Minggu yang lalu saya berdiskusi kecil dengan salah seorang Ahli Pidana dari Universitas Padjajaran Bandung. Kegiatan ini, saya lakukan setelah tugas saya dalam Fasilitasi Ahli Pidana, yang dilakukan untuk kelengkapan berkas perkara dari Polres Buru Selatan, Maluku tuntas. Ahli Pidana tersebut, Dr. Somawijaya, SH, MH. Tugas fasilitasi ini, salah satunya ditempuh KPK dalam memberikan atensi pada perkara korupsi yang ditangani oleh penyidik di daerah.
Saya menyampaikan kepada Dr. Somawijaya, terkait dengan pengalaman empiris saya sebagai penyidik KPK saat menangani perkara korupsi. Pengalaman tadi berupa "adanya perbedaan-perbedaan" pandangan, prespektif dan penafsiran atas aturan hukum, pola dan metode pendekatan pada obyek tertentu yang menjadi variabel penting dalam pembuktian tindak pidana korupsi.Â
Misalnya terkait dengan metode Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) yang dilakukan oleh auditor, laporan hasil PKKN-nya memicu perbedaan di antara aparat penegak hukum, sehingga menyebabkan "terhambat-nya" perjalanan perkara tiba di meja persidangan. Hakikatnya, sangat disadari bahwa perbedaan-perbedaan tadi menjadi "kewajaran" karena memang sudut pandang yang tidak mungkin bulat dalam memandang sebuah permalahan, terlebih permasalahan terkait dengan masalah hukum. Potensi beda pendapat sepertinya memang harus dijadikan bagian dari proses itu sendiri.
Yang menjadi masalah adalah bila perbedaan pendapat tadi, "by design" oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan intervensi pada aparat penegak hukum. lebih tragis lagi, justru by design tadi inisiatornya justru aparat penegak hukum sendiri. Ini yang membuat perkara yang sebenarnya mudah dalam pembuktian akan berubah menjadi "sulit" dan butuh waktu yang lama. Bahkan, sangat mungkin perkara menjadi beku dan masuk ke kotak. Meski untuk yang demikian, menjadi sebuah bom waktu, yang sewaktu-waktu meledak bila ada pemicunya.
Pemicunya misalnya karena pihak yang menjadi inisiator tadi sudah tidak lagi mempunyai kewenangan ataupun sudah diganti dan perkara lepas dari intervensi.
Untuk itu, diperlukan aparat penegak hukum, khususnya dalam menangani korupsi, yang mempunyai sikap dan karakter progresif. Dengan bersikap progresif, maka hambatan-hambatan yang lebih kepada "apa yang biasanya", bisa diterjang dengan memahami adanya dinamika serta perkembangan hukum yang bersifat dinamis.
" Saya sepakat dengan sikap progresif bagi penegak hukum. " Ungkap Dr. Somawijaya. Misalnya terkait metode Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) yang diperdebatkan metodenya, tidak harus dijadikan sebagai alat bukti surat (salah satu alat bukti sebagaimana Pasal 184 KUHAP), namun bisa digiring sebagai petunjuk, sehingga hakim-lah yang berwenang untuk menetapkan berapa kerugian negara yang timbul berdasarkan fakta-fakta di persidangan.
Sikap progresif ini, misalnya juga bisa muncul pada saat pembuktian unsur yang didalamnya perlu adanya mens-rea dari pelaku. Sikap batin, tidak hanya berupa perbuatan yang aktif, perbuatan yang pasifpun bisa menjadi pemicu terjadinya tindak pidana. Ini yang kadang menjadi "lahan" perdebatan pemenuhan unsur mens rea.
Dalam konteks pemikiran hukum progresif yang dicetuskan oleh Profesor Satjipto Rahardjo, salah satu cirinya adalah tidak ada rekayasa atau keterpihakan dalam menegakan hukum dengan bertujuan untuk menciptakan keadilan.
Ini yang tidak mudah dan menjadi fakta, penanganan perkara korupsi, selalu saja akan menghadapi beragam permasalahan, bukan hanya masalah pembuktian di mana antara satu perkara dengan perkara lain, meskipun dengan menggunakan dasar pasal yang sama, akan spesifik di masing-masing penyelesaiannya. Fakta lainnya dan harus selalu diantisipasi adalah faktor non tekhnis, berupa potensi intervensi.
Salah satu solusi yang diberikan oleh negara terkait dengan adanya potensi intervensi ini, dalam konteks tugas Koordinasi dan Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 102 Tahun 2015, ayat (1) : Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan Supervisi terhadap instansi yang berwenang melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi, ditambahkan pada ayat (2), instansi yang dimaksud adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia.
Beberapa perkara korupsi yang ditangani oleh penyidik di daerah, ketika muncul potensi intervensi atau muncul hambatan non teknis, permintaan koordinasi dan supervisi ke KPK bisa menjadi pintu masuk adanya pengawasan, penelitian dan penelaahan (Pasal 5 Perpres Nomor 102 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) yang melibatkan KPK, sehingga bisa mempunyai impact atau dampak positif bagi penyelesaian perkara tadi. Setidaknya, kehadiran KPK "mendampingi" proses penanganan korupsi yang ditangani penyidik di daerah, kemudian terblow up oleh media, mempunyai daya getar dan daya dobrak atas hambatan non teknis tersebut.
Sebab, bila tetap saja perkara tadi tidak juga tuntas, UU Nomor 19 Tahun 2019, memberikan kewenangan KPK untuk mengambil alih perkara tersebut.
Catatan :
Foto 1 Â : Saat Berdiskusi dengan Dr. Somawijaya SH, MH di Unpad
Foto 2 Â : Bersama Penyidik Polres Buru Selatan, Maluku Selesai Fasilitasi Ahli di Unpad.
Salam Anti Korupsi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H