Kedua, menjadi sebuah "permakluman" di lingkungan aparat penegak hukum, mengunci diri atau berlindung di balik alasan normative, dengan mengesampingkan atau tidak mengutamakan bahwa sejatinya siapapun manusia di muka bumi ini mempunyai hak untuk diperlakukan yang sama. Bila tidak maka akan mengoyak rasa keadilan. Ini belum membumi dan masih dalam tataran teoritis, di mana implementasinya masih terasa berat.
Ketiga, tidak ada yang salah secara prosedur dengan mendasarkan tindakan pada aspek normative karena dasar bertindak adalah "patuh asas", namun perlakuan yang "membedakan" antara kaum atas dan kaum akar rumput, beririsan dengan resiko. Potensi besar mendapat perlawanan secara hukum dari "kalangan atas" menjadikan aparat penegak hukum lebih bersikap ambil jalan tengah, namun ironinya, justru ini yang memunculkan skeptisme dalam masyarakat. Sikap ambil jalan tengah, dengan tidak melakukan penahanan tadi, misalnya lebih kecil resikonya ketimbang harus melakukan penahanan.
Bila ini terhadap kaum akar rumput, seolah tanpa diperhitungkan resiko perlawanan tadi. Hal ini dimaklumi, terhadap tersangka akar rumput, seolah "lepas" dari blow up media, hanya kasuistis saja yang viral, baru mendapat perlakukan yang lebih memihak pada kemauan publik. Ini fakta yang tidak terpungkiri.
Jadi kesimpulannya adalah bahwa anggapan hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas, masih menjadi pekerjaan rumah bagi jajaran penegak hukum. Memegang aturan secara prinsipil, memang menjadi keharusan, namun pada sisi lain, diperlukan hati nurani, tidak diskriminasi dan rasional menjadi sebuah kekuatan dalam proses penegakan hukum bila ingin mengeliminir atau menghilangkan persepsi negative hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas tadi.
Tetap Semangat, Salam Anti Korupsi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H