Mohon tunggu...
Dr. Herie Purwanto
Dr. Herie Purwanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Bismilah, Menulis tentang : - Korupsi dan Bunga Rampai (2022) - Korupsi (2023) - Hukum dan Korupsi (22 Oktober 2024 sd. sekarang) - Sebelum aktif di Kompasiana (2022), menulis di Jawa Pos, Suara Merdeka, Tribun dan Beberapa Media Internal Kepolisian. (Masuk Dalam Peringkat #50 Besar dari 4.718.154 Kompasianer Tahun 2023)

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Berantas Korupsi: Gusti Alloh Mboten Sare (4)

13 Juni 2024   11:59 Diperbarui: 13 Juni 2024   14:19 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Dokumen Pribadi

Gusti Alloh Mboten Sare, demikian pepatah Jawa menyebut yang maknanya kurang lebih Tuhan tidak tidur. Dikaitkan dengan modus menyimpan atau menyembunyikan uang hasil kejahatan, pada konteks tindak pidana pencucian uang. Oleh aparat penegak hukum, Upaya menyembunyikan hasil kejahatan tersebut, bisa terbongkar juga. Banyak cara bagi Tuhan membukakan jalan dibongkarnya modus tadi, melalui aparat penegak hukum. Kita-kira itulah substansi dari pepatah tadi.

Demikian prolog pemberian materi Tindak Pidana Pencucian Uang, yang disampaikan oleh Dhira Gulista, dari PPATK. Hal penting  dari substansi unsur menyembunyikan hasil tindak pidana adalah  asal usul nya bukan menyembunyikan secara fisik. Menyembunyikan secara fisik ini misalnya disembunyikan di bawah lantai keramik atau tempat lain. Hal ini pernah dilakukan oleh Akil Mochtar yang menyimpan uang miliaran rupiah di balik dinding sebuah ruang karaoke di rumah dinas Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang ditempati Akil.

Dalam literatur hukum, menyembunyikan dalam lingkup Tindak Pidana Pencucian uang merupakan kegiatan dalam upaya orang lain tidak akan tahu asal usul harta kekayaan berasal antara lain tidak menginformasukan kepada petugas Penyedia Jasa Keungan mengenai asal usul sumber uang tersebut dalam rangka placement.

Pemberi suap memberikan uang melalui transaksi ke rekening orang lain dengan identitas dipalsukan saat penerbitan rekening, dijadikan modus tindak pidana yang dilakukan mantan Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Antonius Budiono. Ia diduga menerima  suap dengan total mencapai Rp. 20 milyar dari proyek Pelabuhan Tanjung Mas dan proyek lainnya di lingkungan  Ditjen Hubungan laut Kementerian Perhubungan tahun 2016-2017.

kamis-666a50cfed64157d494adaf2.jpg
kamis-666a50cfed64157d494adaf2.jpg

Foto Dokumen Pribadi

Apa yang disajikan dalam materi tadi, sejatinya memberikan sebuah pengayaan yang sangat  berharga dalam upaya pemberantasan korupsi, dalam hal ini adalah tindak pidana pencucian uang,  mengapa?

Pertama, terhadap pelaku tindak pidana tertentu, misalnya tindak pidana korupsi, diperlukan kejelian penyidik dalam membedakan mana harta kekayaan pelaku. Dari sini menjadi entry point untuk masuk, melakukan asset tracing atau penelusuran asset. Bila nampak ada ketimpangan profil pelaku dengan harta kekayaan yang dimiliki, apalagi asset tadi dalam bentuk usaha tertentu seperti hotel, pom bensin dan sebagainya, sangat mungkin itu sebagai bentuk dari salah satu modus pengalihan harta  kekayaan hasil korupsi atau tindak pidana lain.

Kedua, hal paling substantif dalam pembuktian dalam tindak pidana pencucian uang adalah harus dibuktikannya darimana harta dan atau aset  berasal dari suatu tindak pidana asal dan atau aset yang menghasilkan harta dan atau aset.

Ketiga, di samping membidik pelaku TPPU aktif, yaitu subyek hukum yang melakukan tindak pidana pencucian uang, namun juga harus ada  Tindakan hukum atau proses hukum pada pihak-pihak yang pasif atau orang yang menerima (sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Bunyi lengkap pasal ini adalah : Setiap orang yang menerima  atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dipidana dengan pindana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar) rupiah.

Pelaku pasif ini, dalam pembuktiannya, sebagaimana dikutip dari artikel yang diterbitkan ppatk.go.id, terkait dengan unsur patut menduga dan mengetahui serupa dalam pembuktian pasal 480 KUHP yang menjelaskan  adanya unsur proparte dolus dan proparte culpoos (setengah sengaja setengah lali).

Penegakan hukum atas pelaku pasif ini sangat diperlukan sebagai upaya pemberian efek jera dan edukasi publik agar tidak dengan mudah atau sembarangan menerima hasil kejahatan. Ini perlu disampaikan, karena faktanya memang terhadap pelaku pasif dalam TPPU, tidak berbanding lurus dengan proses hukum pada pelaku aktifnya.

Salam Anti Korupsi

Senggigi, 130624

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun