Mohon tunggu...
Dr. Herie Purwanto
Dr. Herie Purwanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Bismilah, Menulis tentang : - Korupsi dan Bunga Rampai (2022) - Korupsi (2023) - Hukum dan Korupsi (22 Oktober 2024 sd. sekarang) - Sebelum aktif di Kompasiana (2022), menulis di Jawa Pos, Suara Merdeka, Tribun dan Beberapa Media Internal Kepolisian. (Masuk Dalam Peringkat #50 Besar dari 4.718.154 Kompasianer Tahun 2023)

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Revisi UU Mahkamah Konstitusi? Baca Ini Dulu!

30 November 2023   13:28 Diperbarui: 1 Desember 2023   20:21 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Revisi sebuah undang-undang, dimanapun di dunia ini, atau secara universal bukan hal yang tabu. Hal ini dikarenakan, produk sebuah undang-undang berlaku pada suatu masa dan sejalan dengan perkembangan masyarakatnya yang mengalami perubahan dan dinamika yang terjadi, maka menjadi wajar bila perangkat undang-undang-nyapun ikut menyesuiakan.

Walau kita mengetahui, dalam membuat sebuah undang-undang, pembuat undang-undang salah satunya sudah memperkirakan situasi dan kondisi untuk beberapa waktu ke depan, sehingga harapannya produk undang-undang yang dibuat tadi memiliki sifat flexible atas perubahan waktu.

Namun sifat flexible tadi dalam kondisi dan situasi tertentu tetap saja membutuhkan adanya perubahan. Ini menjadi sebuah tuntutan yang logis, agar undang-undang tadi bisa tetap berlaku dengan bisa mengakomodir perubahan-perubahan dan dinamikan sosial tadi.

Hanya saja pertanyaan yang klasik diajukan di sini adalah, benarkah perubahan sebuah undang-undang tadi benar-benar ditujukan untuk kepentingan yang lebih besar yaitu kepentingan bangsa dan Negara, ketimbang kepentingan tertentu, kelompok atau ada tujuan lainnya? 

Ini yang perlu dipermasalahkan. Untuk ini, diperlukan kajian ilmiah dalam narasi naskah akademik sebagai upaya untuk mengkaji secara ilmiah akan kebutuhan perubahan tadi, sehingga perubahan sebuah undang-undang menjadi sebuah solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.

Rambu-rambu mengenai perubahan sebuah undang-undang harus mengacu pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan bahwa dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi: 

a. kejelasan tujuan; b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan.

Asas-asas tersebut setidaknya menjadi pegangan pembuat Undang-Undang, untuk tidak sekedar membuat, namun ada sisi dan ruang tertentu yang harus diperhatikan, sehingga sebuah Undang-Undang setelah diberlakukan lebih memberikan kemanfaatan bagi perjalanan hidup bernegara yang berkeadilan.

Pada konteks perubahan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, yang lebih spesifik terkait masa jabatan dan batas usia pensiun hakim konstitusi, terlepas dari ada atau tidaknya kepentingan tertentu, menurut saya, belum terlalu urgen.

Karena substansinya lebih pada bagaimana lembaga tersebut bisa lebih menjalankan peran dan fungsinya, sehingga keberadaan benar-benar dibutuhkan bagi perikehidupan berbangsa dan bernegara.

Dikutip dari  mkri.id, diisebutkan bahwa fungsi dan peran utama MK adalah adalah menjaga konstitusi guna tegaknya prinsip konstitusionalitas hukum. Demikian halnya yang melandasi negara-negara yang mengakomodir pembentukan MK dalam sistem ketatanegaraannya.

Dalam rangka menjaga konstitusi, fungsi pengujian undang-undang itu tidak dapat lagi dihindari penerapannya dalam ketatanegaraan Indonesia sebab UUD 1945 menegaskan bahwa anutan sistem bukan lagi supremasi parlemen melainkan supremasi konstitusi.  

Melihat substansi peran dan fungsi tersebut, secara esensi menjadi benteng harapan masyarakat untuk bisa menjaga kokohnya sebuah konstitusi sehingga tidak bertabrakan dengan Undang-Undang Dasar 1945, yang telah disepakati sebagai dasar hukum di negera ini. 

Dikatakan demikian, memberikan makna keterkaitan untuk menjaga marwah konstitusi yang ada, sehingga bisa memberikan rasa keadilan dalam berkehidupan berkebangsaan dan bernegara.

Fakta bahwa "kemarin" MK telah dianggap "menciderai" rasa keadilan dalam masyarakat, terkait dengan putusan fenomenal yang akhirnya "meloloskan" Gibran sebagai Cawapres, tentulah dipandang sebagai pembelokan atas pelaksanaan peran dan fungsi Mahkamah Konstitusi.

Maka, terkait dengan rencana Revisi UU MK, sejatinya bila itu dipandang perlu, tidak hanya sekedar terkait dengan spesifik terkait masa jabatan dan batas usia pensiun hakim konstitusi. 

Namun lebih pada hal-hal yang menguatkan peran dan fungsi tersebut dilaksanakan dan mengeliminir atau membuka celah adanya masuknya kepentingan-kepentingan yang bersifat individu atau kelompok dalam pengambilan keputusan kolegial di Mahkamah Konstitusi, serta menutup potensi adanya praktik kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN).

Menutup celah dan potensi tadi, akan memberikan jaminan bahwa siapapun baik dari internal maupun eksternal, tidak ada peluang mempunyai akses mempengaruhi keputusan Mahkamah yang sangat berpengaruh bagi kehidupan bangsa dan Negara ini.

Masalah masa jabatan dan batas usia pensiun, dikaitkan dengan apapun profesinya memuat pesan bahwa disitu jelas ada unsur atau upaya untuk "melanggengkan kekuasaan" atau " memperpanjang kursi empuk" yang menisbikan perlunya regenerasi dan berjalannya gerbong estafet profesionalisme. 

Apakah semakin tua dianggap semakin profesional dan mempunyai wisdom/ kebijaksanaan dalam bersikap sebagai sebuah variable utama dalam rencana revisi UU MK tadi?

Usia tidak menjamin seseorang menjadi lebih bijaksana. Bijaksana lebih bermuara dan mendasari pada sikap moral yang tinggi. 

Apakah ini tidak dimiliki oleh mereka yang muda-muda? Apakah untuk memiliki moral yang baik, dengan standar etika yang tinggi, nilai integritas yang di atas rata-rata harus menunggu usia di atas 60 tahun, misalnya?

Saya kita tidak. Jadi kesimpulannya adalah bahwa terhadap revisi sebuah undang-undang, apapun itu undang-undangnya, bukan sebagai hal yang tabu. 

Namun, harus meperhatikan substansi yang esensi dari perubahan tersebut dan ujung dari perubahan adalah bisa menguatkan tujuan diadakannya undang-undang tersebut untuk bisa menjalankan peran dan fungsinya, sehingga akan berpengaruh bagi bangsa dan Negara, bukan untuk kepentingan tertentu atau kelompok.

Salam, Penuh Semangat dan Anti Korupsi!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun