Mohon tunggu...
Dr. Herie Purwanto
Dr. Herie Purwanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Bismilah, Menulis tentang : - Korupsi dan Bunga Rampai (2022) - Korupsi (2023) - Hukum dan Korupsi (22 Oktober 2024 sd. sekarang) - Sebelum aktif di Kompasiana (2022), menulis di Jawa Pos, Suara Merdeka, Tribun dan Beberapa Media Internal Kepolisian. (Masuk Dalam Peringkat #50 Besar dari 4.718.154 Kompasianer Tahun 2023)

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Berantas Korupsi: Perlukah Cost and Benefit? (2)

11 Juni 2024   08:10 Diperbarui: 11 Juni 2024   08:19 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen pribadi

Diperoleh dari telusur google, cost  benefit analysis adalah proses analisis estimasi keuntungan yang akan  didapatkan berdasarkan perhitungan biaya dan manfaat dalam suatu proyek.

Bila ini dikaitkan dengan penegakan hukum, konteks ini adalah tindak pidana korupsi, menjadi sebuah hal yang menarik, ketika cost and benefit ini disampaikan. Mengapa? Hitung-hitungan terkait dengan proses hukum (law enforcement) pada tindak pidana korupsi dengan kerugian yang kecil, atau tidak sebanding dengan cost atau biaya yang dikeluarga oleh negara, maka sebaiknya ada pengecualian.

Penganut aliran ini, beranggapan, akan lebih efisien dari sisi beban negara yang harus menanggung biaya sejak dari awal pengumpulan data (investigasi, penyelidikan), penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan hingga setelah vonis yaitu eksekusi hukuman badan di Lembaga permasyarakatan. Tepatkan pendapat seperti ini?

whatsapp-image-6667990334777c3c2569df62.jpg
whatsapp-image-6667990334777c3c2569df62.jpg

Dokumen pribadi

Ganjar Laksmana, Pengajar dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang juga berkesempatan untuk mengisi materi Pertanggungjawaban  Tindak Pidana Koorporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Mengakibatkan Kerugian Perekonomian Negara, pada Pelatihan APH/APIP di Senggigi, NTB yang diselenggarakan oleh KPK, memberikan pandangannya. Bahwa Negara harus menanggung kerugian akibat negara gagal dalam mencegah korupsi. Penegakan hukum tidak boleh dengan pendekatan ekonomi. Misalnya dengan hitungan, korupsi Rp. 5 juta, sedangkan proses hukumnya sampai Rp. 50 Juta.

" Korupsi merupakan kejahatan luar biasa. " Ujar Ganjar. Ia sangat miris, dan memandang kejahatan korupsi saat ini seolah tergantung dari kesempatan. Siapa yang dapat kesempatan, berpeluang melakukan korupsi.

Pada sisi ini atas perbuatan tindak pidana korupsi yang tidak melihat angka-angka sebagai ukuran, namun yang dipandang adalah perbuatannya, yang bila dikaitkan dengan bisa dipidananya perbuatan tadi telah memenuhi adanya sikap batin dari pelaku atau means rea. 

Saya sepakat dengan pendapat tersebut, ketika berbicara korupsi, sebagai sebuah exstra ordinary crime, maka hitungan secara ekonomi tadi menjadi kurang signifikan. Sejatinya yang dilakukan negara adalah untuk memberikan efek jera, agar perbuatan korupsi yang nilainya kecil tadi, tidak ditiru oleh orang lain. Jangan sampai menjadi sebuah preseden dan akan memupuk kebiasaan, serta mind set di masyarakat.

Pada sisi lain, menjerat pelaku korupsi yang big fish atau kelas kakap, menjadi sebuah tantangan bagi jajaran penegak hukum. Pelaku korupsi kakap, bisa dilihat dari jumlah kerugian negara yang ditimbulkan dan lingkup kewenangan atau jabatan. Semakin tinggi jabatan publik yang diemban, semakin menarik perhatian dan ekspaktasi publik pada proses hukumnya akan ditunggu ending-nya.

Dalam paradigma seperti itu, kaitannya dengan cost and benefit, di samping saya sepakat hal tersebut kurang signifikan, hal lainnya adalah sebagai berikut :

Pertama, penyidikan tindak pidana korupsi yang menyasar pada perbuatan, bukan besar kecilnya kerugian negara yang ditimbulkan, masih dipandang efektif dan bisa memunculkan efek jera. Fakta 41 dari 45 Anggota DPRD Malang ditetapkan sebagai tersangka suap/ gratifikasi, di mana penerimaan antara Rp.12,5 juta-Rp. 50 juta, diproses tuntas. Banyak penyesalan dan mengaku tidak ingin mengulangi perbuatannya, dikemukakan oleh mereka di depan penyidik.

Kedua, akan menjadi pembelajaran publik, negara bisa bersikap tidak memandang nilai materi yang dikorupsi, namun lebih pada negara ingin bersikap tegas, pelaku korup harus mendapat hukuman yang setimpal- lex dura sed ita scripta.

Paradigma inilah yang semestinya terus dijaga dan diperlakukan pada semua warga negara, tanpa pengecualian. Karena memang kita telah bersepakat, bahwa di negeri ini, semua orang sama kedudukannya di muka hukum. Bila salah, ya di hukum. Bila korupsi ya di hukum. Karena memang sejatinya, siapa yang menanam sesuatu dia yang akan memetik hasilnya, ut sementem faceris ita metes.

Salam Anti Korupsi,

Senggigi NTB, 110624

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun