Pada sisi lain, menjerat pelaku korupsi yang big fish atau kelas kakap, menjadi sebuah tantangan bagi jajaran penegak hukum. Pelaku korupsi kakap, bisa dilihat dari jumlah kerugian negara yang ditimbulkan dan lingkup kewenangan atau jabatan. Semakin tinggi jabatan publik yang diemban, semakin menarik perhatian dan ekspaktasi publik pada proses hukumnya akan ditunggu ending-nya.
Dalam paradigma seperti itu, kaitannya dengan cost and benefit, di samping saya sepakat hal tersebut kurang signifikan, hal lainnya adalah sebagai berikut :
Pertama, penyidikan tindak pidana korupsi yang menyasar pada perbuatan, bukan besar kecilnya kerugian negara yang ditimbulkan, masih dipandang efektif dan bisa memunculkan efek jera. Fakta 41 dari 45 Anggota DPRD Malang ditetapkan sebagai tersangka suap/ gratifikasi, di mana penerimaan antara Rp.12,5 juta-Rp. 50 juta, diproses tuntas. Banyak penyesalan dan mengaku tidak ingin mengulangi perbuatannya, dikemukakan oleh mereka di depan penyidik.
Kedua, akan menjadi pembelajaran publik, negara bisa bersikap tidak memandang nilai materi yang dikorupsi, namun lebih pada negara ingin bersikap tegas, pelaku korup harus mendapat hukuman yang setimpal- lex dura sed ita scripta.
Paradigma inilah yang semestinya terus dijaga dan diperlakukan pada semua warga negara, tanpa pengecualian. Karena memang kita telah bersepakat, bahwa di negeri ini, semua orang sama kedudukannya di muka hukum. Bila salah, ya di hukum. Bila korupsi ya di hukum. Karena memang sejatinya, siapa yang menanam sesuatu dia yang akan memetik hasilnya, ut sementem faceris ita metes.
Salam Anti Korupsi,
Senggigi NTB, 110624
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H