Mohon tunggu...
Dr. Herie Purwanto
Dr. Herie Purwanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Bismilah, Menulis Tentang Korupsi

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Korupsi dan Nenek di Pinggir Pantai Ujung Negeri

10 September 2024   11:38 Diperbarui: 10 September 2024   15:31 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Salah satu perilaku menyimpang dan sangat problematis dalam pemberantasan korupsi di negeri ini, adalah intervensi dari "mereka" yang mempunyai pengaruh dalam proses hukum itu sendiri.

Oleh Lawrence M Friedman, disebutkan budaya hukum merupakan variable penting dalam proses pembentukan dan perubahan hukum. Budaya hukum bisa dilihat dari internal (legal culture) yaitu budaya  hukum yang dimiliki oleh para hakim, pengacara dan penegak hukum dan eksternal yaitu perilaku dalam masyarakat terhadap hukum.

Pada konteks internal legal culture tadi, intervensi penegak hukum atas proses hukum menjadi sebuah preseden dan sudah semestinya tidak diberi ruang di negeri ini. Terhadap oknum pelakunya harus mendapat sanksi kelembagaan dan dijerat dengan hukum positif. Efek jera layak diberikan dan akan menjadi "simbol" penolakan negeri ini pada bentuk-bentuk intervensi dalam pemberantasan korupsi.

Semakin dibiarkan bentuk-bentuk intervensi, dari yang kecil di skala kota atau kabupaten, hingga tingkat daerah dan nasional menjadi persoalan yang tidak boleh dibiarkan. Beberapa perkara penanganan korupsi di skala kota atau kabupaten tadi, yang terblow-up oleh media, mengidentifikasikan adanya intervensi. 

Misalnya terhadap penyidik yang menangani perkara, dipindah tugaskan ke tempat lain, atau di non job-kan. Secara psikologis ini akan berpengaruh pada penyidik baru yang menangani perkara tersebut.

Sangat mungkin pula, justru penyidik yang baru "dimasukan" untuk "membelokan" perkara pada yang ujung-ujunnya membuat perkara menjadi absurd dan lemah dalam pembuktian. Ujung-ujungnya, bisa ditebak, perkara akan mangkrak atau demi "kepastian hukum" akan dihentikan melalui Penetapan Penghentian Perkara.

Ini bukan sebuah narasi fiktif, namun masih banyak dijumpai dan fakta. Saya tidak tulis nama, menyebut lokus, tempus maupun perkaranya semata-mata memberikan "red-warning". Bila saya menyebut lokus, tempus dan perkara, dipastikan akan menjadi serangan balik dan boomerang yang bisa jadi kontraproduktif serta muncul stigma provokator.

Dalam kondisi perang melawan korupsi seperti saat ini, serangan balik koruptor pada siapapun yang berusaha melabrak koruptor akan sangat mungkin terjadi (corruptor fight back). Mereka para koruptor sudah terasa nyaman dan berada dalam zone, yang akan membuatnya tidak akan tinggal diam bila diusik.

Itulah mengapa, memberantas korupsi penuh dengan tantangan dan bila tidak kuat menjaga marwah-nya, akan terperosok. Banyak mereka "pemberantas korupsi", namun akhirnya justru masuk dalam kubangan korupsi. Berkedok melawan korupsi, padahal ia sendiri melakukan korupsi. Ironis.

Pada saat para koruptor sudah siap dengan tebaran ancamannya, maka bisa jadi di saat itu penegak hukum yang masih memegang tinggi integritas berdiam diam, menahan momentum untuk keluar dari sarangnya, dan menerkam Sang Koruptor. Ada saatnya, seolah hukum terkadang tertidur, tetapi sejatinya hukum tidak pernah mati -- dormiunt aliquando leges, nungquam moriuntur.

Teruntuk rekan-rekan saya para pejuang anti korupsi di ujung negeri, jangan pernah mundur dan menjadi skeptis untuk terus berjuang. Ingat, saat saya di salah satu pantai di salah satu sudut Ujung Negeri, bertemu dengan nenek tua hampir 80 tahun yang masih harus menghabiskan hari-harinya dengan memungut batu-batu, dikumpulkan dalam sebuah karung kecil, dijual dengan harga lima belas ribu hingga dua puluh ribu. 

Setiap hari itu dilakukan, untuk mengisi perut dan kebutuhan sederhana lainnya. Tenaganya sudah lemah, selemah nada bicaranya, ketika menjawab pertanyaan say: "Kenapa Nenek masih melakukan ini semua? "Tanya saya. Sang Nenek menjawab: "Untuk beli kebutuhan hidup." Lirih dan setengah bergetar. Saya memandangnya sedih.

Jangan biarkan nenek-nenek lainnya. Di negeri ini seusia Nenek tadi, sudah selayaknya  menikmati hari senja dengan tanpa harus bekerja keras. Hak-hak mereka dalam kesejahteraan, kesehatan dan lain-lainnya  sudah dianggarkan negara, jangan biarkan untuk dikorupsi lagi oleh mereka yang tak lagi mengindahkan makna keadilan. Itulah jahatnya koruptor.

Artikel ini Special Untuk Pejuang Anti Korupsi di Ujung Negeri. Semangat Rekans!

Salam Anti Korupsi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun