Pantai Liang, Ambon, Propinsi Maluku, di suatu sore.
Saya sangat takjub dan kagum atas salah satu ciptaanNya, yaitu birunya laut, jernih. Deburan ombak, meningkahi-nya, saling berkejaran dan akhirnya pecah di bibir pantai, dengan butiran pasir yang putih. Sepanjang mata ini memandang, warna biru laut menyejukan mata. Juntaian pepohonan dengan batangnya yang kokoh, menancap di pasir putih pantai. Ada geraian hijau dedaunan yang memadu warna dominan biru, sebagai panorama yang sangat memanjakan dan menyejukan mata.
Namun, kesejukan mata itu menjadi tidak sempurna. Telinga ini masih terngiang deretan kalimat Pak Yan, salah seorang auditor di Inspektorat Propinsi Maluku. Pak Yan, menurut Pak Raman, koleganya di Inspektorat merupakan salah satu auditor yang "tampil" di garda depan, menjadi Ahli di depan pemeriksaan persidangan, atas hasil Perhitungan Kerugian Keuangan Negara atau PKKN.
" Ini hanya sekedar curhat Pak. " Begitu kata-kata Pak Yan, saat dialog dengan saya.
" Tidak mudah mencari Ahli yang bersedia nantinya untuk dimintai keterangan sebagai Ahli, baik saat pemeriksaan di depan penyidik ataupun di depan persidangan. " Lanjut Pak Yan dengan nada rendah.
Saya mendengar dengan seksama.
" Kalau hanya menyelesaikan permintaan audit PKKN, banyak yang bisa melaksanakan. Selesai penghitungan, selesai sudah tugasnya. Sedangkan bila untuk dilanjut menjadi Ahli, untuk menjelaskan itu semua dan di buat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) oleh Penyidik kemudian menjelaskan di persidangan, banyak yang tidak bersedia. Mengapa? Menjadi Ahli terkait Penghitungan Kerugian Keuangan Negara dalam persidangan tindak pidana korupsi, sangat kurang nyaman. "
Begitu dengan lugas Pak Yan mulai mengeluarkan isi hatinya.
" Saat pemeriksaan di persidangan, kadang harus menunggu beberapa jam, setelah dibuka sidangnya, kemudian sidang ditunda, sehingga harus siap untuk sidang di hari berikutnya. Bahkan, ada setelah menunggu beberapa waktu lamanya, materi PKKN sudah terlupakan dari kepala, ada panggilan untuk sidang. Rentang waktu yang lama antara pemberian keterangan saat di depan penyidik dengan waktu sidang berbulan-bulan, sampai lupa. Akhirnya harus membuka-buka kembali dan membawa setumpuk dokumen saat persidangan. "
Semakin menarik ungkapan perasaan Pak Yan, sungguh saya perhatikan dengan seksama.
" Ada lagi yang bikin hati ini seperti dalam kesendirian, yaitu kurangnya perhatian, atensi barang sedikit saja pada "kami-kami" ini. Perhatian dari unsur pimpinan, atau para kolega di kantor, misalnya dengan menanyakan : bagaimana sidangnya, bagaimana pemberian keterangan kemaren dan sebagainya. Ini sama sekali tidak ada. "
Saya memahami kemana arah pembicaraan Pak Yan.Â
Saya ingat teori kebutuhan dasar manusia yang disampaikan oleh Abraham Maslow, yang menyebutkan bahwa salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan sosial, yang salah satu anasir atau elemennya adalah penerimaan diri oleh lingkungan sosial. Sangat berarti, ketika kerja seseorang, diberikan perhatian, atensi oleh kolega atau pimpinannya. Bukan semata dalam bentuk materi, namun dukungan kata-kata, deretan kalimat, yang bisa jadi hanya sekedar intermezo, tetap sangat diperlukan.
Bekerja dalam lingkup sebagai bagian dari core business pemberantasan korupsi, harus siap mental, siap diri, siap "terisolir" dari kebiasaan-kebiasaan korup. Bila lingkungan kerja masih terbiasa, tersentuh apalagi bagian dari kerja koruptor, dipastikan suasana sangat tidak nyaman dan orang-orang seperti Pak Yan, menjadi jauh dari pemenuhan kebutuhan sosialnya.
Ini menjadi sebuah resiko profesi.
Mengapa ini masih terjadi?Â
Bersumber dari Transparancy International, Skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perception Index Indonesia 2023 stagnan. Posisinya di antara negara-negara Asean berada di bawah Timor Leste. Pada akhir Januari 2024, Â skor IPK Indonesia di 2023 sebesar 34/100. Skor tersebut sama dengan tahun sebelumnya yakni 34. Posisi Indonesia secara global dari 180 negara yakni di peringkat 115. Hal ini berarti Indonesia ada pada kondisi stagnan secara skor. Rankingnya merosot 5 poin dari 110 menjadi 115. Sementara itu, posisi Indonesia berada di peringkat 6 di antara negara-negara Asean. Peringkat Indonesia berada di bawah Timor Leste yang menduduki peringkat ke 3.
Melihat data tersebut, menjadi sebuah keprihatinan yang tidak kunjung selesai, bahwa korupsi seperti sudah menjadi wabah nasional, yang hampir masuk ke semua ruang kehidupan di negeri ini. Orang-orang yang masih bersiteguh, berada dalam lingkup pemberantasan korupsi, harus tegar dan tetap berprinsip pada jalan kebenaran, meski kadang batu sandungan ada di depan mata, sekelilingnya bekerja ataupun para teman dan kolega.
Pak Yan, dan Pak Yan-Pak Yan lainnya di negeri ini, tetaplah bersiteguh dalam semangat pemberantasan korupsi. Selalu bergerak, dalam energi memerangi korupsi, sebagaimana gulungan ombak yang saling berkejaran di pantai Liang yang membiru. Membiru, sebiru langit, yang menuansakan keindahan penuh pesona.
Salam Anti Korupsi Dari Pantai Liang, Ambon, Maluku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H