Rp6,8 miliar dalam operasi tangkap tangan (OTT) Penjabat (Pj) Wali Kota Pekanbaru Risnandar Mahiwa. Seperti diketahui, OTT KPK di Pekanbaru, Riau tersebut digelar Senin (2/12/2024) lalu.
"Komisi Pemberantasan Korupsi (Dalam kasus tersebut KPK telah menetapkan tiga tersangka yaitu Risnandar Mahiwa (RM) selaku Pj Wali Kota Pekanbaru, Indra Pomi Nasution (IPN) selaku Sekretaris Daerah Kota. Terungkap korupsi terjadi di lingkungan Pemerintah Kota Pekanbaru itu telah terjadi sejak Juli 2024 lalu untuk kepentingan Risnandar dan Indra. Dalam kasus tersebut, lanjutnya, Novin dengan dibantu Plt Bagian Umum Mariya Ulfa (MU) dan Tengku Suhaila (TS) diduga mencatat uang keluar maupun uang masuk terkait pemotongan anggaran Ganti Uang. Dari pengelolaan anggaran tersebut, Ghufron membeberkan, Risnandar diduga menerima jatah uang Rp2,5 miliar dari penambahan anggaran Makan Minum pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah-Perubahan (APBD-P) 2024, dikutip dari kompas.com.
Kegiatan tangkap tangan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut, seolah mematahkan anggapan korupsi dilakukan sebagai dampak dari money politic. Risnandar Mahiwa yang dilantik sejak Mei 2024, karena sebagai Pj hanya diangkat, bukan melalui proses pemilihan yang membutuhkan biaya besar.
Dengan demikian, semakin menguatkan simpulan bahwa salah satu penyebab korupsi yang paling kuat adalah masalah keserakahan. Sikap serakah, meminggirkan logika dan akal sehat serta rasa malu. Coba apa yang menjadi alasan bagi seorang Pj yang hanya menjabat beberapa bulan, namun akhirnya terjerembab dalam kubangan korupsi?
Analisis yang bisa disampaikan disini adalah :
Pertama, sangat mungkin sudah terbiasa melakukan kecurangan-kecurangan pada level jabatannya selama ini. Dalam modusnya ini, ia merasa aman-aman dan akhirnya terakumulasi pada perbuatan nekad. Memanfaatkan jabatan yang ia emban. Dengan kalimat lain, menggunakan aji mumpung, atau menggunakan kesempatan. Bisa jadi ia berpikir, kapan lagi, kalau bukan sekarang?
Dari studi kepustakaan,  menurut Jack Bologne Gone Theory menyebutkan bahwa faktor penyebab korupsi adalah keserakahan, kesempatan, kebutuhan, dan pengungkapan. Keserakahan berpotensi dimiliki setiap orang dan berkaitan dengan individu pelaku korupsi.
Kedua, menduduki suatu jabatan tertentu, sangat memungkinkan berinteraksi dengan orang-orang lama dan orang-orang yang sudah sangat paham celah-celah korupsi, titik-titik rawan korupsi. Sehingga, dengan mentalitas yang rendah, integritas yang buruk, ia dengan mudah dipengaruhi oleh lingkungannya tersebut.
Dalam pandangan teori Sosiogenis, penyebab tingkah laku jahat murni sosiologis atau sosial psikologis adalah pengaruh struktur sosial yang deviatif, tekanan kelompok, peranan sosial, status sosial, atau internalisasi simbolis yang keliru, perilaku jahat dibentuk oleh lingkungan yang buruk dan jahat, sumber studocu.id.
Pejabat di Pusat/ Jakarta, kemudian ditugaskan sebagai Pj, sejatinya melaksanakan tugas-tugas untuk "menyambung estafet" hingga ditetapkan pejabat difinitif. Sehingga konsepnya, adalah melaksanakan tugas apa adanya, tanpa dicampuri oleh pikiran untuk memanfaatkan peluang atau celah, sehingga bisa melakukan korupsi.
Ironisnya, sebagaimana diberitakan media, salah satu alasan mengapa ia dipilih sebagai Pj adalah karena memiliki latar belakang yang baik dalam bekerja. Apakah latar belakang ini begitu saja terhapus ketika "hanya enam bulan" berkuasa? Bahkan dalam berita tadi, tiga bulan setelah menjadi Pj, aliran dana "yang tidak sah" sudah mulai diterimanya. Sebegitu singkat, sebegitu cepat orang baik-baik, terjerembab dalam circle korupsi.
Ketiga, pada kasus a quo, jelas melibatkan beberapa pejabat di sekeliling Pj Walikota. Konspirasi untuk menyiasai celah-celah regulasi atau system, sepertinya bukan sebagai hal yang baru. Sehingga perlu ditelisik lebih dalam terkait modus tersebut. Jangan sampai, apa yang terjadi sebagai bentuk "keberlanjutan" dari modus-modus sebelumnya.
Karena, untuk sebuah modus korupsi tertentu, dengan melibatkan level jabatan tertentu, membutuhkan proses dan sudah dikontruksikan titik-titik rawannya, sehingga ketika terbuka peluang atau kesempatan, tinggal dilakukan eksekusi. Sang eksekusinya tiada lain mereka yang berada pada level decision maker atau pengambil kebijakan.
Kembali kata-kata bijak menutup artikel ini, ut sementem faceris ita metes-siapa yang menanam sesuatu dia akan memetik hasilnya.
Salam Anti Korupsi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H