Besok dilakukan serentak pilkada di berbagai daerah di Indonesia. Di hari tenang, sejak kemarin, sudah banyak bertebaran beragam bentuk "money politic". Ada yang langsung berupa uang dalam amplop yang dibagikan oleh tim sukses door to door pemilih, ada yang dalam bentuk kaos, sembako dan bentuk lainnya. Ada saja sebutan terkait dengan bagi-bagi jelang pilkada.Â
Ada yang menyebut uang tali asih, uang ganti kerja, uang transport dan to the point intinya itu adalah bagian dari " serangan fajar ". Meski dibagi di tengah hari sekalipun, sudah lazim dikenal sebagai serangan fajar.Â
Di masyarakatpun ada yang mempersoalkan hal tersebut, di kaitkan sebagai bentuk suap, sehingga apapun bentuk dan alasanya tidak mau menerima. Yang lainnya, menganggap tetap diterima namun pilihan sesuai hati nurani. Atau yang ekstrim menerima dan memilih semua yang memberi. Bila calon ada empat dan empat calon memberi semua, di TPS keempatnya dicoblos semua. " Kan mintanya dicoblos, ya sudah dicoblos semua, biar adil. " Begitu kelakar yang muncul.
Hingar bingar dan ramainya serangan fajar, menjadi sebuah peneguhan bahwa memang pelaksanaan pilkda, entah itu level Kota atau Kabupaten, hingga Gubernur tetap saja berbiaya tinggi. Buktinyanya, OTT terhadap Pentahana Gubernur Bengkulu kemarin oleh KPK, asal-muasalnya ya ia butuh dukungan jajaran birokrat sekaligus dukungan finansial para Kepala Dinas atau OPD.Â
Memang, siapapun tahu, di negeri ini untuk menjadi Kepala Daerah, harus menyediakan uang yang tidak sedikit. Bagi mereka yang sudah kaya, uang berlimpah, bisa jadi tanpa harus melakukan korupsi. Namun yang sebaliknya? Untuk mempertahankan kekuasaan atau memeroleh kekuasaan tadi, ia menjadi gelap mata.
Sudah banyak beredar di tik tok atau media sosial lainnya, itung-itungan penghasilan atau take home pay seorang kepala daerah. Dalam hitungan tersebut memunculkan angka yang secara teori tidak "seimbang" antara biaya pengeluaran untuk menjadi kepala daerah, dengan penghasilan resmi yang bakal diterimanya selama menjabat lima tahun.
 Biaya yang harus dikeluarkan, dengan membagi-bagi uang saat pra pemilihan, hingga untuk menjaga konstituen, sangat tidak berimbang. Artinya, bila seseorang berambisi menjadi kepala daerah dan ingin  pengembalian secara finansial, tanpa ia melakukan korupsi dan kesewenang-wenangan dalam masa jabatannya, maka itu tidak akan ia peroleh.
Dengan deskripsi seperti ini, dan bukan menjadi rahasia lagi, mengapa masih banyak juga yang berambisi? Sekedar menuruti hawa nafsu, ambisi atau karena syahwat politik-nya yang memang tidak bisa dibendung lagi? Yang penting berkuasa. Yang penting dihormati. Yang penting bisa punya pengaruh dan yang penting lainnya?
Kekuasaan cenderung korup, memang menjadi sebuah fenomena.Â
Oleh Lord Acton, guru besar sejarah modern di  Universitas Cambride, saya kutip menyebutkan : Korupsi dan kekuasaan, ibarat dua sisi dari satu mata uang. Korupsi selalu mengiringi perjalanan kekuasaan dan sebaliknya kekuasaan menjadi pintu masuk untuk melakukan korupsi-power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely.
Ini adagium yang sangat populis, terlebih di kalangan politikus dan birokrat. Masih sangat relevan sepanjang jaman. Namun, meskipun sudah mengetahui fenomena ini, mengapa masih juga banyak yang terjebak di dalamnya?
Dalam beberapa artikel saya sudah saya tampilkan data sudah banyak (ratusan) Kepala Daerah yang masuk jeruji besi karena korupsi. Mereka, ini ironisnya seperti baru tersadar setelah kasus benar-benar menjeratnya sebagai koruptor.
Sepertinya sesal kemudian, tiada berguna. Demikian pepatah bijak selalu mengingatkan. Sepertinya sesal, air mata dan kesedihan berkepanjangan harus dijalani di belakang terali besi. Entah bagaimana anak, istri dan saudara-saudaranya di luar jeruji besi sana.Â
Namun yang jelas siatusi seperti ini bukan cerita atau pemandangan yang baru terjadi. Namun sudah beberapa dekade yang lalu, hal seperti ini sudah terjadi dan bukan sebagai sebuah rahasia lagi.
Pilkada dengan money politic-nya menjadi sebuah anomali yang entah siapa bisa meminimalisir atau menghentikannya. Ada pemberi, ada yang menerima. Tragisnya, malah dianggap sebagai simbiosis mutualisme, dianggap saling menguntungkan. Tragis bukan? Sangat menyedihkan dan bisanya saya hanya mengeluas dada. Entah sampai kapan.
Yang jelas, minimal dari diri sendiri dan keluarga untuk tidak menerima apapun saat pilkada. Tolak segala bentuk money politic, karena itu benih dari tindakan korup.
Salam Anti Korupsi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H