Detik.com menulis, nama Wali Kota Medan Bobby Nasution muncul dalam sidang korupsi mantan Gubernur Maluku Utara (Malut) Abdul Gani Kasuba. Nama Bobby disamarkan dengan istilah "Blok Medan". Lalu apa kata KPK? Jubir KPK Tessa Mahardhika Sugiarto mengatakan fakta persidangan itu akan dipelajari oleh tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK. Pemanggilan Bobby sebagai saksi di sidang pun nantinya  menunggu kebutuhan dari JPU. " Kalau terkait itu kita kembalikan ke Jaksa Penuntut Umum. Apabila memang keterangan saksi yang dimaksud itu, betul-betul dibutuhkan dalam rangka memperkuat keyakinan hakim untuk memutus perkaranya tentunya dapat dilakukan pemanggilan. " Kata Tessa di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan.
Pada sisi lain, tempo.co menyebutkan Menteri Sekretaris Negara Praktikno mengaku tidak tahu soal Kahiyang maupun Bobby yang disebut-sebut memiliki IUP dalam sidang kasus korupsi mantan Guberur Maluku Utara. Pratikno membantah bahwa keduanya memiliki izin tambang. " Waduh saya nggak tahu. Enggaklah, enggak ada. Itu kan proses hukum. " kata Mensesneg.
Apa yang disampaikan Juru Bicara KPK tersebut, menjadi jawaban atas pertanyaan publik, bagaimana reaksi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas fakta persidangan dengan terdakwa mantan Gubernur Maluku Utara Abdul Gani Kasuba. Disebut-sebut oleh beberapa saksi dugaan adanya pengaturan ijin usaha pertambangan yang diduga milik Bobby Nasution.
Sampai di sini, publik dipastikan akan merespon agar KPK tidak tinggal diam. KPK harus berani menelusuri keterangan saksi di persidangan tersebut, agar semua menjadi terang benderang. Bahwa muncul dugaan-dugaan yang akan membentuk opini negative bila KPK tidak menelusuri tuntas dugaan keterkaitan tadi, menjadi sebuah keniscayaan. Terlebih, "mereka" yang begitu getol berseberangan paham dengan keluarga besar Bobby Nasution, yang didalamnya tentunya tidak lepas dari nama Pak Joko Widodo.
Saya sendiri memandang, sejatinya dalam konteks fakta di persidangan pada perkara korupsi, kemudian ada beberapa saksi yang memiliki persesuaian keterangan dan menyebut pihak-pihak tertentu serta mempunyai hubungan dengan perkara, maka doktrin saya adalah mewajibkan diri untuk meminta keterangan padanya. Terlebih, keterangan yang muncul tadi menyangkut nama-nama yang sudah dikenal oleh publik. Dipastikan akan memantik publik mengejar-nya.
Ada dua kepentingan terkait dengan hal tersebut. Pertama, perkara akan menjadi semakin jelas dengan memeriksa di depan persidangan pihak-pihak yang disebut oleh saksi. Ibarat sebuah mozaik, akan saling melengkapi dan membuat tampilan mozaik tidak sempurna, menjadi sebuah bentuk yang utuh.
Kedua, bagi pihak yang disebut-sebut sendiri, diberi keuntungan karena dari media di depan persidangan, ia bisa mengklarifikasi diri. Ada keterkaitan atau tidak, sehingga dengan klarifikasi yang diberikan, sekaligus "membersihkan" nama baiknya dari praduga atau asumsi-asumsi negative keterlibatannya pada perkara tersebut.
Dalam konstruksi ini, muncul antithesis : jadi bila tidak memanfaatkan klarifikasi diri di persidangan, besar potensinya mempunyai hubungan atau kausalitas dengan perkara?
Di sinilah, pada perkara apapun, perkara manapun, menghadirkan pihak-pihak yang disebut dalam persidangan menjadi sebuah fakta persidangan yang mempunyai nilai pembuktian. Hakikatnya, dalam hukum acara pidana kita, menyebutkan bahwa apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan yang bertitik berat sebagai alat bukti ditujukan kepada permasalahan yang berhubungan dengan pembuktian. Syarat sahnya keterangan saksi, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana.
Undang-Undang KPK memberikan kewenangan untuk mengambil alih perkara yang mendapat perhatian publik dari aparat penegak hukum lainnya, maka bila perkara tadi sudah menjadi perhatian publik sebagaimana "isu blok medan", maka logikanya adalah sebagaimana ekspektasi publik, KPK memang harus menjadikannya terang benderang. Apalagi yang "memegang" perkara ini adalah adalah KPK sendiri, jadi tidak perlu ada proses ambil alih. Hukum harus ditegakan, walau langit runtuh-fiat justitia ruat caelum.
Pada sisi lain, sependek pengetahuan saya, selama saya menjadi penyidik KPK, akan sulit dan berliku bila ada keinginan satu pihak di internal KPK untuk menggiring sebuah perkara, terlebih yang sudah mendapat atensi publik, dibelak-belokan. Pelibatan pengawasan berjenjang dan berlapis serta sorotan media, menjadikan "bermain api" pada sebuah perkara di KPK, sangat riskan serta bisa diibaratkan bisa membakar pihak yang ingin memaksakan kehendak, mengatur perkara.
Pola kepempinan KPK yang kolektif kolegial, adanya pengawas internal, adanya Dewan Pengawas KPK, serta unit-unit kerja dalam "core business" dari sejak awal perkara muncul, kemudian ditelaah, didalami melalui penyelidikan, ditingkatkan menjadi penyidikan serta disajikan dalam tahap penuntutan,
Dengan pola berlapis seperti ini, sekali lagi KPK secara kelembagaan menempatkan sebuah perkara on the track pada jalur hukum, bukan di luar itu, misalnya dengan alasan politis atau yang lainnya. Sepanjang kuat dalam pembuktian, maka perkara akan dibawa di depan persidangan.
Salam Anti Korupsi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H