Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, memberikan tiga peran Komisi Pemberantasan korupsi (KPK), yaitu Pencegahan, Penindakan dan Pendidikan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Salah satu fungsi pencegahan dilaksanakan oleh Kedeputian Kordinasi dan Supervisi. Kedeputian ini, untuk bisa mengoptimalkan tugasnya, menugaskan Satuan Tugas Pencegahan dan Penindakan.
Pada konteks tulisan ini, akan menelisik Satuan Tugas Penindakan. Aktualisasi dari tugas dari Satuan Penindakan Korsup KPK ini, bukan dalam bentuk law enforcement atau penegakan hukum yang berada dalam track Sistem Peradilan Pidana, namun ditekankan pada bagaimana mendorong sinergi dengan Aparat penegak Hukum (APH) maupun dengan Aparat Intern Pengawas Pemerintahan.
Maka fokus utama dari Satuan Tugas Penindakan Korsup KPK ini menyasar pada menjalin sinergitas dalam pemberantasan korupsi dengan stakeholder, termasuk upaya dalam mendorong penyelesaian perkara korupsi oleh Aparat Penegak Hukum lain.Â
Bila dalam penanganan perkara korupsi ada hambatan, maka disitulah peran dari Satuan Tugas Penindakan dalam menjembatani, memfasilitasi dan komunikasi, sehingga out putnya adalah perkara bisa dituntaskan. Ibaratnya, mengurai benang kusut dalam penanganan perkara korupsi yang dilakukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan.
Salah satu implementasinya sebagaimana diberitakan detik.com adalah ketika KPK mengambil alih penanganan perkara dugaan tindak pidana korupsi (TPK) pengadaan benih di Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur (NTT). Perkara itu terjadi di lingkup Dinas Tanaman Pangan Holtikultura dan Perkebunan Kabupaten Malaka tahun anggaran 2018. Sebelumnya perkara ini ditangani oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda NTT.
Jadi, ketika sebuah perkara baik ditangani oleh jajaran Kepolisian maupun Kejaksaan namun terjadi hambatan, maka perkara tersebut akan diambil alih oleh KPK.
Pasal 10 UU Nomor 19 Tahun 2019 menyebutkan : (1) Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengambil alih penyidikan dan/atau penuntutan terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan. (2) Pengambilalihan penyidikan dan/atau penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan: a. laporan masyarakat mengenai Tindak Pidana Korupsi tidak ditindaklanjuti; b. proses penanganan Tindak Pidana Korupsi tanpa ada penyelesaian atau tertunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan; c. penanganan Tindak Pidana Korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku Tindak Pidana Korupsi yang sesungguhnya; d. penanganan Tindak Pidana Korupsi mengandung unsur Tindak Pidana Korupsi; e. hambatan penanganan Tindak Pidana Korupsi karena campur tangan dari pemegang kekuasaan eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan perangkat regulasi seperti ini, sejatinya dalam pemberantasan korupsi tidak ada lagi hambatan. Logika berpikirnya adalah bahwa ketika ada dugaan tindak pidana korupsi ditangani oleh Penyidik Kepolisian, ada hambatan dan tidak terselesaikan sehingga tidak bisa diajukan ke penuntutan, maka ambil alih KPK menjadi solusinya.
Demikian halnya ketika perkara dugaan korupsi tadi mandeg alias mangkrak ada hambatan ketika ditangani oleh Penyidik Kejaksaan, entah karena sesuatu hal, KPK harus tampil mengambil alih. Karena organ KPK di desain adanya Penyidik dan Penuntut Umum satu atap, sehingga memudahkan persamaan persepsi atau mengatasi hambatan-hambatan non teknis dalam penyidikan yang dihadapi oleh penyidik asal dugaan korupsi tadi ditangani.
Sebagaimana diberitakan rri.co.id, berkas perkara bagi lima tersangka kasus korupsi RS Pratama Boking Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), NTT dirampungkan penyidik Subdit III/Tipikor Ditreskrimsus Polda NTT. Pasca menahan lima tersangka, polisi melengkapi berkas dan segera dilimpahkan ke jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Tinggi NTT. "Penyidik segera merampungkan berkas perkara untuk kembali dikirim ke JPU," ujar Kapolda NTT, Irjen Pol Johni Asadoma di Polda NTT, saat Konfensi Pers, Kamis (26/10/2023). Menurut Kapolda Penyidik sudah melimpahkan berkas perkara pada 4 Agustus 2023 lalu. Namun dikembalikan JPU pada 24 Agustus dengan sejumlah petunjuk.
Perkara tersebut belum juga tuntas sampai detik ini, salah satunya adalah petunjuk dari JPU agar dihadirkan Ahli lain yang bisa menghitung ulang kerugian atas bangunan Rumah Sakit yang masih bisa dimanfaatkan. KPK yang mensupervisi perkara tersebut sejak tahun 2022, menjembatinya dengan menfasilitasi Ahli untuk Kembali melakukan pengecekan fisik di RS Booking, pada tanggal 4 sampai 10 Juni 2024. Hasil dari Laporan Ahli nantinya, yang diperkirakan awal Juli 2024 ini, bisa memenuhi permintaan JPU dan menjadikan dasar untuk diterimanya perkara guna diajukan ke Persidangan.
Bagaimana KPK bisa memantau sebuah perkara Korupsi di Kejaksaan atau Kepolisian ada hambatan sehingga perlu dikordinasikan bahkan disupervisi KPK? Jawabnya pada edisi 2, InshaAlloh besok.
Salam Anti Korupsi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H