Tanggal 11 Januari 2024, sebagaimana diberitakan media, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan kegiatan operasi tangkap tangan (OTT) di Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara. Salah satu orang yang ditangkap dalam kegiatan itu adalah Bupati Labuhanbatu sekaligus politikus Partai NasDem, Erik Adtrada Ritonga (EAR).
Melansir dari laman Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara elektronik atau e-LHKPN, Erik diketahui memiliki total harta kekayaan Rp 15 miliar. Hartanya tersebut terdiri dari sejumlah tanah dan bangunan, kendaraan bermotor, dan lain sebagainya, sebagaimana dikutip dari Tempo.com.
Sebagai Bupati Labuhan Batu, Erik juga diberitakan sebuah seorang Dokter dan menjabat salah satu Direktur sebuah rumah sakit. Bagi masyarakat kebanyakan, profil Erik sebagai dokter, direktur dan mempunyai aset yang dilaporkan pada LHKPN sebesar Rp 15 Miliar, merupakan profil tajir, high class dan sudah mapan. Namun mengapa masih terjerat korupsi?
Erik bukan satu-satunya profil orang kaya, status sosial di masyarakat yang tidak kaleng-kaleng yang terjerat kasus korupsi. Ia menambah deretan panjang profil tajir dan high class yang berurusan dengan KPK. Ia menambah juga keprihatinan berkepanjangan negeri ini tentang kasus korupsi yang terus mengular dan menggurita.
Korupsi memang menggoda. Uang datang dengan sendirinya. Tanpa tetesan keringat, jerih payah, berletih-letih. Bisa dinarasikan: cukup hanya duduk di belakang meja, menerima tamu ingin membuat deal-deal atau kesepakatan-kesepakatan tertentu terkait dengan pekerjaan, proyek ataupun lainnya yang berkaitan dengan kewenangan yang ia punya.
Di situlah terjadi titik temu, kesepakatan yang melahirkan janji-janji dengan meng-erosi atau menggerus kewenangan, mengingkari sumpah jabatan dan etik sebagai seorang pejabat. Meski pada kasus korupsi berupa gratifikasi tanpa harus ada deal-deal tertentu atau janji, hanya berupa penerimaan sejumlah uang atau barang yang tidak dilaporkan kepada KPK, sebagai kewajiban penyelenggara negara dan atau pegawai negeri untuk melaporkan pemberian tersebut.
Pada kasus penerimaan suap, sepertinya mustahil baru sekali menerima suap terus ditangkap KPK. Seringkali, karena sudah berulang dan berlanjut, pada titik apes dan seperti ibarat sepanda-pandai tupai melompat akan jatuh juga, itulah gambaran-nya. Sudah kenyang, baru muntah. Begitulah.
Dalam terminologi hukum, suap didefinisikan sebagai "pemberian atau janji kepada seorang penyelenggara negara atau pegawai negeri yang berhubungan dengan jabatannya," demikian dikutip dalam buku Delik-Delik Korupsi (2020) karya Mahrus Ali dan Deni Setya Bagus Yuherawan.
Disebutkan pula, suap disepadankan dengan delik jabatan karena suatu pemberian sesuatu atau janji pasti berhubungan dengan jabatan seseorang.
Jabatan di sini dibatasi hanya pada jabatan publik, dan tidak termasuk jabatan di sektor swasta. "Sesuatu" yang dimaksud yaitu bernilai ekonomi, dikutip dari kpk.go.id
Apakah kondisi dan fakta, sudah banyak pejabat yang ditangkap KPK, Kejaksaan atau Kepolisian tadi tidak membuka mata dan hati, ketika tangan menerima suap? Harta yang sudah terkumpul dan dimiliki dengan nilai milyaran rupiah, belumkah cukup?
Atau jangan-jangan korupsi menjadi sebuah hobi yang menyenangkan? Sebagaimana sebuah antitesis pada perilaku kliptomania, di mana pada penderita kliptomania ini sangat menyukai mengambil atau mencuri barang milik orang lain tanpa rasa bersalah?
Tentu ini sebuah antitesis yang tidak pas, disematkan atau dianalogkan pada perilaku korup. Terpaksa saya sampaikan, sebagai ujud saya kehabisan kata-kata untuk menulis dengan kalimat yang pas sebagai penyebab mengapa orang yang sudah kaya raya, punya jabatan dan pekerjaan yang bisa mengantarkannya ke level high class masih juga mau menerima uang yang bukan hak-nya? Tentu dengan konsekuensi ia akan kehilangan semuanya, terutama harga diri dan nama baiknya.
Atau jangan-jangan, mereka yang sudah pada level tinggi status sosialnya, justru tidak lagi peka, tidak lagi respek atas kemungkinan harga diri dan nama baiknya akan jatuh berkeping bila melakukan korupsi?
Bila ini yang terjadi, maka saya tidak tahu, bagaimana memberantas korupsi di negeri ini.
Sangat mungkin, para koruptor yang sudah di OTT KPK maupun yang belum kena OTT, sangat benci dengan KPK karena telah mengganggu hobi mereka, hobi melakukan korupsi!
Pada sisi lain, bisanya, saya hanya bisa bersedih, dengan sesekali menuangkannya dalam artikel demi artikel di Kompasiana ini.
Salam Anti Korupsi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H