Kasus korupsi masih menjadi pekerjaan rumah hingga saat ini. Sehingga bila disebutkan, dalam pemberantasan korupsi sangat kompleks dan tidak mudah, memang seperti itu adanya.Â
Meskipun, negara telah "menugaskan" tiga Lembaga yaitu KPK, Kejaksaan, dan kepolisian untuk memerangi korupsi. Alhasil, belum juga menunjukan hasil yang diharapkan. Banyak kerikil-kerikil yang menyandung.
Salah satu dari kompleksitas dalam pemberantasan korupsi, sejatinya telah diprediksi kemudian diantisipasi dengan mengakomodir asumsi mengatasinya. Dalam konteks ini adalah terkait dengan adanya conflik of interest, intervensi hingga abuse of power dari "mereka" yang sejatinya terlibat dalam core business pemberantasan korupsi.
Ini saya munculkan dalam artikel ini, karena dari fakta empiris yang menyedihkan terjadi di mana dalam beberapa kasus korupsi yang terjadi, menghadapi anomali yang sejatinya di luar konteks substansi perkara.Â
Bisa dikatakan misalnya ada sebuah perkara, yang secara formil dan materiil sudah terpenuhi, namun belum juga diajukan ke persidangan, dengan beragam alasan yang menjadi perkara tersebut stagnan.
Dengan berpijak pada fakta tersebut, menjadi filosofi dari salah satu pasal dalam Undang-Undang Nomor 19 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu pada Pasal 10A ayat (1) yang menyebutkan bahwa dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengambil alih penyidikan dan/atau penuntutan terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan
Pasal 10 A Ayat (2) huruf c, bahwa pengambilalihan penyidikan dan/atau penuntutan sebagaimana dilakukan oleh KPK dengan alasan: hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari pemegang kekuasaan eksekutif, yudikatif atau legislatif.
Sedang huruf d: keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian dan kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
Substansi dari Pasal 10 A ini adalah bahwa KPK berwenang untuk mengambil alih perkara baik pada tingkat penyidikan atau penuntutan yang menemui hambatan dalam penangannya karena adanya campur tangan dari pemegang kekuasaan eksekutif, yudikatif atau legislatif atau adanya "keadaan lain" yang menjadikan penanganan korupsi sulit.