Ini adagium yang sangat populis, terlebih di kalangan politikus dan birokrat. Masih sangat relevan sepanjang jaman. Namun, meskipun sudah mengetahui fenomena ini, mengapa masih juga banyak yang terjebak di dalamnya?
Dalam beberapa artikel saya sudah saya tampilkan data sudah banyak (ratusan) Kepala Daerah yang masuk jeruji besi karena korupsi. Mereka, ini ironisnya seperti baru tersadar setelah kasus benar-benar menjeratnya sebagai koruptor.
Sepertinya sesal kemudian, tiada berguna. Demikian pepatah bijak selalu mengingatkan. Sepertinya sesal, air mata dan kesedihan berkepanjangan harus dijalani di belakang terali besi. Entah bagaimana anak, istri dan saudara-saudaranya di luar jeruji besi sana.Â
Namun yang jelas siatusi seperti ini bukan cerita atau pemandangan yang baru terjadi. Namun sudah beberapa dekade yang lalu, hal seperti ini sudah terjadi dan bukan sebagai sebuah rahasia lagi.
Pilkada dengan money politic-nya menjadi sebuah anomali yang entah siapa bisa meminimalisir atau menghentikannya. Ada pemberi, ada yang menerima. Tragisnya, malah dianggap sebagai simbiosis mutualisme, dianggap saling menguntungkan. Tragis bukan? Sangat menyedihkan dan bisanya saya hanya mengeluas dada. Entah sampai kapan.
Yang jelas, minimal dari diri sendiri dan keluarga untuk tidak menerima apapun saat pilkada. Tolak segala bentuk money politic, karena itu benih dari tindakan korup.
Salam Anti Korupsi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H