hukum, muncul adagium Hukum Tajam Ke Bawah, Tumpul Ke Atas. Sepertinya tanpa perlu penjelasan lagi, publik sangat memahaminya. Lebih-lebih mereka yang belajar masalah hukum. Banyak perkara yang satu dengan lainnya, dengan takaran berat ringannya perkara, seolah terabaikan bila membicarakan perlakukan terharap pelakunya. Salah satu indikator untuk melihat hal ini adalah dalam perlakuan penahanan pada seseorang yang sudah ditersangka-kan.
Seringkali dalam penegakanSyarat mengenai penahanan diatur dalam Pasal 21 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang pada intinya menyebutkan bahwa pejabat yang berwenang menahan dapat menahan tersangka/ terdakwa apabila menurut penilaiannya dikhawatirkan melarikan diri, menghilangkan barang bukti serta dikhawatirkan mengulangi tindak pidana lagi.
Kata-kata "dapat" menahan inilah, yang seringkali memunculkan disparitas-perbadaan atau jarak dalam implementasinya. Mengapa? Sering diselorohkan, pencuri ayam saja langsung dilakukan penahanan, sementara mereka yang diduga melakukan korupsi hingga milyaran rupiah, aman-aman saja tidak dilakukan penahanan dengan alasan tadi. Pertanyaannya bila dikaji secara logis dan menerapkan keadilan substantive-dalam pengertian berdasarkan rasionalitas, hati nurani, tanpa diskriminasi, mana dari si Pencuri Ayam atau Koruptor yang berpotensi melakukan tiga alasan subyektif tadi?
Apa mungkin seorang pencuri ayam berpotensi melarikan diri hingga ke luar negeri, misalnya? Atau kabur hingga diterbitkan DPO-Daftar Pencarian Orang? Atau si Pencuri Ayam dikhawatirkan menghilangkan barang bukti? Barang bukti yang mana? Kandang ayam-nya? Atau ayam yang dicurinya tadi? Dan kekhawatiran mengulangi tindak pidana lagi. Nah, yang ini bisa jadi, namun peluangnya sangat kecil, walau tetap ada, kenapa? Pencuri Ayam lebih pada konteks ia kelaparan, sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup. Lain masalah bila Si Pencuri Ayam tadi sudah termasuk residivis atau berulang melakukan pencurian.
Jadi, bila dipersandingkan dengan potensi untuk melakukan "pelarian-diri", penghilangan barang bukti dan mengulangi tindak pidana, lebih besar dan berbahaya Si Koruptor. Dari aspek manapun akan lebih "tinggi" kuantitas dan kualitasnya. Seorang yang diduga sebagai koruptor, apalagi ia pejabat publik, sangat tidak sebanding bila dibandingkan "dengan Si Pencuri Ayam" dari aspek manapun. Pendidikan? Status sosial? Penghasilan? Seperti langit dan bumi tentunya.
Bila sudah demikian, mengapa aparat penegak hukum, dalam konteks ini yang memiliki kewenangan penahanan baik di tingkat penyidikan maupun penuntutan, masih bersikap kontraproduktif dari keadilan yang substansif tadi?
Meyakini bahwa perbedaan perlakuan, meski dibenarkan secara normative, namun sangat bertentangan pada ranah keadilan yang didambakan oleh masyarakat negeri ini. Apalagi, bila melihat intrik-intrik yang acapkali ditunjukan oleh tersangka yang merupakan pejabat publik, ia seperti menunjukan "kekuasaannya", bahwa "ia bukan kaleng-kaleng".
Merasa tidak bersalah, selama belum ada putusan hakim merupakan hak konstitusional, karena memang negeri ini menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah-presumtion of innnoncence, namun pada sisi lain ada juga asas persamaan di muka hukum- equality before the law. Jangan menjadi ambigu dalam penerapannya. Di satu satu menjunjung dan mendewa-dewakan asas praduga tak bersalah, dengan meminta pemahaman pada publik memperlakukan dirinya sebagai pihak yang "belum bersalah", namun pada sisi lain ia abai dan aparat penegak hukum terbui untuk ambigu pada asas persamaan dimuka hukum tadi.
Jadi, demi rasa keadilan dalam masyarakat yang benar-benar menyentuh hati nurani, tidak diskriminasi dan berdasarkan rasionalitas, kepada aparat penegak hukum jangan berdalih dan berlindung pada syarat subyektif kewenangan penahan dengan heavy-nya diksi "dapat" menjadi seolah ia bisa saja menisbikan atau menghilangkan pertimbangan keadilan substantive. Justru bila aparat penegak hukum berpihak kepada asas persamaan di muka hukum, maka ketika memperlakukan tersangka yang merupakan pejabat publik, memiliki status sosial yang tinggi di masyarakat benar-benar berada pada titik yang seimbang, minimal anggapan atau persepsi hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas, bisa tereliminir bahkan bisa dihilangkan.
Tidak mudah memang mewujudkan itu semua, mengapa?
Pertama, seolah sudah menjadi "kebiasaan" dalam strata masyarakat negeri ini, sejak jaman kolonial dulu, terbawa hingga sekarang adanya sikap "rikuh pekewuh", sungkanan, tidak enak hati, dan memberikan perhatian yang lebih kepada kaum yang memiliki status sosial yang tinggi, pejabat dan publik figur lainnya, di bandingkan sikap yang sama terhadap "mereka" yang terpinggirkan atau termarginalkan oleh status sosial, pendidikan dan ekonomi atau aspek lainnya. Dalam bahasa lain sebagai massa akar rumput.
Kedua, menjadi sebuah "permakluman" di lingkungan aparat penegak hukum, mengunci diri atau berlindung di balik alasan normative, dengan mengesampingkan atau tidak mengutamakan bahwa sejatinya siapapun manusia di muka bumi ini mempunyai hak untuk diperlakukan yang sama. Bila tidak maka akan mengoyak rasa keadilan. Ini belum membumi dan masih dalam tataran teoritis, di mana implementasinya masih terasa berat.
Ketiga, tidak ada yang salah secara prosedur dengan mendasarkan tindakan pada aspek normative karena dasar bertindak adalah "patuh asas", namun perlakuan yang "membedakan" antara kaum atas dan kaum akar rumput, beririsan dengan resiko. Potensi besar mendapat perlawanan secara hukum dari "kalangan atas" menjadikan aparat penegak hukum lebih bersikap ambil jalan tengah, namun ironinya, justru ini yang memunculkan skeptisme dalam masyarakat. Sikap ambil jalan tengah, dengan tidak melakukan penahanan tadi, misalnya lebih kecil resikonya ketimbang harus melakukan penahanan.
Bila ini terhadap kaum akar rumput, seolah tanpa diperhitungkan resiko perlawanan tadi. Hal ini dimaklumi, terhadap tersangka akar rumput, seolah "lepas" dari blow up media, hanya kasuistis saja yang viral, baru mendapat perlakukan yang lebih memihak pada kemauan publik. Ini fakta yang tidak terpungkiri.
Jadi kesimpulannya adalah bahwa anggapan hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas, masih menjadi pekerjaan rumah bagi jajaran penegak hukum. Memegang aturan secara prinsipil, memang menjadi keharusan, namun pada sisi lain, diperlukan hati nurani, tidak diskriminasi dan rasional menjadi sebuah kekuatan dalam proses penegakan hukum bila ingin mengeliminir atau menghilangkan persepsi negative hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas tadi.
Tetap Semangat, Salam Anti Korupsi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H