Masih Pentingkah OTT oleh KPK?
Prof Satjipto Rahadjo menyebutkan hukum sebagai social engineering atau social planning berarti bahwa hukum sebagai alat yang digunakan oleh agent of change atau pelopor perubahan yang diberi kepercayaan oleh masyarakat sebagai pemimpin untuk mengubah masyarakat seperti yang dikehendaki atau direncanakan. Hukum sebagai tatanan perilaku yang mengatur manusia dan merupakan tatanan pemaksa, maka agar hukum dapat berfungsi efektif mengubah perilaku dan memaksa manusia untuk melaksanakan nilai-nilai yang ada dalam kaedah hukum, maka hukum tersebut harus disebarluaskan sehingga dapat melembaga dalam masyarakat.
Saya memandang perlu mengemukan pendapat almarhum Prof Satjipto, Guru Besar Undip tersebut, dengan menghighlight " maka agar hukum dapat berfungsi efektif mengubah perilaku dan memaksa manusia untuk melaksanakan nilai-nilai yang ada dalam kaedah hukum, maka hukum tersebut harus disebarluaskan sehingga dapat melembaga dalam masyarakat."
Efek dari OTT yang dilakukan oleh KPK sangat besar, meski secara joke tadi disebutkan sebagai "hiburan", namun sejatinya memberikan dampak yang signifikan bagi pemberantasan korupsi, mengapa?Â
Pertama, bagi pihak yang tertangkap tangan, ia secara tidak langsung akan mendapat sanksi sosial, karena terpublikasikan dengan massif dan menjadi bahan pemberitaan baik media local maupun nasional. Pihak yang terkena OTT, tentunya sangat malu demikian juga keluarga bahkan lingkungan sosial maupun lingkungan kerjanya.
Kedua, OTT memberikan ruang bagi masyarakat untuk berperan serta dalam memberikan informasi yang akurat terkait adanya korupsi di lingkungannya. Banyak OTT dilakukan karena berawal dari informasi masyarakat (baik pegawai di lingkungan pejabat yang kena OTT), LSM maupun elemen bangsa yang lainnya, yang perduli pada pemberantasan korupsi). Secara khusus diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi : " (1) Setiap orang, Organisasi Masyarakat atau Lembaga Swadaya Masyarakat berhak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum dan atau Komisi mengenai perkara tindak pidana korupsi. "
Ketiga, berawal dari OTT yang awalnya "recehan" ternyata mengembang pada korupsi yang "kakap" baik dari modus, pejabat yang terlibat, sampai pada aset hasil korupsi yang bisa dilakukan penyitaan. Efek pengembangan ini, menjadi salah satu strategi dalam membongkar korupsi hingga akar-akarnya atau dalam konteks hukum sampai pada intellectual dader-nya.
Keempat, saya yakin dengan masifnya OTT, akan menjadi "warning" atau peringatan, siapapun orangnya baik yang di daerah, apalagi yang pejabat di pusat. Minimal dengan adanya OTT, akan mempersempit ruang gerak "kesempatan" melakukan korupsi. Setidaknya yang menjadi teori sebagai mana disampaikan Richard A Cloward dan Lioyd E Ohlin dalam teorinya " Opportunity Theory) bahwa adanya peluang untuk berbuat jahat dapat mendorong seseorang untuk melakukan kejahatan. " Tentu akan berbanding terbalik dan kontraproduktif atas teori tadi bila OTT ditiadakan.
Pandangan Saya
Saya sebagai insan KPK, merasa perlunya memberikan kontribusi bagi KPK agar bisa kembali meraih kepercayaan publik, bertaji dan disegani dalam pemberantasan korupsi yaitu tetap memandang OTT menjadi hal yang sigfinikan bagi pemberantasan korupsi oleh KPK, dibarengi dengan penegakan hukum (law enforcement) case building. Keduanya dijadikan strategi berimbang, berjalan beriringan, dengan memberdayakan sumber daya yang ada di KPK, Saya meyakini ada kemampuan untuk strategi berimbang ini.
Satu sisi ekspektasi OTT yang memberikan efek jera, pada sisi lain Case Building dengan membongkar korupsi kakap dengan out put pengembalian kerugian keuangan negara yang maksimal dari koruptor, sehingga bisa berbanding lurus bagi pengembalian trust publik pada eksistensi KPK di negeri ini.