Mungkin ini menjadi salah satu pertanyaan mewakili publik, yaitu apakah dalam perkara tindak pidana korupsi, seseorang yang diduga telah melakukan korupsi yang menyebabkan kerugian negara bisa bebas dari jeratan hukum bila ia sudah mengembalikan uang yang diduga telah ia korupsi tersebut?
Dalam beberapa perkara, masih ditemukan fakta, bahwa dengan mengembalikan kerugian keuangan negara, maka ia bebas dari perkara tersebut dan sanksi yang diterima karena ia merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Penyelenggara Negara, hanya mendapat sanksi administrasi atau sanksi disiplin.
Ironisnya, masih ditemukan juga fakta, pejabat dari aparat penegak hukum (APH), yang "sepakat" dan menyerukan pada jajarannya, bahwa mengembalikan kerugian keuangan negara yang diduga dikorupsi tadi, sah-sah saja.
Bukankah ini menjadi sebuah preseden buruk dalam penegakan hukum di negeri ini? Apa yang kira-kira mendasari pemikiran tersebut? Ada beberapa kemungkinan:
Pertama, menafsirkan bahwa substansi dari perbuatan korupsi adalah adanya kerugian negara, sehingga bila kerugian negara sudah dikembalikan, maka tujuan asset recovery sudah tercapai. Jadi kenapa harus dipidanakan? Toh, bentuk hukuman yang bisa dijatuhkan dalam bentuk lain seperti sanksi administrasi dan sanksi disiplin sudah cukup?
Kedua, salah dalam memahami konsep Restorative Justice. Konsep ini mengajarkan bahwa semua pihak yang berkepentingan dalam sebuah perkara, menyelesaikan bersama-sama bagaimana akibat dari masalah yang terjadi demi kepentingan masa depan. Karena memandang substansi dari perkara adalah adanya kerugian negara, maka bila kerugian negara sudah dikembalikan, selesai perkaranya.
Ketiga, sangat mungkin juga berlandaskan pada kewenangan diskresi. Dengan diskresi, demi kepentingan bersama, kepentingan umum, dikontruksikan, pengembalian kerugian keuangan negara menjadi bagian penyelesaian perkara.
Keempat, sesat pikir dalam penerapan asas dalam hukum pidana yaitu asas ultimum remedium, yang berarti penggunaan atau penerapan hukum pidana sebagai jalan atau Upaya akhir dalam penegakan hukum.Â
Pemahaman yang sempit untuk mengimplementasikan asas ini, menganggap bentuk pengembalian kerugian keuangan negara tadi, bagian dari upaya yang bisa ditempuh, agar tidak diterapkannya penggunaan hukum pidana.
Keempat hal tersebut menjadi sebuah antitesis dalam pemberantasan korupsi. Bahkan bisa dikatakan sebagai sebuah anomali yang tidak boleh dibiarkan. Pembiaran atas kondisi tersebut akan berdampak pada ketidakpastian hukum.
Korupsi sebagai musuh bersama bagi bangsa ini (common enemy), harus disikapi dengan cara-cara yang progresif. Tindak pidana korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa sudah seharusnya tidak diberikan ruang toleransi bagi pelakunya.
Bilapun seseorang diduga melakukan korupsi, kemudian sebelum ia diproses dan dituntut di pengadilan, dengan kesadaran mengembalikan kerugian negara, tetap diterima, namun sebatas sebagai catatan, bahwa ia telah beritikad baik, sehingga sangat mungkin bagi Hakim untuk memberikan keringan hukuman padanya.
Tentu akan banyak muncul anekdot di masyarakat bila pengembalian keuangan negara, membuat ia bebas dari tuntutan pidananya, misalnya bila ada kesempatan, korupsi saja, bila ketahuan, langsung kembalikan, kan beres?
Maka, tepatlah kiranya aturan atau hukum positif sebagaimana disebutkan Pasal 4 UU Tipikor menyatakan, "Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3."
Penjelasan Pasal 4 tersebut menyatakan: Dalam hal pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan 3 telah memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud, maka pengembalian negara, tidak menghapuskan pidana pelaku tindak pidana tersebut. Pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan.
Salam Anti Korupsi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H